Leás

Giovani Alvar
Chapter #4

#3. Realitas Yang Terpajan (2)

Tutup.

Kami berpandangan. Kafe Kastaniengarten Biergarten diam seribu bahasa. Tak ada aktivitas. Kursi dan meja tak lebih dari memento mori. Berkabung, meninggalkan memori episodik hari sebelumnya.  Yang benar saja? Padahal aku belum makan.

“Norl, di dimensi ini sekarang hari, tanggal, bulan, dan tahun berapa?”

“Senin, sembilan Januari Dua ribu tujuh belas.”

“Pantas saja tutup. Kita lupa akan hal ini, Norl.” Erlan menepuk dahi.

“Hari Senin libur.”

“Padahal aku sedang ingin Putensteak mit Pommes[1].”

“Makan di istana saja, Er. Adome bisa membuatnya.”

“Boleh juga usulmu, Norl.” Erlan kesenangan mendengar penawaran makan di istana.

“Kita dituntut berpikir secara cepat dan tepat dalam strategi ‘kan, Er?”

“Kau benar, Norl. Strategi tepat waktu kafe tutup adalah makan di istana.” Erlan tertawa. 

“Yang penting hari ini kita bisa makan. Ya ‘kan?”

“Yeah!”

“Titik portal untuk pulang ada di mana?”

“Di Schlossberg, Norl.”

“Bagus kalau begitu, kita tidak perlu ke The Mantistor.”

“Kali ini kita mujur. Aku tidak bisa membayangkan saat menuju portal berjingkrak-jingkrak dulu di Böchle.” 

“Kita bisa dikira gila berjingkrak-jingkrak menggapai portal, Er.”

“Malangnya kita kalau begitu.”

“Kecuali kalau Parkour[2].” Aku menyelang. 

“Apa?!” Erlan mencelikkan mata.

“Ayo Parkour.” ajakku. Aku tahu, Erlan akan menolak begitu saja usulan ke Schlossberg sekalian berolahraga Parkour. Roman dia pucat seperti mayat. Dari dulu dia tak suka Parkour selama kami sekolah. Menyusahkan kata dia. Setiap ada tes, Erlan selalu bolos. 

Schlossberg secara harfiah berarti Gunung Kastil. Dari sini, kau akan dimanjakan dengan penglihatan fenomenal. Keseluruhan kota beserta Hutan Hitam yang mengelilinginya. Walau Erlan menolak, aku tetap mengajaknya Parkour hingga ke Schlossberg. Dari belakang, dia agak tertinggal. 

Kemampuan Erlan boleh juga melakukan Parkour. Dia melawan ketakutan dengan sukses. 

Kami sudah sampai di Schlossberg, Erlan kelihatan kelelahan menyusulku duduk di bangku taman. Sudah kukatakan tadi, Jika kau ke Schlossberg, pemandangan itulah yang tampak. Kemodernan kota bergabung bersama keindahan alam Hutan Hitam. Eksentrik sekaligus luar biasa. 

Sebelum ke puncak Schlossberg, aku memang sengaja singgah di taman mengistirahatkan Erlan. Taman besar lengkap dengan bangku-bangku dan teras untuk berkumpul bersama keluarga atau teman. Beberapa orang terlihat asyik membaca buku. Begitu juga aku, membaca buku pemberian Erlan berisi trik mendekati wanita kutemui saat tersesat di desa.

“Kau ini menyiksaku, Norl.” Napas Erlan terengah-engah. Dahinya berpeluh sebesar biji jagung.

“Olahraga, Er.” Aku mengikik. 

“Norlorn, yang kau lakukan itu jahat!” Erlan mengerucut dan memajukan bibirnya. Aku yang tadinya ingin meminta maaf, malah jadi tergelak pada Erlan. 

“Er, kau tidak trans[3] karakter Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta musim kedua ‘kan?”

“Sejak kapan aku suka menonton film jenis roman buatan manusia, Norl?” Erlan mendengus di bangku. 

“Aku pikir kau kerasukan aktris Indonesia Dian Sastrowardoyo,” 

“Sembarangan kau! Mana bisa manusia merasuki kita, Norl?” 

“Barangkali kau pengagumnya sehingga jiwa dia merasukimu.” Aku tambah terbahak mengatakan kalimat itu meski reaksi didapat adalah raut muka Erlan memerah. 

“Sudahlah, ayo kita ke puncak dan jangan Parkour lagi!” 

Erlan berkacak meninggalkan bangku taman menuju puncak Schlossberg. Berjalan sendirian meninggalkan aku di belakang. Erlan jika sudah merajuk pasti begitu. Tak peduli sosok di belakangnya. Biarkan saja, dia tak akan tega meninggalkan aku di sini.

Dia menoleh, “Ayo Norl!”

Benar ‘kan? Dia bisa cepat meredam sifat ambekan miliknya bila aku tak melawan keinginan dia kurang sukai. Di puncak Schlossberg, portal berwarna keunguan menanti kami berharap cepat kembali. Untuk sesaat, kami berhenti bergerak menikmati horizon terbentang lebar di hadapan. 

Semua kami dapat tanpa harus bersusah payah mendaki gunung terjal berjarak dengan kemajuan. Bahkan, anak-anak bisa sampai tanpa kelelahan atau kehabisan napas. Kecuali, kau memaksakan diri ke Schlossberg melakukan olahraga menguras tenaga seperti Parkour. Hehehe… 

Kota Freiburg berhasil dengan gemilang menyeimbangkan modernitas, sejarah, mitos, dan kekayaan alam. Gabungan unsur yang menguatkan jati diri kota. 

Hari ini hanya ada kami di puncak. Tepatnya, sudah tak menampakkan diri pada pengunjung agar memudahkan perjalanan pulang sebelum penduduk kota geger memberitakan dua pemuda hilang tanpa petunjuk di puncak Schlossberg. 

Erlan maju memasuki portal dua detik sebelum aku masuk. Keadaan Schlossberg menyuram, pintu gerbang pembatas negeri dan kota Freiburg akhirnya menutup, lalu semua penglihatan menggelap.

***

“Norl…!!”

Erlan melaung di luar. Aku melongok, meninjau dari belakang. Kenapa kami ada di sini? Seharusnya kembali ke Hutan Delta Experimental, bukan di Hutan Cahaya. Hamparan rumput belang[4] berayun lambat terkena angin utara, menyiarkan ejekan padaku dan Erlan. Mengolok-olok ketelitian dua panglima muda penjaga negeri. 

“Kau bilang portal pulang ada di Schlossberg! Kenapa kita di sini, Er?”

“Maaf, Norl. Aku salah ambil rute.” Erlan menggaruk-garuk kepala.

“Lain kali lihat lebih teliti portal itu benar atau tidak, Er.”

Dasar! Kenapa kau ceroboh saat keadaan mendesak begini, Er?

“Terpaksa kita keluar dari sini dan menaiki bus ke Hutan Delta Experimental.” Erlan memberikan jawaban. Dia berpasrah diri.

“Portal cadangan,”

“Motorku masih di Hutan Delta Experimental, Norl.”

“Tidak usah repot, kau hubungi saja Shaka, Er.”

“Oh iya. Betul juga,”

“Kita dituntut berpikir secara cepat dan tepat dalam strategi ‘kan, Er?” 

Lihat selengkapnya