Siapa yang menculik Daminiku? Malam itu, aku belingsatan! Yang tersisa di kamar hanya alat pasung dan kalung berbandul hati milik Damini saja.
"Di-di mana Da-Damini, Mak?" Aku terus berteriak, tapi Ma'e malah menangis kencang.
"Ma-Mak!" Aku menyemburkan kemarahan pada Ma'e. "A-apa su-susahnya jaga Da-Damini, Mak?"
Ma'e tak mengatakan apa pun saat aku menubruk tubuhnya yang menghalangi pintu kamar. Aku harus cari Damini, eh? Preman-preman celeng itu pasti menculik Daminiku! Asu! Sudah kubilang tak akan ada yang bisa tahan melihat kecantikan Damini. Itu sebabnya aku memasungnya. Itu sebabnya aku mengurungnya di kamar. Tak ada yang boleh melihat Damini!
"Da-Damini! Dami-Damini!" Kuteriakkan namanya sepanjang jalan. Kutelusuri ujung-ujung gang sempit. Kujelajahi setiap sudut Karang Asri. Di mana Damini?
Aku tak bisa hidup tanpa istriku. Aku bisa gila! Damini tak boleh hilang! Damini harus selalu bersamaku sampai kapan pun! Ke mana Damini? Kenapa preman-preman itu bisa membuka pasungnya? Apa yang mereka lakukan pada Daminiku sekarang?
"Da-Damini ..." Aku mulai menangis terisak-isak. Kuremas-remas rambutku dan kubenturkan kepalaku ke tembok. "Da-Damini ...."
Langkahku gontai. Damini tidak ada di mana-mana. Damini hilang. Aku tak bisa menyentuh dan menciumnya lagi, eh? Ke mana Damini? Padahal aku mau membelikannya baju lebaran sebentar lagi. Di mana Damini?
Kakiku lemas dan tak mau lagi diajak melangkah. Aku duduk di pinggir jalan, di bawah remang-remang lampu. Saat itulah dia muncul. Si hantu buntung. Dari bawah lampu, lima puluh meter di depanku, dia terus berjalan mendekat. Kelepak-kelepak sayap ngengat yang berisik di leher buntungnya membuatku semakin marah.
"Ma-mau apa koe, heh!" Aku tak takut lagi pada makhluk menyeramkan itu. Sini maju! Aku memang sedang butuh lawan untuk melampiaskan kemurkaan.
Hantu Lepet sepertinya mendengarku walaupun dia tidak punya kuping. Dia sekarang sudah ada di sampingku. Ngengat-ngengat yang beterbangan mengitarinya ikut membusuk. Bau amis yang memualkan menusuk hidungku. Semakin hari, penampakan hantu Lepet semakin menyedihkan. Mungkin kekuatannya tinggal sedikit sekali. Dia memang harusnya sudah tidak di sini lagi, eh?
Rusmin.
Suara itu melewati telingaku. Suara Lepet. Dia memang tidak punya kepala dan mulut, tapi entah bagaimana dia bisa bicara, eh. Sudah kubilang, dia senang membisikkan sesuatu padaku. Semula aku tak tahu apa maksudnya, seperti saat di bus itu, tapi sekarang aku paham. Lepet memang ingin balas dendam.
Rusmin atau Lek Rus. Itu korban dia selanjutnya. Lek Rus memang dikenal taat ibadah, bahkan sering jadi imam salat menggantikan Pak Ustad. Namun, aku ingat betul kalau Lek Rus juga terlibat dalam pembantaian Lepet tempo silam. Lek Santo dan Lek Rus, dua orang itu. Aku ingat benar.
"Dudu urusanku!" Aku bangkit dan bergegas meninggalkan hantu itu sendirian.