Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #25

Masjudi - Di Pasar Malam

Kau pernah membayangkan dirimu menjadi Nabi, eh? Aku pernah. Aku menginginkannya, kalau saja boleh jujur. Kau tahu betapa menyiksa jadi orang yang selalu dikesampingkan, bahkan oleh orangtuamu sendiri? Sampai sekarang, jika teringat perlakuan Pa'e, sesuatu terasa seperti menikam dadaku. Rasanya sakit dan berdenyut. Semua sumbernya ada di situ, eh. Sumber kemarahan dan kebutuhanku akan perhatian.

Pernahkah kau melihat sekelilingmu eh, alih-alih menjadikan dirimu sendiri sebagai pusat alam semesta? Orang-orang kadang luput memperhatikan sekitar karena merasa hidup ini tercipta untuk dirinya semata. Dirinya adalah makhluk paling penting di muka dunia, sehingga apa pun tentang orang lain terasa kecil saja. Kau tak akan mau ikut campur urusan rumah tangga orang--karena praktis itu semua tidak berpengaruh bagi hidupmu--sekalipun kau tahu di dalam rumah itu ada seorang anak yang digebuki setiap hari.

Kau pura-pura meyakinkan hatimu bahwa ketika kau lihat lebam-lebam membiru di wajah anak itu, itu hanyalah hasil kenakalannya semata. Padahal kau tahu betul dia dihajar habis-habisan oleh bapaknya. Luka itu bukan lebam karena terjatuh atau berkelahi dengan teman. Kau tahu, tapi memilih tidak mau tahu, eh. Eh-eh-eh.

Tidak. Aku tidak benci manusia-manusia seperti itu. Nyaris semua manusia begitu. Mereka tidak akan peduli tentang urusan yang bukan urusannya, atau jika urusan itu tidak menguntungkan baginya. Eh-eh-eh. Kadang aku merasa kasihan pada Tuhan. Dia susah-susah membuat akal untuk manusia, tapi nyatanya cuma dipakai buat memikirkan untung rugi bagi dirinya sendiri saja. Bukankah seharusnya, hidup lebih daripada itu, eh?

Ketiga preman yang sudah kembali keluyuran di Karang Pakis--menggantikan dua rekannya yang masih mendekam di bui--duduk di depan para warga. Melihat pengalaman dua teman sebelumnya, preman-preman ini tidak berulah macam-macam. Sebaliknya, mereka getol berbuat baik, eh. Ikut mengambil sampah, juga membagikan sembako-sembako pada warga. Jadi, pemandangan yang sekarang kulihat tidak asing lagi. Kami semua duduk bersama. Bahkan bermusyawarah, eh-eh-eh.

"Kami semua mau ketemu sama para investor pabrik. Kami nggak mau begini terus. Kalau memang mereka niat membeli Karang Pakis, datanglah sendiri dan mari kita negosiasi secara adil." Pak Hudi memimpin jalannya musyawarah.

Aku duduk di sebelahnya, sudah macam wakil RT saja, eh. Ketiga preman tersebut mendengarkan takzim, sesekali saling pandang. Mau bagaimanapun mereka cuma kacung, eh. Eh-eh-eh. Mereka pasti kebingungan.

"Coba kalian sampaikan usulan kami ini. Kalau mereka serius, seharusnya mereka punya itikad baik langsung menemui kami. Bukannya malah kirim preman-preman dan bikin huru-hara terus," tegas Pak RT.

"Baik, kami akan coba bilang. Tapi kami nggak jamin permintaan kalian bakal dituruti," jawab salah satu preman.

"Kalian usahakanlah bagaimana caranya. Saya tunggu kabar dari kalian satu minggu lagi."

Para preman mengangguk dengan wajah yang makin suram. Ini pasti tugas berat buat mereka, eh. Eh-eh-eh. Pertemuan siang itu di rumah Pak RT yang hanya dihadiri segelintir warga usai. Pak RT dan aku berbincang banyak tentang Lepet, yang dulu waktu kami kecil sangatlah kami takuti. Aku dan Pak RT tidak terpaut usia yang jauh, eh. Pak RT ini seumuran Atul, kakak perempuanku yang tercebur sumur.

Dia memujiku tentang kemampuanku yang ajaib itu. Dia bilang Lek Sakroni bisa hidup tenang sekarang ini berkat aku. Pak RT juga mengusulkan untuk membangun kuburan Masjudi seperti kuburan para wali. Eh-eh-eh, aku cuma terkekeh. Dulu kami menganggap Lepet adalah sampah, eh, tapi lihat sekarang. Kami menganggapnya wali penyelamat.

"Orang-orang elit seperti mereka memang pantas sesekali dapat pelajaran, Jud. Seenaknya saja bersikap mentang-mentang punya duit. Aku sebetulnya sudah jengah sekali sama preman-preman itu. Aku yakin kalau Lepet masih hidup, mereka semua sudah habis." Pak RT bicara panjang lebar.

Aku mengangguk saja. "Sa-salah sen-sendiri du-dulu kita ng-nggak baik sama di-dia."

"Yang penting sekarang kita semua sudah minta maaf dan ngelakuin apa yang dia mau, tho?" Pak RT terkekeh sambil menyeruput kopinya. "Apa rencanamu setelah ini, Jud?"

Lihat selengkapnya