Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #11

Masjudi - Hilang

Tidak ada yang percaya padaku seperti biasa, eh. Padahal hantu kepala buntung itu mencekik leher Pak Kepala Desa yang tambun sampai dia terbatuk-batuk. Waktu aku bilang itu ulah hantu Lepet, semua orang malah memandangku seperti aku ini gila saja. Eh-eh-eh. Aneh, mereka tidak percaya hanya karena tidak bisa melihatnya. Padahal, apa bedanya mempercayai hantu dengan mempercayai Tuhan, surga, dan neraka, eh?

Perkumpulan siang itu dibubarkan dengan kami semua, masing-masing membawa kegeraman di dada. Pak Kepala Desa jelas membelot, mengkhianati warga Karang Pakis dengan menyuruh kami melepaskan tanah kelahiran. Sebagian orang tidak ragu meneriaki Pak Kades--celeng! Asu!--setelah dia berlalu dari Balai Desa. Bapak-bapak berkumpul di pos ronda, lupa kalau besok puasa hari pertama. Ibu-ibu berkumpul di warung sambil membeli sayur atau apa pun yang bisa dibeli dengan duit yang pas-pasan. Nanti malam sahur. Anak-anak kecil yang tahunya cuma habis makan enak, kejar-kejaran sambil berteriak-teriak. Mereka hanya tahu besok puasa, yang artinya sebentar lagi akan dibelikan baju baru, eh-eh-eh.

"Sini koe, Jud!" Lek Yitno memanggilku saat aku melewati pos kamling. Aku menurut dan duduk di sampingnya, bersama empat orang lain.

"Nggak usah bikin desa tambah geger koe!" Pria itu mengemplang kepalaku. Aku mengaduh.

"Ta-tambah ge-geger gimana, Le-Lek?" protesku.

"Nggak usah nyebar rumor hantu Lepet hantu Lepet! Paham koe?"

"Ta-tapi memang a-ada, Lek. Di-dia yang bikin Ka-Karang Pa-Pakis begini."

"Wis tha, Lek, ora usah nggubris wong edan siji iki!" Lek Parto menyahut.

Aku menatapnya garang sambil berlalu dari pos ronda. Tiga langkah meninggalkan gubug yang terbuat dari palang-palang kayu itu, aku menoleh. "Sam-sampean semua yang e-edan! Li-lihat saja, Le-Lepet bakal bi-bikin desa i-ini hancur!"

Eh-eh-eh. Mereka tidak tahu kekuatan Lepet yang sebenarnya. Ditenggelamkan dengan batu memang membuat jasadnya mati, tapi ruhnya tetap sakti, eh? Aku akan jadi penonton pertama yang bersorak saat orang-orang tadi dapat balasannya. Mereka yang gila, bukan aku. Hidup Lepet!

Kau sadar, eh, hari-hari ini waktu berjalan cepat sekali? Tiba-tiba saja bulan puasa sudah masuk minggu kedua. Panas matahari semakin menyengat kulit. Aku tergopoh-gopoh mengangkuti semen dan batu dengan keringat yang mengucur deras di tubuh. Biar puasa, laki-laki harus tetap kerja. Aku jadi tukang lagi. Sekarang di kampung sendiri. Tak ada banyak yang bisa kulakukan di sini. Bantu-bantu Ma'e jaga warung, sudah pasti. Tapi Ma'e baru akan buka sore pas buka dan malam buta saat sahur. Jadi, siang bolong begini aku menganggur.

Lihat selengkapnya