Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #9

Ratna - Sebuah Sejarah

Kalian tahu siapa orang pertama yang divonis mati di Indonesia? Dia bernama Sakhyani atau lebih dikenal sebagai Koetil. Kalian tahu yang lebih mengejutkan? Dia adalah ketua preman yang muncul bukan dari kota besar, melainkan dari kota kecil yang sedang kutempati ini.

Ya. Benar. Pekalongan. Dia punya pengaruh dan massa yang cukup besar di Karesidenan Pekalongan. Mendengar kisah Lepet dari Masjudi yang terbata-bata mengingatkanku pada Koetil. Ingin kukatakan padanya bahwa Lepet masih bisa dibilang kacangan bila dibandingkan dengan Sakhyani. Namun, aku tidak tega. Masjudi sepertinya benar-benar mengagungkan preman itu. Matanya berbinar-binar sepanjang dia bercerita.

Dia juga mengatakan padaku tentang hantu Lepet yang terus mendatanginya semenjak eksekusi itu. Hantu Lepet yang katanya mengikutiku. Aku menahan diri untuk tidak menahan bola mata atau tertawa mengejek. Ada yang aneh dengan Masjudi. Pria itu kelihatannya lugu, bodoh, apalagi dengan bicaranya yang gagap. Akan tetapi, aku merasa dia punya sisi lain yang disembunyikan, yang tidak dia tampakkan pada orang-orang. Ada sesuatu di balik kekehannya yang khas itu.

Kembali ke Koetil. Aku memang punya ketertarikan khusus terhadap kasus-kasus kriminal, jadi jangan heran jika aku tahu sejarah Koetil. Apa yang dilakukan pria itu jauh lebih kejam daripada Lepet. Koetil sangat membenci kolonialisme dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dia membunuh pribumi yang menurutnya masih memihak Belanda, termasuk orang-orang pemerintahan.

Dia mengadu domba masyarakat untuk turut serta menjadi anak buahnya dan menghabisi elit politikus yang dia benci. Tak hanya di Pekalongan, dia beraksi hingga kota-kota di sekitarnya—Pemalang, Tegal. Darah-darah orang tak berdosa tumpah di tangan Koetil.

Karena kecenderungannya ini, Koetil dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia. Ya, PKI yang membuat rusuh negara itu. Bukan hanya dua gembongnya yang terkenal, di dalamnya juga ada Koetil. Setelah bergabung dengan PKI, semakin menjadilah kejahatan Koetil.

Pada tahun 1946, pria itu ditangkap. Diumumkan dalam koran Belanda, saat itu pemerintahan Indonesia pertama kali menjatuhkan vonis mati pada seseorang. Pada Koetil. Kasak-kusuk mulai menyebar bahwa Koetil sebetulnya adalah antek-antek Belanda. Entah mana yang benar, yang pasti akumulasi kejahatan yang dilakukannya sebanding dengan hukuman yang dia terima.

Koetil masuk dalam berita-berita nasional, bahkan jika kalian mengaksesnya sekarang. Coba saja ketik di Google, Koetil Preman Pekalongan. Kisahnya akan muncul. Sementara cerita tentang Lepet tidak ada di berita—aku sudah mengeceknya. Cerita itu hanya jadi folklore warga Karang Asri yang dituturkan dari mulut ke mulut.

*

Setelah dua hari cuti dari kampus karena demamku kian tinggi, di hari ketiga panas tubuhku mulai reda. Bintil-bintil berdompol di tanganku mulai kering bersamaan dengan habisnya obat oral yang mesti kuminum. Tinggal salepnya saja sekarang. Syukurlah penyakit kulit ini tidak menyebar lebih lebar ke bagian tubuhku yang lain.

Seperti biasa, pagi ini aku mengantre sarapan di warung Yu Mar. Aku mesti masuk pukul sembilan pagi, jadi aku juga beli makanan lebih pagi. Warung kecil Yu Mar penuh oleh ibu-ibu. Saat aku datang, mereka semua memperhatikanku. Mau tak mau aku jadi kikuk sendiri.

"Yu, calon mantunya datang, Yu." Salah seorang perempuan—yang kusadari adalah orang yang kemarin memergokiku sedang ngobrol dengan Masjudi—berceletuk. Kontan ibu-ibu yang lain menanggapinya dengan riuh.

"Halah, halah, orang cantik dan mapan kayak Mbak Ratna ini ya mana mau lho, sama anakku." Yu Mar menanggapinya dengan bergurau sembari melirikku.

Beginilah salah satu kekurangannya kalau kalian hidup di kampung. Gosip lebih cepat menyebar dibanding wabah. Sungguh payah. Wajahku terasa panas sampai ke telinga, yang mungkin kelihatan memerah karena ibu-ibu ini makin getol menggodaku.

Sebetulnya aku ingin balik badan, menjauh dari gosip murahan itu, tapi sikap yang demikian hanya akan memperparah semuanya. Jadi, kuhadapi saja dengan cuek. Aku tak menanggapi meski sepatah kata pun. Lama-lama, mereka jadi sungkan sendiri dan beralih topik.

Lihat selengkapnya