Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #12

Ratna - Dua Hari Sebelum Lebaran

Aku mengenakan blus batik dengan buru-buru sambil memastikan kancingnya tidak timpang. Rambut sebahuku yang basah sehabis keramas--airnya masih menetes-netes dari ujung rambut--tak kuhiraukan. Aku bergegas keluar dari kost dan langsung berbaur bersama warga Karang Pakis yang membentuk gerombolan-gerombolan di sekitar masjid besar--satu-satunya masjid di desa Karang Asri. Gerombolan itu menyebar, lebih banyak kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai empat orang, berbisik-bisik. Kebanyakan ibu-ibu yang seperti itu, meski ada juga bapak-bapak yang membentuk kelompok di kejauhan. Wajah-wajah mereka gelisah, panik, takut, dan terkejut. Atmosfer ketegangan terasa sangat kental di sini.

Saat aku menyibak kelompok demi kelompok itu, rumor-rumor klenik mulai terdengar simpang siur. Beberapa orang, yang memang sejak awal sudah yakin bahwa desa ini diguna-guna, semakin lantang menyuarakan keresahannya. Beberapa lagi bilang kejadian ini merupakan pertanda awal malapetaka. Tumbal. Di ujung sana, di dekat lokasi kejadian yang kini sudah dibatasi garis kuning polisi, seseorang berteriak-teriak seperti orang gila. Atau mungkin, dia memang gila.

"I-ini ulah han-hantu Lepet!"

Katakan padaku, orang waras mana yang menyebut-nyebut soal hantu di tengah sinar mentari pagi yang mulai menyengat kulit begini? Namun, dia, Masjudi, tetap berteriak-teriak gagap, menyebut Lepet, Lepet, Lepet, sampai akhirnya beberapa warga muak dan menahannya. Masjudi berontak. Salah satu polisi berperut buncit menempeleng wajah pria itu.

"Bapak nggak boleh sembarangan, Pak!" Aku merangsek maju menghalangi, saat tangan si polisi hendak melayangkan tinju pada Masjudi lagi.

"Dia bikin keributan!" sembur pria tambun tersebut.

"Iya, tapi nggak gini caranya! Anda itu pengayom rakyat, jangan sewenang-wenang!" Kemarahanku menggelegak. Melihat ketidakadilan di depan mata adalah hal yang paling tidak bisa kutolerir.

Polisi itu akhirnya melengos dan meninggalkan kami, kembali sibuk dengan proses evakuasi. Dua warga yang menahan Masjudi melepasnya. Pipi Masjudi yang ditempeleng memerah. Pria itu menatapku lekat, aku tidak tahu kenapa dia bersikap begini, tapi aku mulai risih. Jadi, aku tak menggubrisnya dan mendekat ke area yang dipalang garis kuning.

Empat orang petugas membawa jasad yang telah dimasukkan ke dalam kantong jenazah tanpa kesulitan. Kerumunan warga tersibak, memberi jalan. Sebagian besar dari mereka memegang ponsel pintar, merekam, malah ada juga yang melakukan siaran langsung di media sosialnya. Sementara itu, Yu Wati, istri Lek Rus--laki-laki yang kini tak bernyawa di kantong jenazah--mengikuti petugas sambil menangis kencang. Meski kedua anaknya memapah, wanita bertubuh subur tersebut berkali-kali jatuh.

Semua yang ada di sini memahami. Tetangga kiri kanan Yu Wati juga ikut menangis melihat wanita malang itu harus kehilangan suaminya tepat dua hari sebelum lebaran--kehilangan dengan cara yang menyakitkan. Siapa yang menyangka? Lek Rus, pria yang rajin beribadah, bahkan beberapa kali jadi imam tarawih, harus meregang nyawa dengan cara demikian. Di leher pria itu terdapat bekas gorokan benda tajam. Salah seorang warga menemukan jasadnya pagi tadi, terapung-apung di sungai. Kulon kali, begitu warga menyebutnya. Sungai ini sekarang memang tidak lagi mengalir, hanya menyerupai genangan kolam yang kehitaman dan penuh sampah. Benar, tempat legendaris yang konon berhantu karena digunakan untuk menghabisi Lepet sang preman dengan brutal.

Saat malam, wilayah ini sepi sekali meski dekat masjid. Sehabis isya tidak ada yang berani melewatinya. Hamparan kebun sukun entah milik siapa yang gelap menambah kesan seram. Hanya saja, selama Ramadan, orang-orang ramai bertadarus di masjid setelah tarawih. Jadi, kemungkinan peristiwa ini terjadi tengah malam buta. Kebetulan semalam, kata warga, Lek Rus memang dapat jatah ronda sekaligus membangunkan warga untuk sahur.

Lihat selengkapnya