Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #18

Ratna - Rumah Penuh Duka

Ibu masih terus meraung, menyumpahi, dan memakiku dengan kalimat-kalimat menyakitkan satu jam setelahnya. Perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang karena Ibu juga mulai melempar barang-barang. Dengan perasaan sedih dan resah, aku meninggalkan rumah sakit jiwa itu. Suster Susi, yang tadi bicara denganku, menatapku dengan raut menyesal. Dia kembali menjelaskan bahwa keadaan Ibu--atau orang-orang yang mengalami hal yang sama sepertinya--memang begitu. Tidak bisa diprediksi kapan suasana hatinya akan berubah.

Dokter jiwa yang menangani Ibu pernah bilang bahwa otak para pasiennya seperti kaset kusut. Kadang, bisa saja kaset tersebut berputar lancar, tapi dengan sama cepatnya akan tersendat juga. Aku hanya harus memaklumi dan sabar. Menghadapi orang-orang seperti mereka harus sabar. Sabar, sepertinya mantra yang mudah diucapkan. Akan tetapi, praktiknya tetap tak segampang itu, bukan?

Bukannya aku bermaksud tidak sabar atas sikap Ibu yang sama sekali tidak ingat siapa aku. Aku mengerti hidupnya berubah dalam sekejap. Aku tahu luka yang ditorehkan Ayah begitu dalam dan menjijikkan, sehingga itu tak hanya menggores hati Ibu, tapi juga otaknya. Aku memahami sepenuhnya. Hanya saja, di sini, bukan cuma Ibu yang terluka. Aku juga. Dan sekarang aku menanggung semua rasa sakit itu sendirian lantaran aku masih waras--perbuatan ayahku, kematian Rani, juga keadaan Ibu. Semua diletakkan di bahuku. Kadang, dalam beberapa kesempatan, aku berpikir jadi gila seperti Ibu akan lebih baik daripada hidup dengan semua beban ini.

Namun, Tuhan tak membuatku gila. Dia ingin aku bertarung dengan semuanya. Berpura-pura menjadi kuat. Berpura-pura baik-baik saja. Selama tiga tahun, kujalani peran ini dengan nyaris sempurna. Aku menenggelamkan diri dengan kesibukan, menghindari berkunjung ke pantai--yang sialnya aku justru dapat tugas di daerah sekitar pantai--dan mencoba melupakan semuanya.

Tahu apa yang terjadi? Tidak bisa. Aku tidak bisa lupa. Kehilangan adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan.

*

Rumah ini tetap sama. Hanya saja, pelatarannya tidak lagi rimbun dengan tanaman-tanaman bunga dan bonsai. Mungkin Mang Tatang tidak sanggup merawat tanaman sebanyak itu, sehingga mati dan harus dibuang. Tanaman-tanaman tersebut milik Ibu. Entah tangan ajaib jenis apa yang dimiliki Ibu, tapi segala sesuatu yang disentuhnya, dirawatnya, menjadi hidup. Aku, Rani, Ayah, tanamannya, bahkan rajutannya, hidup. Semuanya berwarna dan merekah--sukses, tidak layu, bahagia, berguna.

"Mbak Ratna, kok nggak bilang-bilang kalau mau pulang?" Perempuan bertubuh gempal yang sudah mengabdikan diri puluhan tahun pada keluarga kami--bahkan setelah keluarga ini berakhir--menghampiriku begitu aku turun dari taksi.

Aku tersenyum dan memeluknya tanpa canggung. Bi Siti sudah seperti nenekku sendiri.

"Aku baru jenguk Ibu, Bi. Sebenarnya nggak ada niatan ke rumah, tapi ..." Perkataanku tercekat.

Lihat selengkapnya