Aku menegarkan diri untuk menatap wajah lelaki ini. Gurat-gurat keriputnya semakin kentara, rambutnya yang dulu selalu dicat sebelum sehelai uban muncul, kini nyaris semuanya memutih. Meski begitu, garis wajahnya yang tegas dan tatapannya yang selalu tajam penuh selidik, tidak berubah. Ayah. Selama dia dipenjara, baru sekali ini aku menemuinya.
Rasa nyeri terasa sampai ke sudut-sudut hatiku. Perihnya menjalar ke mana-mana saat mata kami bertemu. Ayah tersenyum. Aku lekas-lekas mengalihkan pandangan pada langit-langit ruang temu penjara yang bercat putih, menghindari jatuhnya air yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
"Terima kasih," ucap Ayah dengan suara bergetar. Ayah tidak pernah begini sebelumnya. Nada bicaranya selalu tegas. "Ayah tahu kamu selalu bisa diandalkan."
Aku memaksa mengangkat ujung-ujung bibir sambil menyusut sebutir air mata yang jatuh. Jika saja Ayah tahu bagaimana perasaanku saat ini yang begitu campur aduk--lega karena akhirnya bisa menangkap Michel, sekaligus dapat bonus tak terduga dengan mengungkap pembunuh Rani. Namun, aku juga tetap bersedih untuk Ayah. Untuk Ibu. Untuk kami. Semuanya tak akan kembali meski dua biang kerok itu sudah dapat ganjaran selayaknya.
Hukuman untuk Masjudi masih diusut. Berdasar pemeriksaan kejiwaan, dia didiagnosa mengalami gangguan jiwa yang membuat semuanya jadi rumit. Aku ingin sekali dia dijatuhi hukuman mati, atau penjara seumur hidup minimalnya. Tapi dengan keadaannya yang seperti itu, benar-benar menguntungkannya. Seseorang dengan gangguan jiwa termasuk dalam golongan yang tidak tersentuh hukum. Tidak bisa dipidana. Jadi, Masjudi akan ditaruh di rumah sakit jiwa untuk menjalani masa percobaan. Mungkin untuk satu tahun ke depan.
Aku cukup menyesal kenapa ada hukum khusus tentang penderita gangguan jiwa seperti itu. Masjudi lebih dari pantas mendapatkan hukuman mati. Tengkorak manusia yang kami temukan di tembok kamarnya sudah diperiksa, dan terbukti itu tengkorak kepala Rani. Kasus Rani dibuka lagi dan Masjudi ditetapkan sebagai tersangka tunggal. Aku membongkar makam Rani dan mengubur tengkorak tersebut bersama tubuhnya yang juga sudah jadi tulang belulang.
Aku tidak bisa menerima ini semua. Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan terus mengusut dan membuat Masjudi dihukum setimpal. Kalau benar-benar dia tidak tergapai oleh hukum negara, aku sendiri yang kelak akan menghabisinya. Dia harus mati, orang sepertinya. Bisa kamu bayangkan bagaimana jika dia kabur dari rumah sakit jiwa?
Tak berhenti hanya di rumah Masjudi, kami juga menyisir setiap jengkal kebun sukun dan resmil terbengkalai itu. Jasad Lek Santo ditemukan di sana--dikubur dengan kedalaman satu setengah meter di bawah tanah kebun yang lembap--masih lengkap dengan pakaian yang dia kenakan saat terakhir kali terlihat. Lek Santo, pria itu bukannya hilang, tapi dibunuh. Siapa lagi kalau bukan oleh Masjudi. Sekalipun dia diam seribu bahasa, pura-pura bisu, semua bukti tak terbantah mengarah padanya.
"Ayah minta maaf, Ratna." Suara Ayah mengembalikanku ke tempatku saat ini. "Ayah tahu ini percuma, kamu tidak harus memaafkan Ayah. Ayah hanya ingin minta maaf."
Aku tertegun. Bicara dengan kalimat panjang bukan kebiasaan Ayah. Apakah kehidupan di bui mengubah Ayah begitu banyak? Rasa iba dan haru muncul perlahan di hatiku, menggeser kemarahan yang tiga tahun ini mendekam di sana. Aku membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi juga tidak tahu apa yang mesti kusampaikan. Ayah lagi-lagi tersenyum. Dia mungkin tahu isi hatiku.
"Jangan jadi seperti Ayah, Ratna. Tetaplah jadi Ratna yang baik. Polisi yang baik."
Air mataku tak bisa kubendung lagi. Alih-alih kalimat, yang meluncur dari bibirku hanya isak tangis.