"Bagaimana kamu bisa ketemu dan kenal sama Rani?" Ratna duduk di hadapanku, di ruang penyelidikan remang-remang yang sempit ini. Meja persegi memisahkan kami.
"Jangan pura-pura nggak bisa bicara, Masjudi! Jawab!" Perempuan itu menggebrak meja sambil bangkit dari kursinya. Dia sudah ada di sampingku sekarang, eh, dan aku digamparnya lagi. Eh-eh-eh.
Aku tetap diam dengan pandangan kosong, pura-pura menerawang jauh. Aku bahkan tak sesenti pun menoleh pada Ratna, padahal sebenarnya aku ingin sekali menatap wajahnya yang cantik itu, eh. Siapa sangka dia adalah kakak perempuan Damini, eh-eh-eh. Jika saja nasibku tidak sial begini, aku pasti sudah bisa bersenang-senang dengan kakak beradik itu.
"Saya nggak akan bikin kamu tenang, Masjudi! Saya pastikan kamu dihukum setimpal!"
Rahang Ratna mengertak saat mengancamku. Keheningan yang menyelimuti akhirnya membuatnya jengah dan pergi. Dia membanting pintu besinya dan tersisa aku sendirian di ruangan pengap terkutuk ini. Sudah lima hari aku ada di penjara, eh. Aku dipindah ke ruangan ini setiap kali ada petugas yang mau menanyai atau menghajarku. Tapi, mereka akhirnya sama-sama menyerah. Aku tidak buka mulut sepatah kata pun meski mereka menghajarku tanpa ampun. Aku tak mau mengakui apa-apa, eh.
Ratna baru hari ini menemuiku lagi. Mungkin dia sudah selesai mengubur tengkorak adiknya itu, eh-eh-eh. Kenapa dia harus repot-repot? Toh kepala Damini sudah nyaman dan tenang tertanam di balik tembok kamarku. Dia menemaniku terus, eh.
Baik, baik, berhubung aku sudah janji dan sekarang masih hidup, aku akan bercerita lagi. Kau mau dengar yang mana dulu, eh? Lepet atau Damini? Begini, aku mulai dari Lepet saja lebih dulu. Akan kuberitahu hubungan seperti apa yang aku dan dia miliki, eh-eh-eh.
Jadi seseorang dengan kekurangan yang begitu kentara sepertiku tidaklah mudah, eh, kau tahu. Gagapku, maksudku. Pa'eku sendiri bahkan tak mau menerima anak laki-laki yang ngomongnya susah seperti ini. Sudah pasti teman-temanku juga, eh. Aku adalah sasaran empuk perundungan mereka. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya aku tak bisa menyebut mereka teman. Mereka--anak-anak badung itu--hanyalah asu-asu yang bisanya cuma menyalak, membuatku ketakutan terkencing-kencing.
Kalau tidak salah, saat itu umurku baru tujuh. Pukulan Pa'e dengan rotan sudah jadi makananku sehari-hari, memang, tapi ada satu hal yang kusimpan sendiri selama ini. Perundungan teman-teman kampung dan sekolah. Di sekolah, aku selalu dikerjai. Seekor kecoa, bangkai tikus, bahkan tai mereka pernah dimasukkan ke dalam tasku. Uang jajanku selalu dirampas. Belum lagi segala cacian dan hinaan itu, eh. Judi koyo tai, Judi gagu, Judi wagu, Judi bodoh, Judi anak setan, dan semacamnya. Eh-eh-eh. Sekarang semua terdengar biasa, eh, tapi dulu caci maki itu sangat menyakitiku.
Sore itu aku mencoba bergabung agar diizinkan main sepak bola bersama anak laki-laki lain di lapangan desa. Seperti biasa, mereka ambil semua uangku untuk jajan es orson. Setelah itu aku cuma disuruh-suruh mengambilkan bola yang sengaja mereka tendang jauh-jauh. Aku tak tahu menahu saat bola itu tercebur got dan kotor semua. Aku sudah mengambilnya, tapi mereka menghajarku sambil minum es dari plastik. Anak-anak itu tertawa terbahak-bahak, menikmati es yang segar dari uangku, sambil menendangiku, eh.
Saat itulah Lepet lewat dengan motor yang knalpotnya bikin telinga budeg. Entah mau apa dia ke lapangan, aku kurang paham. Tapi dia melihatku, eh, sedang ditendangi dengan baju dan tubuh yang penuh lumpur bau. Tak kusangka ketua preman itu mendekat. Aku sudah kencing di celana saking takutnya. Aku kira dia mau membantu anak-anak lain menendangiku juga. Atau malah aku mau disembelihnya, karena saat itu dia sudah terkenal suka membunuhi orang-orang.
Tapi tidak, eh. Lepet tidak menyembelihku. Dia memang mengeluarkan parang yang terselip di celananya, tapi parang itu tidak diacungkan padaku, melainkan pada anak-anak bodoh yang merundungku. Mereka semua tentu saja, eh, langsung lari kocar-kacir. Plastik es di genggaman mereka jatuh di sekitarku. Orson rasa frambors yang merah warnanya bercampur dengan air kencingku yang sudah merembes di tanah lapang. Baunya tidak keruan. Eh-eh-eh.