“Di mana aku?”
Aku memperhatikan sekeliling permukiman tak kukenal. Semua tampak kelam kabut dan sedikit penerangan. Apakah diriku harus bertanya lagi tempat apa ini?
“Maximillian, di mana kau?!” Aku setengah berteriak.
Bagaimana bisa Maximillian pergi ke daerah asing dengan pemandangan tak berkelas? Ya ampun! Kalau saja dia tak pergi seenaknya, aku tak akan ditugaskan Paman Morgan, Raja di kerajaan Etchaland, tempat tinggalku.
Pertanyaannya adalah ke mana Maximillian pergi?
Aku melintasi jalan senyap, tak ada petunjuk Maximillian pergi ke sini. Tapi... bukan berarti tak ada, mungkin Maximillian bersembunyi atau pergi ke suatu tempat.
Dia cuma pinguin tua berumur 650 tahun menjabat sebagai penasihat kerajaan. Namun tingkah Maximillian terkadang menyebalkan! Salah satunya pergi tanpa kabar. Lalu, aku dibuat repot olehnya.
Astaga, kotor sekali! Pikirku.
Sangat buruk. Hanya ada kebun tak terawat dan deretan rumah terlalu sederhana. Besar rumah tak ada separuhnya dari luas kamarku. Walau aku harus mengakui ada beberapa rumah cukup bagus dibanding rumah lain.
Jika memang Maximillian di sini, apa dia ablepsia memilih tempat tak apik sama sekali? Sungguh terlalu.
Semakin dalam, penglihatan kian gulita. Aku tak dapat melihat jelas selain mengandalkan impresi untuk mencari.
Namaku Norlorn, memangku jabatan sebagai panglima muda kerajaan Etchaland sebelum menggantikan Ayah menjadi panglima tertinggi negeri beberapa puluh tahun lagi. Itu sudah peraturan, bukan prodeo. Di kemudian hari, semua panglima muda kerajaan setiap wilayah akan menggantikan ayah mereka menjadi panglima negeri atau panglima tertinggi melalui keputusan para raja yang berwenang.
Aku paham, kalian para manusia tak akan percaya salah satu bangsa mitos asal Jerman bisa tersesat ke dimensi manusia trilyunan mil jauhnya seraya kebingungan mencari pinguin hilang dari istana.
Kiri, kanan hanya ada pohon besar, persawahan, dan ilalang renggang. Bangsa macam apa sebenarnya pemukim teritori di sini? Kebersihan tak terjaga dengan baik.
Belum sampai sepuluh menit berpikir, ada sebuah pukulan dari samping nyaris mengenai wajahku. Gila!
Kalau saja reflek tak baik, tubuh sudah gepeng oleh makhluk berbulu hitam, bertubuh besar, dan berbau singkong bakar kutemui di jalan.
Makhluk itu melakukan penyerangan. Kami saling memukul, menonjok, menendang bersama gerakan tak berbobot lainnya yang dilakukan oleh makhluk besar berbulu lebat tersebut.
Boleh juga kekuatannya. Sayang, dia terlalu banyak melakukan agresi di awal. Sia-sia jika dia memakai tenaga untuk itu. Akhirnya dia menyerah, memohon ampun pada kuncian di lengan berbulu menjijikan miliknya.
“Cukup makhluk muda!” serunya meringis.
“Kenapa Anda menyerang saya?!”
“Aku penguasa wilayah ini. Jika ada yang masuk tanpa izin, itulah yang ku lakukan.”
“Maaf sebelumnya, saya tidak bermaksud memasuki wilayah ini.”
Tilikan mata merah dia belum sepenuhnya yakin. Si makhluk berbulu menyoroti layaknya melihat pengacau.
“Lalu, apa maumu?” tanya dia. Suaranya menggelegar bak guntur.
“Apa Anda melihat seekor pinguin berbulu jabrik di kepala mengenakan dasi kupu-kupu?”
Sebenarnya aku sangsi, mengingat sambutan kurang ramah tadi. Di satu sisi, ada baiknya bertanya. Bisa saja dia melihat Maximillian.
“Pinguin berdasi kupu-kupu?” Dahinya berkerut.
“Iya, apakah Anda melihatnya?”
“Sepertinya iya.” Dia mengangguk. Kepala dia mendongak ke sebuah gapura besar bertuliskan BAJONG.
“Bajong?”
Nama tempat aneh tapi mencuri perhatian.
“Kau bingung makhluk muda?”
“Tentu saja.”
Tak dapat dipungkiri, selain menjadi pusat perhatian, nama asing di telinga juga membuat penasaran.
“Itu nama desa salah satu wilayah kekuasaanku.” sahut dia.
“Anda yakin pinguin kerajaan saya ada di sana?”
“Aku yakin melihatnya makhluk muda.”
“Baiklah. Anda bisa mengantar saya?”
“Bisa. Dengan syarat kau melepas kuncian dirimu di lenganku. Aku mengaku kalah, makhluk muda.” ujar dia.
Sepertinya makhluk ini baik meski wujudnya membuat bulu roma berdiri. Bulu-bulu kasar tumbuh dari ujung rambut hingga kaki berwarna hitam sekaligus lebat bagai akar gantung pohon beringin.
“Terima kasih, makhluk muda.” Dia tersenyum sembari memperlihatkan gigi yang tak rata bersama taring.
“Sama-sama, Paman.” jawabku.
“Aku Genderuwo. Kau siapa dan dari mana asalmu?”
“Saya Norlorn. Bangsa Elf penghuni Hutan Hitam di Baden-Württemberg, Jerman.”
“Rupanya, kau memang bukan berasal dari sini. Maaf aku menyerangmu tanpa bertanya.”
“Tidak usah dipikirkan, Paman.”
“Sebagai permintaan maaf, aku akan membantu mencari pinguin temanmu. Bagaimana?”
“Dia bukan temanku, tetapi penasihat kerajaan.” Aku menggeleng, meluruskan dugaan makhluk bernama Genderuwo.
“Kau keluarga kerajaan?!” Mata dia membelalak.
“Iya.”
“Seandainya aku tahu kau adalah keluarga kerajaan, aku tidak akan menyerangmu.”
“Tidak apa-apa, Paman. Tak kenal maka tak sayang.” Aku tersenyum.
“Kau bisa memanggilku, Gondo.”
“Paman dapat memanggilku, Noey.”
“Nama yang bagus, makhluk muda.”
Paman Gondo memimpin sambil memasuki desa. Tak kusangka, sama parahnya dengan wilayah kekuasaan dia sebelumnya. Bahkan lebih merusak mata, aku sampai tak bisa berkata kalimat bagus untuk menceritakan tempat ini.
“Jangan kaget makhluk muda. Inilah desa,” katanya.
Miris! Positifnya jalan desa ini sudah rata, mirip jalan besar kulewati sebelum bertemu Paman Gondo.
“Keadaannya begitu miris,”
“Daerah ini masih lebih bagus dibanding daerah lain!” Paman Gondo agak ketus. Amat terlihat dia membela daerah kekuasaan milik dia dari caranya berbicara.
“Daerah lain lebih parah?”
“Tentu saja!”
“Maaf,”
Aku menjaga jarak sebelum Paman Gondo berubah pikiran. Lebih baik mencegah daripada berkelahi lagi.
“Tidak perlu kaku begitu makhluk muda.”
“Aku hanya ingin mencegah hal tadi terulang, Paman.”
“Aku tidak akan menyerangmu. Aku ‘kan sudah bilang.”
“Terima kasih untuk pengertian Anda, Paman.”
“Justru, aku yang berterima kasih makhluk muda.” ujar Paman Gondo.
“Aku ingin pinguin kerajaan kami kembali pulang.”