Masjudi memasung istrinya! Apa yang kudengar tadi sungguh membuatku tidak bisa memejamkan mata. Laki-laki berewokan itu ... kecurigaanku semakin meruncing. Apa tidak ada orang di sini yang tahu? Karena aku hampir tidak pernah mendengar tentang itu. Seorang istri dipasung bukanlah sesuatu yang tidak akan dibicarakan orang. Jika benar apa yang dikatakan Masjudi, berarti bukan cuma dia yang gila, tapi Yu Mar juga. Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan menantunya dipasung? Atau apa yang menyebabkannya dipasung? Apakah istri Masjudi gila? Ah, ya, Tuhan, lelaki itu benar-benar mengerikan.
Aku tak mau lebih lama di sini. Kuharap esok tugasku benar-benar selesai dan aku bisa kembali ke Jakarta. Aku tak mau Masjudi semakin terobsesi untuk menjadikanku istri kedua. Aku bergidik membayangkannya. Namun, sepertinya aku masih punya pekerjaan lain meski jika esok tugasku usai. Pekerjaan yang sayangnya berhubungan dengan Masjudi.
Suara teman-teman kostku di ruang TV terdengar ramai. Mereka juga baru malam mingguan, kebanyakan memilih menonton bioskop atau jalan-jalan ke mall alih-alih mengunjungi pasar malam. Untung saja setelah naik bianglala, Masjudi mau diajak pulang.
Kuamat-amati pergelangan tanganku yang tadi dicengkeram lelaki itu. Cengkeramannya mantap tanpa ragu, sampai-sampai terasa nyeri. Masjudi. Lelaki gagap yang malam ini resmi mengambil alih pikiranku.
Tunggu sampai besok usai dan aku akan mengurusmu, Masjudi.
*
Tidak kusangka apa yang kukhayalkan akhirnya terjadi. Berkat Masjudi. Investor pabrik yang selama ini tak pernah terlihat batang hidungnya meski sekadar untuk survei bakal tempat pendirian pabrik mereka, hari ini akan datang. Semua akan berkumpul di Balai Desa. Pak Kades harus menunda liburannya di hari Minggu dan menemui tamu-tamu kehormatan itu.
Aku hanya mendengar selentingan dari beberapa perangkat desa kalau pabrik ini tidak hanya milik satu investor saja. Ada sekitar lima orang, perusahaan swasta, yang terlibat di dalamnya. Hari ini, kuharap semua petinggi itu ikut datang kemari. Warga bersedia pura-pura bernegosiasi karena perintah Masjudi yang mengaku mendapat ilham dari hantu Lepet.
Dia berbohong, tentu saja. Aku yang menyuruhnya mengatakan hal itu pada warga agar warga mau melakukannya. Separuh hatiku merasa bersalah atas pembodohan ini, tapi aku tak menemukan jalan lain. Jika berjalan lancar, pertemuan nanti justru akan menguntungkan warga Karang Pakis. Tidak akan ada jual beli tanah. Mereka tidak akan was-was lagi dengan gangguan preman-preman. Para investor itu yang harus hengkang.
Balai desa sudah ramai. Tak hanya warga, kulihat juga ada beberapa wartawan koran lokal. Wah, acara ini di luar dugaanku. Tak kunyana ada wartawan segala. Tapi baguslah, orang-orang penting seperti mereka memang harus disambut semeriah mungkin, bukan?
Orang-orang terlihat antusias, meski aku hanya mengamati dari kejauhan. Kardus-kardus berisi snack ditata di meja-meja panjang bertaplak yang sudah disiapkan ibu-ibu PKK. Musyawarah hari ini ada jamuannya segala. Aku yakin jamuan untuk para petinggi lebih mewah lagi, meski tujuan mereka ingin merebut tanah Karang Pakis. Pak Kades tidak akan membiarkan orang-orang elit ini menganggap remeh desa binaannya.
Di antara banyak orang yang berdatangan dan mulai memasuki balai desa, tanpa sengaja aku melihat Masjudi. Lelaki itu datang bersama Yu Mar, mengenakan kemeja batik yang kekecilan di tubuhnya yang liat. Celana kainnya juga mengatung semata kaki. Pakai baju punya siapa dia ini?
Masjudi tampak menjulurkan lehernya ke sana kemari. Dia pasti mencariku. Semalam aku berjanji padanya akan datang di pertemuan ini. Ya, aku memang akan datang, tapi nanti. Sekarang tugasku adalah mengintai situasi lebih dulu. Kulihat ketiga preman yang kemarin disidang juga sudah siap di teras balai desa, menanti kehadiran majikan-majikan mereka.
Satu jam berlalu dan matahari semakin terasa panasnya. Kulirik jam di pergelangan tangan. Sudah pukul sepuluh sekarang, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan kaum elit yang dinanti-nanti warga. Perasaanku sendiri mulai tak enak. Apa mereka berbohong? Pak Kades berulang kali keluar, mengecek keadaan, tapi tak ada perubahan. Snack di meja sudah ludes tak bersisa, pertanda hampir semua orang sudah ada di balai desa.
Aku berdecak sambil mengetuk-ngetukkan jemari di dashboard mobil. Sudut pengintaianku sudah tepat sekali. Aku seharusnya tahu setiap lalu lalang kendaraan yang keluar masuk balai desa.
"Kita turun saja?" Seseorang di sampingku bertanya.