Malam datang berlapis-lapis. Kegelapannya menyelubungiku. Aku berdiri sendirian, di tepi pantai yang debur ombaknya terasa mencabik-cabik tubuh. Air laut ini begitu dingin, menjilat kakiku yang telanjang. Aku berjalan tanpa tujuan di sepanjang garis pasir. Seluruh duniaku hanya ada kehampaan. Apa arti sunyi itu? Jika sebatas sendiri dan sepi, kenapa diamnya kadang terdengar begitu memekakkan?
Sunyi dan kehilangan adalah dua hal yang berkelindan dalam hidupku. Aku tak tahu mana yang lebih dulu datang, tapi setelah semuanya hilang, duniaku benar-benar terasa kosong. Ayah, Ibu, Rani. Mereka bahkan tak bisa kujangkau lagi. Segala tentang mereka hanya tinggal bayang dan kenang, seperti sebuah buku usang yang saat kubuka, debunya akan membuat mataku perih.
Bulan bahkan menghilang. Pun bintang-bintang. Di alam terbuka begini, harusnya benda-benda angkasa itu akan terlihat tanpa penghalang, bukan? Namun, pekat dan gelap sepertinya terlalu merindukanku. Mereka tak mau menyiakan kesempatan untuk menenggelamkan diriku semakin jauh dalam lubang kehampaan. Jauh di tengah laut sana, lampu mercusuar yang berputar-putar menjadi penyelamat. Dalam detik per detik, mataku bisa menangkap bayangan.
Dua orang itu kemudian datang--laki-laki dan perempuan. Mereka berlarian, saling mengejar, jauh di depanku. Mereka bukan pasangan kasmaran yang sedang menghabiskan waktu bulan madu. Bukan. Si perempuan adalah Rani, adikku. Laki-lakinya, seseorang yang kuduga berbadan tegap dengan garis wajah keras--seseorang yang cukup berenergi untuk bisa mengalahkan Rani yang energik.
Adikku menggandrungi tari modern. Dia baru-baru saja memulai kariernya sebagai dancer. Semangatnya sangat menggelora. Dia punya energi yang seolah tiada habisnya. Tak seperti kebanyakan gadis zaman sekarang yang mager dan hanya hobi rebahan, Rani justru kebalikannya. Menari saja tidak cukup. Dia membekali hidupnya dengan senantiasa rajin berolahraga dan sangat menjaga pola makan. Seorang penari latar harus punya tubuh yang ideal, tentu saja. Lemak adalah hal yang haram, apalagi jika sampai menempel di tubuhnya sehingga menimbulkan lekuk-lekuk gelambir yang tak sedap dipandang mata. Namun, Rani tak semata melakukannya hanya demi itu. Dia benar-benar peduli pada kesehatan. Dia selalu memarahiku saat aku menghabiskan bercangkir-cangkir kopi jika harus lembur malam.
Bagaimana caramu hidup memang kamulah yang menentukan. Akan tetapi, rahasia umur tetaplah di tangan Tuhan. Rani boleh tak punya penyakit apa pun, memang. Alih-alih, sebilah parang yang merenggut nyawanya.
Aku memperhatikannya dengan saksama sementara kakiku terpaku, semakin tenggelam di pasir. Ombak masih datang dan pergi silih berganti, deburnya terdengar ritmis di telingaku. Dua orang itu masih saling mengejar. Rani sudah berlari cukup kencang, tapi pria di belakangnya rupanya sama kencangnya. Parang di tangannya berayun-ayun.
Pemandangan di hadapanku bagaikan opera pantomim yang sunyi--hanya bergerak tanpa suara. Aku membekap mulutku yang ternganga saat akhirnya si laki-laki berhasil menyusul Rani dan menarik bagian belakang bajunya. Aku tahu Rani tersentak. Dia jatuh berguling di pangkuan ombak. Tubuhnya basah kuyup.
Seseorang--atau barangkali orang normal--harusnya mengambil jeda untuk berpikir sejenak sebelum menyakiti orang lain. Namun, laki-laki yang mengejar Rani tak merasa perlu repot-repot melakukan itu. Atau mungkin saja, dia memang sudah memikirkannya sejak lama--juga berlatih--sehingga ketika tiba waktunya, tangannya begitu luwes mengayunkan parang.
Air mata yang merebak dan mulai turun dengan deras membasahi pipiku, memburamkan pandangan. Aku tak melihat betul di bagian mana parang tajam itu mengenai tubuh Rani. Yang kulihat hanya kedua tangan Rani menggerapai-gerapai, berusaha mendorong si lelaki yang telah menindihnya. Sayang, Rani hanya meraih udara kosong--angin laut yang justru balik menampar-nampar. Laki-laki itu semakin beringas. Parangnya berayun semakin cepat tanpa jeda.
Aku ingin sekali beranjak dari tempatku berdiri, tapi kakiku mengkhianati. Keduanya tak mau bergerak. Dalam kepekatan malam itu, aku hanya bisa memekik tanpa suara, menyaksikan kedua tangan Rani perlahan tak lagi memberontak, terkulai di bibir ombak. Lampu mercusuar berputar. Berkas sinarnya jatuh mengenai adikku. Ombak di sekitarnya berwarna kemerahan, susul menyusul kemudian hilang.
Rani teronggok menyedihkan. Luka tak terlukiskan menghiasi setiap jengkal tubuhnya. Dan laki-laki itu ... dia pergi begitu saja. Mercusuar menyinari punggungnya yang kian jauh dari pandanganku. Dia berjalan santai, kedua tangannya berayun-ayun. Nyawaku seolah ikut tercerabut dari raga saat menyadarinya--kini bukan hanya parang yang laki-laki itu bawa, tapi juga salah satu bagian tubuh Rani. Kepalanya.
*
"Mbak Ratna ...."
Suara lembut seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Aku seperti ditarik dari pusaran khayal kembali ke dunia yang seharusnya. Benderang matahari membuatku kewalahan. Aku mencurengkan alis dan mataku menyipit secara otomatis. Serbuan sinar ini begitu menyilaukan setelah selama beberapa menit terakhir aku terkungkung kegelapan.