Orang yang meninggal karena tertabrak kereta sangatlah tidak beruntung, menurutku. Membayangkan bagaimana tubuh yang berupa daging dan tulang ringkih dihantam gerbong-gerbong besi dengan kecepatan yang tak bisa ditandingi atlet pelari mana pun itu, membuatku bergidik. Mungkin rasa sakitnya sampai di level tak bisa dirasakan lagi lantaran tubuh tak berdaya menghadapinya. Saat roda-roda besi itu menggilas kaki, tangan, leher, atau bagian mana saja dari badan, sudah barang tentu ... aku tak menemukan kata-kata untuk mengungkapkannya.
Jasad Lek Bisri ditemukan lima ratus meter jauhnya dari stasiun Pekalongan, tempat di mana dia sehari-hari mangkal untuk menarik becak. Seperti lumrahnya korban tertabrak kereta, jasad tersebut sudah tak berbentuk lagi. Satu tangannya praktis hilang, tungkainya tercabik-cabik, dan kepalanya hancur. Biji matanya ditemukan seratus meter dari jasad yang teronggok bagaikan potongan-potongan dendeng itu. Darah bercecer sepanjang rel, bercampur bersama air seni atau tinja-tinja para penumpang kereta.
Singkatnya, tempat ditemukannya jasad Lek Bisri sungguh mengerikan dan mengaduk-aduk perut. Kulihat beberapa orang yang berkerumun di situ mulai menjeluak sambil terbatuk-batuk, meski sekarang jasad tersebut sudah dibawa petugas. Mungkin tidak akan ada tindak autopsi mengingat yang tersisa dari tubuh Lek Bisri sepertinya tidak bisa diperiksa lagi. Prosedur pemakamannya barangkali akan sama dengan pemakaman almarhum Waryono yang berselubung peti mati. Bahkan keadaan Lek Bisri pastinya jauh lebih parah.
Berbagai asumsi mulai menggantung di udara. Ada yang bilang Lek Bisri mabuk, karena konon itulah hobinya sewaktu muda dulu. Kesadarannya buruk, sehingga dia tidak sadar berada di emperan rel kereta dan akhirnya tertabrak sang kuda besi. Ada lagi yang bergosip kalau Lek Bisri memang sengaja menabrakkan dirinya ke kereta yang sedang meluncur buas lantaran sudah sangat putus asa menghadapi terjalnya liku kehidupan. Anak Lek Bisri tiga, yang satu mau masuk SMA, satunya mau masuk SMP, satunya lagi masih SD. Dengan dia yang mengandalkan becak dan istrinya yang jualan bawang merah di pasar, pasti berat sekali membiayai ketiga anaknya. Aku mencoba memaklumi, jika memang benar dia bunuh diri, meski sisi lain hatiku merutuknya karena hal itu juga. Kenapa seseorang begitu mudah melepas tanggung jawab yang sudah seharusnya dijalani dan meninggalkan pasangannya untuk mengurus itu seorang diri? Bisa kubayangkan bagaimana suramnya keadaan hati istri Lek Bisri.
Yang lebih menarik lagi, ada kasak-kusuk yang juga menyebutkan bahwa kematian Lek Bisri bukan karena dua asumsi di atas, melainkan ulah Setan Budek. Kalian pernah dengar? Aku sudah beberapa kali. Konon, setan ini merupakan penunggu di setiap rel kereta api. Dia akan menyebabkan orang-orang yang lewat rel jadi budek atau tidak mendengar bahkan meski masinis sudah membunyikan klakson keras-keras.
Entah yang mana yang benar, yang pasti ada satu hal yang kurasa cukup mengganjal tentang Lek Bisri dan sepertinya dilupakan orang-orang. Ke mana dia selama seminggu sebelum ini? Kenapa tidak pulang? Pertanyaan tersebut tidak akan terjawab dan hanya akan ikut terpendam bersama jasadnya.
Aku sungguh bertanya-tanya keahlian apa yang dimiliki seorang Masjudi hingga dia mampu memengaruhiku sampai sebegininya. Padahal kalau dilihat dari caranya berkomunikasi, sudah pasti dia tidak punya skill yang mumpuni untuk menggaet orang. Aku di sini yang berperan sebagai dosen ilmu komunikasi. Harusnya dia yang terpengaruh olehku, bukan sebaliknya, bukan?