Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #15

Ratna - Buntelan Rajah

Euforia lebaran sudah tuntas sepenuhnya. Orang-orang kembali pada kebiasaan awal, berkegiatan, meski di rumah-rumah termasuk kostku, mejanya masih penuh dengan kue-kue sisa. Seiring berkembang zaman dan masyarakat yang makin mawas dengan kondisi kesehatan, camilan manis yang keluar setiap lebaran ini jadi berkurang peminatnya. Banyak orang yang mulai sadar bahwa makanan-makanan seperti ini hanya merusak tubuh, meski toh tidak bisa menghilangkannya sama sekali. Rasanya mungkin kurang--lebaran tanpa camilan khas.

Aku sedang duduk di ruang tengah--ruangan di kostanku yang disediakan ibu kost untuk nonton TV atau bersantai--sambil mencicipi kue putri salju. Hari ini jadwalku lumayan senggang, sehingga aku bisa pulang sebelum petang. Sekarang baru pukul lima. Kost yang umumnya berisi mahasiswa dan pegawai supermarket, terasa sepi. Jam-jam segini mereka memilih menghabiskan waktu di kamar--tiduran, main ponsel--atau mungkin memang belum pulang saja. Hah, nyaman juga rasanya menyepi begini. Membaca buku sambil ngemil kue lebaran di sore hari tampaknya akan jadi me-time yang patut kuperjuangkan. Yah, waktu senggang dewasa ini jadi sesuatu yang mahal untuk sebagian orang.

Aku mengalihkan perhatian dari novel sastra karya Eka Kurniawan yang kupinjam dari perpustakaan kampus pada lalu lalang orang-orang di depan kost. Laki-laki, perempuan, anak-anak, terlihat tergesa-gesa. Kenapa warga Karang Pakis selalu tergesa-gesa dan tergopoh-gopoh begini? Hidup mereka seperti tidak pernah tenang. Apakah ada bagian dari tradisi lain yang ada di sini? Selain syawalan dan krapyakan, ada begitu banyak tradisi di Karang Pakis yang mengharuskan warga berkumpul ramai-ramai. Desa ini sama sekali tidak cocok untuk introver.

Beberapa waktu lalu jalanan macet dan orang-orang ramai berjalan, berkumpul di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Tua muda, anak-anak, semuanya ada di sana. Penasaran, aku bertanya ada apa pada salah satu warga. Udik-udikan, jawabnya. Aku sudah tahu tradisi satu itu dilakukan ketika seorang bayi pertama menginjakkan kakinya di tanah atau yang disebut dun-dunan--saat si kecil berusia tujuh bulan.

Selain rangkaian acara seperti bayi akan dikurung dengan kurungan ayam dan memilih benda-benda di dalamnya--uang, buku, Al-quran, cermin--juga ada udik-udikan. Orangtua si bayi akan menyebar uang receh dan orang-orang berkumpul untuk memperebutkan uang tersebut. Suasana udik-udikan semacam ini akan riuh sekali. Saat pertama melihatnya, aku benar-benar takjub. Lihat betapa antusiasnya! Hanya demi uang receh, masyarakat rela berdesak-desakan, bahkan di antaranya sampai jatuh-jatuh segala. Namun, hal lain yang kulihat adalah bahwa mereka bergembira.

Aku sempat melakukan pencarian tentang tradisi tersebut, dan ternyata hasilnya cukup mencengangkan. Tradisi menebar uang ini merupakan peninggalan penjajah Belanda. Dulu, orang Belanda suka sekali menyebar uang di waktu-waktu tertentu, dan para pribumi akan berebut. Sebetulnya maknanya tidak terlalu bagus juga. Penjajah melakukan hal itu untuk menegaskan bahwa mereka berkuasa atas pribumi, sekaligus sebagai suatu penghinaan. Akan tetapi, sekarang, di Karang Pakis, kebiasaan yang menyedihkan ini dijadikan ajang untuk bersenang-senang. Tapi tak masalah juga. Biarlah rakyat kecil seperti kita-kita ini mencari kesenangan sendiri dengan hal-hal sederhana. Kalau harus bersenang-senang ala pejabat, toh tidak akan bisa.

Akan tetapi, rupanya udik-udikan yang kujumpai saat itu berbeda dengan udik-udikan bayi. Ini Rabu Pungkasan, kata warga yang kutanya. Rabu Pungkasan merupakan hari Rabu terakhir di bulan Safar atau bulan kedua hijriyah. Aku baru tahu kalau hari itu merupakan hari spesial. Banyak tradisi macam-macam untuk merayakannya, yang bertujuan sebagai tolak bala. Di Karang Pakis, mungkin di seluruh Pekalongan, udik-udikan diadakan. Setiap rumah akan menyebar uang dan masyarakat berbondong-bondong berebut, persis seperti udik-udikan bayi.

Jadi, dalam sehari itu, satu orang bisa panen uang receh lantaran setiap rumah menyebar uang. Untuk orang berada, tradisi ini juga menjadi semacam ajang gengsi. Mereka akan menabur uang secara ugal-ugalan, bahkan dengan jumlah total puluhan juta rupiah dalam bentuk recehan. Menariknya, di hari Rabu Pungkasan ini, anak-anak SD bahkan diliburkan demi bisa memeriahkan acara. Saat mendengar pemaparan itu, aku sampai terlongong-longong. Pantas saja barikade warga bisa memblokade jalan.

"Mbak Ratna, nggak melu lihat, Mbak?" Salah seorang ibu muda menyapaku yang sudah berdiri di teras, mengamati keramaian.

"Ada apa ini, Mbak?" Aku balik bertanya.

"Preman-preman pabrik lagi digebuki warga, Mbak. Ayo lihat!"

Aku tertegun sejenak. Preman-preman itu dimassa? Sebenarnya aku menduga hal ini pasti akan terjadi akhirnya. Tinggal tunggu waktu warga Karang Pakis meledak. Pencetusnya sudah banyak sekali--seluruh masalah yang menimpa desa ini. Namun, aku toh tetap kaget juga menghadapi fakta bahwa waktu itu datang sore ini, soreku yang nyaman dan santai.

Bergegas, aku memakai sandal dan mengikuti arus rombongan orang-orang. Mereka menuju sebuah lapangan yang tak begitu luas, rumputnya kering dan menguning terpanggang panas. Biasanya anak-anak SD meramaikan lapangan ini saat sore dengan bermain sepak bola. Akan tetapi, pemandangan kali ini berbeda sekali. Alih-alih anak-anak, para pria berebut untuk menghajar dua orang yang padahal sudah meringkuk tak berdaya di bawah kaki mereka.

Makian berupa hewan-hewan kaki empat terdengar di mana-mana, bahkan aku melihat beberapa pria membawa golok dan mengacung-ngacungkannya ke udara kosong. Kalau tidak dilerai, sebentar lagi bisa terjadi pertumpahan darah. Untung di antara warga yang kesetanan, ada cukup banyak orang yang masih bisa berpikir waras.

Lihat selengkapnya