"ASU! ASU KOE, LEK!"
Aku masih ingat betul bagaimana nada teriakan di pagi hari pada tahun 90-an itu. Bagaimana erangan dan rintihan yang mengiringi setelahnya, serta darah yang muncrat ke mana-mana. Warga seperti dikomando untuk berkumpul di satu titik—depan rumah Lek Karto yang masuk ke gang sempit.
Parang yang dibawa Lepet dilumuri cairan merah kental. Para perempuan menjerit. Ma'e bahkan pingsan. Sementara, pria-pria berusaha menghentikan Lepet dengan menahan tubuhnya, meski aku tahu mereka jerih sekali melihat parang tajam yang bisa dengan mudah berpindah ke leher mereka.
Sebagian warga yang lain segera membopong Lek Karto, pria paruh baya yang tak berhenti mengerang kesakitan. Dia sepertinya hampir tak sadarkan diri karena darah terus mengucur dari lengan kanannya. Lengan itu putus, menghadirkan pemandangan yang pasti akan membuat siapa saja trauma.
Tulang yang menjadi penyangga tangan Lek Karto tersisa sedikit, mencuat di antara daging lengannya yang tercabik mengerikan. Lek Karto ibarat ayam yang dipotong hidup-hidup. Sambungan tangannya yang putus tergeletak mati, terpisah dari tubuh Lek Karto, digenangi darah. Jari-jemarinya membisu, sedikit menekuk, dan pucat. Tak ada seorang pun yang berani mendekati potongan tubuh itu.
Rasa mual mengaduk-aduk perutku yang baru saja sarapan nasi megono. Aku menjeluak dan tak kuasa menahan agar sepiring nasi serta tempe goreng yang kumakan tetap berada di lambung. Aku menjeluak tak henti. Ampas nasi dan tempe berceceran di jalan, bercampur dengan darah Lek Karto. Baunya khas bau muntahan—ditambah bau amis darah—yang telak membuatku semakin mual.
Pa'e menyeretku dari TKP setelah mengurus Lepet yang kini tangannya diikat tali tambang oleh warga.
"Nggak usah lihat! Sana berangkat sekolah!" Pa'e memarahiku.
Aku menjauh dari tempat kejadian sambil memegangi perut yang masih bergejolak. Langkahku gontai karena tungkaiku lemas tak alang-kepalang. Hari itu aku bolos sekolah. Aku menggigil dan terus muntah-muntah. Sampai aku besar, bayangan tangan Lek Karto yang putus itu melekat dalam benakku.
Namun, bukan cuma gambaran mengerikan itu yang mengusikku, tapi ekspresi Lepet yang terlihat sangat puas dan bahagia. Dia tidak melawan saat warga meringkusnya. Dia tak juga mengacung-ngacungkan parang atau menyerang warga lain untuk meloloskan diri. Lepet justru menatap bagian tangan Lek Karto yang putus dengan tak wajar—liurnya menetes seolah itu adalah seonggok daging sapi. Aku bergidik. Kedua matanya yang memerah entah karena rasa puas atau nafsunya yang membuncah, begitu mengusikku.
*
"Siapa Lek Karto itu?" Perempuan muda bernama Ratna ini benar-benar mendengarkan ceritaku, eh. Sejak tadi dia tak menyela.
"Pak lek-nya Le-Lepet. Tukang becak. Di-dia kehi-hilangan ta-tangan gara-gara ng-nggak mau mi-minjamkan be-becaknya sa-sama Lepet."
Ratna tertegun. Aku terkekeh. Ratna tidak punya rambut panjang seperti Damini, tapi dengan rambut sepundak begitu dia juga cantik. Eh-eh-eh.