Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #14

Ratna - Panas Menyengat

Sial! Kenapa pria itu ada di sini? Dan dari ribuan manusia di krapyakan ini, kenapa dia bisa melihatku? Aku tidak menghiraukan panggilan Masjudi dan bergegas menelusup di antara kerumunan orang. Kuharap dia masih cukup waras untuk tidak meninggalkan dagangan lopisnya dan mengejarku, mengingat pria ini kadang suka melakukan sesuatu yang tidak tertebak.

Kalau saja aku tidak terlalu penasaran dengan tradisi yang disebut-sebut nyaris oleh semua warga Karang Pakis yang kutemui--termasuk ibu kostku--aku mungkin tidak akan datang. Panasnya bukan main. Sejauh mata memandang, hanya ada orang-orang berdesakan. Lopis raksasa sudah dipotong dan habis dikeroyok. Katanya, ada berkah tersendiri jika makan lopis syawalan ini. Aku hanya mesem waktu ibu kost mengatakan itu, mencoba memahami segala bentuk tradisi dan adat di kota yang kusinggahi. Indonesia dan budaya memang tidak akan bisa dipisahkan, meski ada kalanya kadang tidak masuk di nalar dan susah dipahami. Akan tetapi, memang tidak semua hal bisa dipahami, bukan? Kita bisa berhenti di tahap menghargai tanpa mencaci.

"Mb-Mbak Ratna!"

Aku tersentak saat seseorang mencekal pergelangan tanganku. Aku refleks menoleh dan terkejut bukan main. Masjudi sudah ada di belakangku sekarang. Kulirik tangannya yang kurang ajar itu dan menyentaknya hingga genggamannya terlepas.

"Ma-maaf, Mbak." Pria itu menatapku, lalu menunduk. "Ta-tapi Mbak Rat-Ratna dalam ba-bahaya."

Aku memutar bola mata. "Permisi, Mas, saya mau pulang."

Kusibak orang-orang yang bergerombol dan berdesakan ini untuk menghindari Masjudi, tapi sepertinya dia tidak menyerah. Dia masih mengikuti dan memanggil-manggil namaku dengan gagap. Juga menyebut-nyebut hantu Lepet. Ya ampun!

"Oke, oke! Sebenarnya sampean mau ngomong apa, sih?" Akhirnya aku kehilangan kesabaran.

Kami menepi, mencari tempat yang sedikit tidak ramai. Sambil berdiri, aku mencoba mendengarkan pemaparan Masjudi. Yah, aku hanya tidak mau dia terus-terusan mengejarku. Itu membuatku risih dan lebih parahnya, bakal menimbulkan gosip yang makin santer jika ada orang Karang Pakis yang melihat kami. Bisa-bisa aku dikira benar-benar mau jadi menantu Yu Mar.

"Han-hantu Lepet ngiku-kutin Mbak Rat-Ratna." Penjelasannya masih sama.

Aku berdeham sejenak dan memilah kata-kata yang akan kuucapkan agar tak terdengar menyakitkan. "Maaf, ya, Mas, tapi saya nggak percaya sama hal-hal kayak gitu. Mas Judi nggak perlu repot-repot ngingatin saya terus. Saya toh nggak kenapa-kenapa. Biar saja si hantu itu ngikutin saya, Mas tenang aja."

Masjudi pucat pasi mendengar jawabanku. Aku menahan diri setengah mati untuk tidak tertawa.

"Ta-tapi hantu i-itu bahaya, Mb-Mbak. Di-dia yang bu-bunuh Lek Rus dan ba-bawa Lek San-Santo."

Tanpa sadar, aku mengernyit. Pria ini begitu gigih menceritakan hal yang sama, berulang-ulang, kepadaku. Apa memang itu yang sebenarnya terjadi? Apa memang dia termasuk orang-orang yang katanya bisa melihat hal-hal gaib? Ah, sialan! Aku jadi ikut sinting gara-gara kebanyakan ngobrol dengan Masjudi.

"Hantu nggak bisa bawa parang buat nggorok leher orang, kan, Mas?" Nada bicaraku terdengar mencemooh dan tampaknya Masjudi tersinggung.

"Mb-Mbak su-sudah tahu cerita Le-Lepet. Di-dia memang bi-biasa bunuh o-orang be-begitu."

"Tapi sekarang dia sudah mati dan nggak bisa pegang parang lagi." Kulipat tangan di depan dada. "Jadi, saya sarankan Mas Judi diam dan jangan cerita-cerita soal ini lagi kalau nggak mau dipanggil polisi buat dimintai keterangan. Polisi lagi nyari siapa pelaku yang bunuh Lek Rus."

Lihat selengkapnya