Leás

Giovani Alvar
Chapter #3

#2. Realitas Yang Terpajan

Kamar Norlorn, pukul 3 sore waktu setempat

Pendar rawi merambah kaca jendela kamar menjagakanku dari ranjang. Sekilas, aku terkenang perkenalan pendek dengan gadis bermata bi-warna di desa. Sesungguhnya siapa dia? Tilikan kornea yang sukar ditembus menciptakan beragam teka-teki. 

Semuanya mirip Akshita, hanya warna kornea bertolak belakang. Akshita berkornea mata warna solid, wanita kutemui memiliki kromatika berbeda. Warna kornea kiri dia abu-abu, sebelahnya berwarna cokelat. Dara serupa Akshita seolah-olah jelmaan kucing odd eyes daripada insani. 

Ayolah Norl, untuk apa memikirkan manusia baru kau kenal? Jika perasaan dan logika berbantahan begitu jadinya. Sisi perasaan meyakini dia masih ada hubungan dengan Akshita, sisi logika berkata sosok yang sudah menghilang belum tentu kembali. 

Ada benarnya. Pertemuan dengan Akshita sudah amat lama. Manusia tempatnya lupa, Akshita sekarang pasti sudah dewasa atau berkeluarga. Jadi, buat apa mencari sosok tak ada kabar? Jikalau ada kabar, masih sudikah dia menerimaku? 

Siapa sosok dapat membantu soal ini? Permasalahan Akshita sangat rumit sekaligus menyesakkan dada. Wanita makhluk paling susah dimengerti. Saat harapannya berbalas, dia menolak. Kalau tak terbalas, menangis seharian. Menganggap takdir dan Tuhan tak adil. 

Memang tak semua perempuan begitu. Tapi rata-rata iya ‘kan? Aku melihat beberapa teman kakakku saat di istana. Semua gadis teman kakakku selalu memposisikan diri menjadi korban laki-laki. Padahal, belum tentu laki-laki salah. Mungkin para lelaki yang sebenarnya jadi korban, bukan mereka. 

Drrrt Drrrt… Drrrt....

Aku menoleh. Gawai bergetar di bufet memberitahu ada telepon masuk dari Erlan. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlamapui. Tak mustahil Erlan dapat memberikan solusi masalah. Ada untungnya mempunyai sahabat playboy, sedikit-sedikit darinya aku mendapat pengetahuan tentang para nona. 

“Norl, kau ada waktu?”

Dasar Erlan. Baru kusentuh pemutar proyektor, wajah dia sudah memenuhi layar di tembok tanpa mengucap salam. 

“Kau kebiasaan. Kalau menelepon ucapkan salam dulu dong!” 

“Maaf Norl.” Dia cekikian.

“Waktu selalu ada, Er. Yang membuat waktu menjadi tidak ada karena kau sibuk sendiri.” 

“Kau meledekku, Norl?” Dia cemberut di layar. 

“Biasanya playboy kelas wahid sibuk dengan para wanita. Tumben, kau menelepon tanpa ada wanita hari ini.”

“Kau jahat, Norl!” Erlan angkat bicara. 

“Siapa yang jahat? Aku hanya membeberkan fakta.” 

“Intinya kau ada waktu luang tidak hari ini?” 

“Ada sih.”

“Bagus. Hari ini kita ke Freiburg.”  Erlan bertutur. Mata dia bersinar menghimpun tebakan di layar proyektor. Anak itu mau apa ke Freiburg? Dahiku langsung berkedut begitu tahu intensi Erlan pergi ke Freiburg sepintas lalu. Dia pergi ke Freiburg hanya melihat wanita? Aktivitas tak berguna menurutku.

“Kau ke Freiburg cuma untuk melihat cewek?” Aku mengernyit.

 Erlan meneruskan dialog, “Iya. Kau mau ikut tidak, Norl?” Kegembiraan tersurat di raut dia.

“Kalau untuk hal seperti itu aku tidak akan ikut, Er. Membuang waktu.” 

“Yakin? Kita sudah berteman lama ‘kan?” 

“Iya. Lalu apa hubungannya?”

“Aku tahu,  kau sedang mencari sosok wanita cinta pertamamu dulu. Benar ‘kan?”

Darimana Erlan tahu? Aku bahkan belum menceritakan apa-apa soal Akshita.

“Sok tahu.”

“Jangan bohong padaku, Norl.” Erlan mengestimasi prosodi. Luar biasa sahabatku, firasat dia sangat kuat. Dia memang pantas menjadi playboy kelas satu dan panglima cerdas keutamaan wilayah barat. Ketajaman pikiran Erlan mampu memprakirakan siasat musuh. Bukan hanya musuh, wanita juga. Ups…

“Hubungannya dengan Freiburg?” 

“Wanita yang kau cari dulu bertemu di Freiburg, benar?”

“Iya. Intinya apa kau mengajakku ke Freiburg?”

“Aku ingin mengajakmu mencari kebenaran.”

Erlan optimis pada keputusan mengajakku ke Freiburg. Meski ragu, aku tetap ingin berangkat. Memecahkan masalah tentang Akshita daya nalar harus aktif. Tanpa itu, kebenaran tak dapat diungkap. 

“Kita janjian di mana?”

“Di Augustinerplatz, Norl.” 

“Pukul berapa?”

“Pukul empat sore. Bagaimana?”

“Baik. Kita akan terlihat atau tidak, Er?”

“Ada baiknya terlihat, Norl. Manusia tidak akan peduli dengan kita.”

“Ya. Aku percaya padamu, Er demi mencari kebenaran.”

“Kita memakai baju kasual saja.”

“Beres.”

“Sampai bertemu di Augustinerplatz.”

Layar proyektor mereduksi dan menyusut. Lantas, sambungan telepon berakhir. Sebaiknya, aku segera bersiap-siap sebelum Erlan sampai terlebih dulu di sana. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu mencari Erlan di sekeliling Augustinerplatz, nanti begitu ditemukan sudah banyak wanita muda di sisi dia. Saat itu juga,  bisa batal pencarian kebenaran tentang Akshita. 

Informasi untukmu; negeriku beberapa abad lebih maju dari peradaban manusia. Ku harap, kau tak kaget dengan aktivitas telepon video memakai pewayang pandang. Tanah aku diciptakan dan duniamu kurang lebih sama untuk kegiatan dan kesibukan individu secara umum. Hanya teknologi yang berbeda jauh. 

Apabila penulis cerita menceritakan ‘alam buatannya’ kebanyakan bertema abad pertengahan didominasi sihir bersama karakter makhluk mitos, aku tak akan bercerita tentang itu. Memang, ilmu sihir di sini sekali waktu terpakai. Bukan tanpa sebab, untuk menyempurnakan teknologi yang sudah dibuat. Sesekali, sihir diperlukan agar kehidupan negeri tetap berjalan. 

Teknologi versus sihir, mana lebih unggul? Keduanya mempunyai keunggulan masing-masing untuk kelangsungan hidup negeri. Aku pribadi, lebih suka memakai teknologi pada aktivitas harian. Tak mungkin juga aku memanggil seekor Simurgh kalau bukan keadaan genting. Apalagi cuma berpergian dalam negeri. 

Aktivitas lain adalah kegiatan menelpon. Teknologi amat membantu makhluk sepertiku yang sangat malas menggunakan telepati untuk memberitahu sosok lain. Membuang energi umpama setiap hari harus begitu. Tanpa adanya teknologi, belum tentu aku lebih cepat sampai ke portal umum menuju dimensi lain. 

Bayangkan portal umum ke dimensi kau tuju ada di hutan wilayah utara, letak hutan di ujung negeri. Misal menaiki kuda ke wilayah utara, berapa lama waktu ditempuh dengan berkuda? 

Di mana hewan mitologi yang sering diceritakan beberapa penulis untuk tunggangan makhluk mitos? Peraturan di sini, hewan mitologi tak akan digunakan kalau tak terdesak. Kedua, hewan mitologi adalah hewan dilindungi. Tak bisa sembarangan kau ‘membawa pulang’ mereka tanpa izin para Raja wilayah. 

Mencuri hewan mitologi dengan alasan perjodohan untuk membantu manusia perbuatan dilarang. Kau melanggar, akan kena sangsi atau hukuman berat. Jadi, kalau kau ingin berkunjung ke sini suatu saat, ikuti peraturan. Maka, kau akan mendapatkan “tanda mata” tak terlupakan. Jika tak mengikuti peraturan, kau juga akan mendapatkan “oleh-oleh”. “Oleh-oleh”mengerikan dari penduduk negeri.

Freiburg, i’m coming.

Aku menyalin pakaian kerajaan dengan busana simpel. Sweter, sepatu kasual, dan celana jin bermodel sobek di bagian dengkul berwarna gelap. Tak ada waktu bersantai sebelum Erlan tiba di hutan wilayah utara. Kukeluar kamar, turun menaiki lift ke lantai dasar. 

Saat pintu lift terbuka, kakakku terkesan menyelidik, “Mau ke mana, Norl?” 

Namanya Nueleth, kakak tercantik dan terbaik kukenal di istana. Rambut ikal sedada berona platina seperti Ayah dan aku serta kornea bernuansa biru langit menampakkan daya pukau tersendiri. Umurnya tidak terlalu jauh berbeda, selisih 80 tahun saja denganku.

“Aku mau ke hutan wilayah utara, Kak.”

“Untuk apa sore-sore begini kau ke hutan wilayah utara?” Kak Nueleth menyidik. Dia kurang yakin dengan ketentuanku.

“Aku diajak Erlan ke Freiburg.” 

“Ke Freiburg? Ya ampun.”

“Kalau kau ingin memarahiku nanti saja, Kak. Aku tidak ada waktu.”  Lekas aku ke garasi istana menstarter motor. Kak Nueleth setengah berlari mengekor sampai ke garasi. 

“Ada apa lagi, Kak? Marah-marahnya nanti saja.”

Dia terbahak, “Siapa yang mau marah?”

“Kenapa Kakak mengikutiku?”

“Gelang kesukaanmu.” jawab dia memakaikan gelang rantai padaku.

“Ku kira kau mau marah.” Aku menarik napas lega. 

“Memangnya wajahku kelihatan marah?” tunjuk dia.

“Tidak kok. Cuma…”

“Cuma apa?”

“Galak.”

“Kurang ajar!” Getokan keras menghunjam di kepalaku. Ngilu. Tanpa jitakan, bukan Kak Nueleth namanya. Tempelengan sayang ke Adik, jawab dia begitu setiap ditanya.

“Aku berangkat, Kak.” 

“Hati-hati di jalan.” ucap dia tersenyum.

“Terima kasih, Kak.”

Setelah motor siap, aku memakai kacamata motor. Jangan tanya kenapa tak memakai helm. Kacamata motor sudah termasuk helm tembus pandang, kau akan tetap bergaya dengan tatanan rambutmu tanpa harus takut berantakan atau lepek setelah sampai di tujuan. 

Lihat selengkapnya