Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #16

Masjudi - Kalung Emas

"Rajah?" Kedua mata Damini membelalak saat aku menceritakan kejadian sore tadi.

Aku mengangguk sambil terkekeh.

"Jahat sekali petinggi-petinggi itu!" Damini menggeram. Matanya nyalang. Kalau sedang marah begini, Damini semakin ayu saja, eh.

"Ta-tapi Ma-Mas senang pre-preman-preman itu di-digebuki. Ma-Mas berha-harap mereka ma-mati saja seka-kalian."

Damini tersenyum. Aduhai, cantiknya tak alang kepalang Daminiku ini.

"Aku juga bersyukur, Mas. Mereka layak dapat hukuman. Mereka ..." Suaranya tercekat.

Aku langsung membawa Damini ke pelukan. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Kejadian tempo hari itu. Kalau aku mengingatnya, aku merasa marah sekali. Ubun-ubunku seperti mendidih oleh amarah. Memang benar, preman-preman tadi harusnya mati saja. Berani-beraninya mereka menyentuh Daminiku, eh!

"Su-sudah, jangan di-diingat-ingat la-lagi. Se-sekarang ka-kamu sudah a-aman. Ma-Mas nggak a-akan ning-ninggalin kamu la-lama-lama lagi," ucapku sambil mengusap-usap punggungnya.

Damini menatapku sendu. Aku membelai pipinya yang lembut dan bersemu. Dia sudah kupasung lagi, kali ini kupastikan tak ada yang bisa membuka pasungnya. Bibir Damini yang kemerahan tersenyum mengundang. Bandul kalung emasnya berkilau tertimpa sinar lampu bohlam kamar kami. Aku menangkup wajahnya yang ayu, memperhatikan lehernya yang putih dan jenjang. Eh-eh-eh, ini adalah santapan lezat yang tak bisa kulewatkan.

Saat kecupanku mendarat di tengkuknya, Damini terkikik. Namun, kenapa suara Damini tak seperti suaranya yang biasa, eh. Aku melepaskan kecupan dan menatapnya lekat. Seketika aku tersentak. "Mb-Mbak Ratna?"

Aku terbangun dengan peluh mengucur. Jadi aku cuma mimpi? Kulihat Damini sedang tidur pulas. Kenapa aku bisa memimpikan perempuan lain saat Damini di sampingku, eh? Ranjang kayuku berderit saat aku turun sambil menjambak-jambak rambutku. Kepalaku pusing bukan main. Ratna, perempuan ayu itu, kenapa dia datang ke mimpiku segala. Eh-eh-eh.

Pikiranku jadi tak bisa lepas dari Ratna. Aku membentur-benturkan kepalaku ke tembok agar bayangan Ratna hilang, tapi malah semakin nyata. Bagaimana ini, eh? Lehernya yang jenjang dan putih, matanya yang sendu, bibirnya yang kemerahan. Aduh, Masjudi, kau tak boleh begini. Kau sudah punya Damini. Batinku berperang.

Sore tadi di balai desa, aku dan Ratna saling memandang. Dia langsung memalingkan muka, mungkin hatinya berdebar sepertiku, eh, dan dia malu. Eh-eh-eh. Perempuan berambut sebahu itu pastilah memendamnya sejak awal aku dan dia berjumpa. Dia selalu menatapku dalam-dalam setelah itu, setiap kami bertemu. Dia bahkan memberanikan diri melawan polisi gembrot yang menempelengku. Aduhai, Ratna, aku lupa bilang padanya kalau aku sudah punya Damini. Sekarang perasaannya dan perasaanku sudah telanjur tumbuh subur begini. Bagaimanalah ini?

Kupandangi Damini yang tidur dengan napas teratur dalam posisi terpasung. Yang sudah jadi milikku tak boleh pergi, eh. Aku tak akan membiarkan Damini hilang, tapi sekarang Ratna juga harus kumenangkan. Jadi bagaimana, eh? Apakah aku harus izin pada Damini untuk menerima Ratna sebagai madunya? Eh-eh-eh. Laki-laki boleh punya istri sampai empat, eh, kata ustaz-ustaz itu. Aku yakin bisa adil. Aku hanya harus membuatkan satu lagi pasungan untuk melindungi Ratna. Kalau Ratna tidak segera kulindungi, nanti dia pasti akan diganggu preman-preman pabrik. Meski sudah digebuki, tapi jumlah mereka masih banyak, eh. Sebentar lagi mereka akan kembali berkeliaran di Karang Pakis.

Belum lagi hantu Lepet. Hantu berkepala buntung itu selalu mengikuti Ratna ke mana saja. Kenapa dia begitu terobsesi pada Ratna? Aku harus segera bertindak agar Ratna tidak celaka. Dia akan segera kunikahi dan kupasung di kamar ini. Sejauh ini hantu Lepet tidak bisa masuk rumah apalagi kamarku. Dia hanya berputar-putar di pelataran, entah kenapa. Mungkin Ma'e juga menyimpan rajah untuk mengusir bala.

Di kampung kami ada dukun terkenal yang laris sekali, bahkan anggota dewan yang mau nyalon selalu berkunjung ke situ. Rajah dan hal-hal klenik semacam ini bukan sesuatu yang asing bagi warga Karang Asri. Orang-orang tua yang sezaman dengan Pa'e dan Ma'e bahkan masih ada yang punya keris sakti sampai sekarang. Pa'e juga bukan orang yang taat sekali pada Tuhan. Aku tahu Pa'e punya beberapa rajah yang ditaruh di warung Ma'e sebagai penglaris. Siapa bilang di zaman modern seperti ini hal-hal seperti itu tidak dipercaya lagi, eh. Kau lihat buktinya, petinggi pabrik yang sudah pasti berpendidikan saja harus pakai cara-cara begitu untuk menyerang rakyat kecil seperti kami. Eh-eh-eh.

Mataku tertuju pada kalung emas yang melingkari leher Damini. Bagaimana kalau kalung itu kupinjam sebentar untuk kujadikan mas kawinnya Ratna, eh. Damini pasti tidak akan keberatan. Dia istri yang baik dan ingin aku selalu bahagia. Kudekati Damini dan perlahan melepas kalungnya. Damini menggeliat dan bergumam lirih, lalu matanya terbuka.

Lihat selengkapnya