Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #20

Ratna - Peristiwa Terulang

Masjudi gila! Pria itu benar-benar gila! Apa dia melantur? Apa dia berjalan sambil tidur? Kenapa tiba-tiba dia ada di depan kostku dan ... ya Tuhan, mengajakku kawin? Dia pikir dia siapa? Dia pikir kami ... huft! Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Semua kosa kataku seperti raib dari otak saking absurdnya kejadian barusan. Apa yang membuat Masjudi berpikir bisa mengajakku kawin? Astaga, tak bisa kupercaya!

Aku merebahkan tubuhku yang lelah di kasur. Perjalanan dari Jakarta ke Pekalongan naik kereta memang tak begitu lama, tapi tetap saja, hatiku yang berat membuat segalanya menjadi sesak. Dan sekarang Masjudi sukses menambah bebanku berlipat-lipat. Kuharap pria itu sudah enyah dari depan kostku karena aku tak punya waktu untuk meladeninya meski cuma di pikiran.

Aku memejamkan mata, mencoba tidur. Namun, sialnya, otakku malah sibuk dengan bayangan Masjudi dan kalung yang dia bawa. Kupijit pelipisku yang terasa berdenyut. Mungkin langsung tidur adalah gagasan buruk. Mandi dengan air hangat sepertinya bisa menenangkanku. Aku pun beranjak ke belakang--dapur bersama dengan perabotan yang cukup lengkap--dan menjerang sepanci air. Dari celah gerbang, aku berjingkat-jingkat mengintip Masjudi. Syukurlah pria gila itu sudah pergi. Aku bisa bernapas lega sekarang.

*

Pagi kesekian datang lagi di Karang Pakis. Aku bangun tanpa semangat. Hari ini aku harus mengisi kuliah seperti biasa. Bergegas, aku siap-siap. Kali ini aku memutuskan untuk sarapan di kantin kampus saja. Pergi ke warung Yu Mar adalah gagasan buruk mengingat apa yang Masjudi lakukan semalam. Terlintas di otakku kalau-kalau Masjudi adalah seorang maniak yang kurang waras. Aku bukan tipe orang yang mudah menilai orang lain, mengingat pengalaman pahitku yang dikhianati Ayah.

Selama ini, sejak mengenal Masjudi, aku menjauhi pikiran-pikiran buruk tentangnya meski dia selalu menceracaukan hal-hal sinting. Aku menghargainya seperti menghargai orang lain karena dia toh tidak pernah berbuat buruk padaku. Malahan, acapkali aku merasa iba pada pria itu. Kondisinya yang gagap dan aneh selalu jadi sasaran tatapan tak mengenakkan orang-orang. Maksudku, kita tidak berhak melayangkan tatapan demikian hanya karena prasangka kita pada seseorang yang belum tentu benar, bukan?

Karena itu aku bersikap biasa pada Masjudi. Aku membantunya ketika ditempeleng polisi tambun itu, aku meminjaminya uang walaupun dia tidak minta, ketika dia ditagih istri Waryono. Aku akan melakukan hal yang sama pada orang lain, karena bagiku itu adalah hal biasa. Gerakan tanganku yang sedang mengoles sunscreen ke leher terhenti. Kupandangi cermin lekat-lekat dan pikiran tersebut melintas begitu saja. Apakah Masjudi salah sangka dengan sikapku sehingga dia berani melakukan tindakan semalam?

Oh, ya, Tuhan! Iya, pasti itu sebabnya. Dia mengira aku memberi perhatian khusus padanya, begitu? Sial, padahal aku sedang ingin menghindarinya dan tidak mau bertemu dengannya lagi. Namun, kalau dugaanku benar, berarti aku harus meluruskan kesalahpahaman ini, kan? Aku tidak mau Masjudi jadi merasa tergantung. Aku harus memadamkan harapannya karena aku memang tidak berniat menyalakannya.

Ponselku berdering saat aku sedang sibuk memikirkan kalimat untuk menghadapi Masjudi. Sebuah nama dengan foto yang sangat familier muncul di layar. Jantungku mencelus. Aku sungguh sedang tidak ingin bicara dengannya sekarang, tapi kamu tidak akan bisa mengabaikan panggilan dari atasanmu, bukan? Jadi, dengan ogah-ogahan, aku menjawab panggilan tersebut.

Lihat selengkapnya