Namanya Bidin. Dia juga seorang gentho—preman urakan—yang cukup masyhur di wilayah kami. Namun, kenakalannya tidak sebrutal Lepet. Dia tidak membunuhi orang atau memalak warga seenak udel. Bidin lebih sering beraksi ketika desa kami ada ramai-ramai semisal dangdutan Agustusan, hajatan, dan acara-acara besar lain. Bidin akan pasang badan menjaga ketertiban—jadi tukang parkir atau petugas keamanan. Meski dia juga gemar mabuk-mabukan, dia termasuk tertib untuk kategori seorang preman.
Kelakuan Lepet semakin menjadi-jadi setelah kejadian Lek Karto. Dia merasa di atas angin karena tahu warga tak ada yang berani melawannya. Dia tidak tahu kalau Bidin mulai menyebar kasak-kusuk tentang kelemahan ilmu Lepet. Bidin juga ngilmu, tapi seperti yang kukatakan tadi, dia tidak sembrono seperti Lepet.
Pring kuning. Begitu kata Bidin. Lepet tidak akan mempan jika ditusuk celurit atau pedang, tapi dengan pring kuning beda lagi ceritanya. Pring kuning merupakan bambu berwarna kuning yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai bambu sakti. Bambu ini konon bisa meruntuhkan ilmu kebal yang bersifat klenik seperti yang dimiliki Lepet.
"Kemudian warga membunuh Lepet?" Ratna menyela dongengku.
Seorang perempuan masuk warung dan melirik kepada kami sambil tersenyum penuh arti.
"Yu Mar bakal punya mantu nih, kayaknya," ujarnya pada Ma'e dengan suara yang sengaja dikeraskan agar kami dengar.
Ratna salah tingkah. Aku cuma terkekeh pelan. Maksudnya mantu yang lain? Eh-eh-eh. Boleh juga. Ustaz-ustaz itu juga istrinya banyak, eh?
"Terus gimana lagi, Mas?"
Kupikir Ratna akan segera pergi setelah diejek perempuan barusan, tapi ternyata dia terus ingin mendengar kelanjutan kisah Lepet. Dia memang agung, eh.
"Su-suatu ma-malam ...."
Suatu malam—kalau tidak salah—di akhir tahun 90-an, peristiwa besar itu terjadi. Warga yang sudah sangat geram dengan kelakuan Lepet, tidak lagi bisa diam setelah tahu kelemahannya. Bambu-bambu kuning diasah. Para lelaki berkumpul, berembug, menyusun rencana. Lepet yang akan mereka hadapi. Tentu saja langkahnya tidak boleh sembarangan. Dia bukan maling kemarin sore atau preman kacangan. Dia Lepet.
Di bagian barat desa kami ada sebuah masjid. Di belakang masjid itu dulu mengalir sungai yang sekarang sudah menghitam dan menggenang. Sungai itu dalamnya tiga meter. Warga sering menyebut daerah barat sungai dengan sebutan kulon kali. Di sanalah Lepet dieksekusi dan akhirnya menemui ajal.
Saat itu umurku baru sekitar sembilan tahun. Warga yang berbondong-bondong ke kulon kali—termasuk Pa'e—sudah pasti mencuri perhatianku. Ma'e melarang keras, tapi diam-diam aku tetap pergi. Saat para pria berkumpul, aku bersembunyi sambil menguping di kebun sukun dekat masjid.
Kebun itu rimbun, penuh semak belukar dan pohon sukun besar-besar. Beberapa buahnya yang sudah kematangan, dimakan codot dan jatuh ke tanah. Aroma lembap berbaur dengan buah sukun busuk yang benyek. Aku dikerubungi nyamuk di sekujur tubuh. Gatal bukan main. Namun, aku bertahan. Aku ingin melihat bagaimana Lepet ditaklukkan.
"Kita langsung keroyok. Sebentar lagi dia pulang dari terminal lewat sini," ujar salah satu warga.
"Gebuki sampai teler. Habis itu tusuk pakai pring, terus kita tenggelamkan ke kali."