Kontradiksi di ruang kerja telah berakhir. Aku bersumpah, semua perkataanku dapat dipertanggungjawabkan sesuai permintaan Ayah. Keluar dari kamar merupakan hal terbaik untuk memastikan perselisihan selesai. Di jendela, Ayah kelihatan melamun. Pikirannya mengawang-awang entah ke mana.
Akan aku tepati janji itu, Ibu.
Gambar Ibu di dinding menjadi saksi ikrarku pada mambang kuning[1] hari ini. Ingatan insiden berdarah seratus lima puluh tahun lalu kembali terpatri. Ketika di belahan bumi lain sosok berusia seratus delapan puluh tahun melakukan hal produktif atau memilih menikah lalu mengurus banyak anak yang seharusnya lebih pantas disebut tim sepak bola bersama finansial kepapaan[2], aku harus mengalami kekecewaan.
Penyesalan menyaksikan Ayah dalam keadaan terluka bersama para prajurit dan Ibu sekarat di koridor istana. Kami sebagai anak tersedu-sedu tanpa bisa berbuat apa-apa. Ibu terbaring, tatapan dia muram. Tubuhnya berusaha bangun seraya mendekap kami. Luka di perut dan dada Ibu menganga, terlihat dalam. Ucapan dia tertatih-tatih setengah berbisik,“Nue–le–th… Ibu titip Ayah dan adikmu,”
“Bertahanlah, Bu.” Kak Nueleth terisak-isak.
“Ibu, bertahanlah. Aku akan memanggil bantuan,” Perih melihat Ibu tak berdaya, mata biru terang milik dia sinarnya meredup. Cahaya wajahnya memudar, pelupuk mata dia turun perlahan. Bibir Ibu tersenyum tipis padaku.
“Ibu tak akan lama lagi di sini. Jaga Ayah dan diri kalian.” Kalimat dia lirih.
“Ibu…” Kak Nueleth tersedan-sedan.
“Ibu, jangan tinggalkan kami.” Air mata mengalir deras membasahi pipi. Ibu masih memeluk kami dengan tenaga terakhirnya sebelum pendar muka dia hilang untuk selamanya.
“Norl, carilah sosok itu. Kelak, dialah yang akan menjadi tujuan akhirmu.”
Sesaat setelah mengatakan, Ibu mengembuskan napas terakhirnya. Tiada lagi pelukan hangat setiap hari kami terima, tak ada ocehan jika latihan ilmu pedang kami semua salah dan tak semangat, bahkan canda dan tawa Ibu saat bersama Ayah.
“Ibu…!!”
“MARYN…!!”
Ayah melaung. Ayah bersusah payah bangun menyokong tubuh dia dengan tombak. Gerakannya terseok-seok menggapai jasad Ibu. Dia tersedu sedan meratapi peristiwa. Ayah kelihatan tertekan memandang Ibu, bidadari telah gugur menjaga kerajaan dan negeri.
Kulepas pelindung tubuh Ibu yang rusak beserta pelindung tangan. Kak Nueleth memasukan kembali pedang ke sarung pedang. Kenapa Ibu memakai pedang latihan untuk bertempur? Tidak seharusnya itu terjadi!
“Kita tidak bisa memprediksi, Norl.” ujar Kak Nueleth melarau.
“Tidak seharusnya Ibu memakai pedang latihan untuk melawan!”
“Kalau aku tahu, aku juga akan melarangnya, Norl!”
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri kita, Kak!?”
“Konkurensi bangsa kita dan manusia.”
“Apa?!”
“Ya. Ramalan itu sudah terjadi!”
“Tuhan….”
“Sudah masanya bangsa kita bertempur dengan bangsa manusia, Norl.”
Mimik Kak Nueleth datar. Mulut dia menggumam tanpa suara. Netra Kak Nueleth pirau[3] merenungi horizon berona kelabu. Suasana di lorong istana berawan duka. Redup. Ayah mengangkat tubuh Ibu seraya memeluk Ibu erat. Raga Ibu begitu dingin. Dewi alam telah menjemput Ibu bersamanya.
Kami mencium kening Ibu untuk terakhir kali. Meninggalkan koridor istana, salah satu tempat menjadi saksi bisu pertempuran di kastel. Ayah berjalan di depan bersama Alfonso, asisten Ayah yang membantu menggotong Ibu ke lantai dasar.
Keadaan lantai dasar sangat kacau. Cerai berai tak keruan. Barang-barang berserakan, morat-marit. Bukan hanya prajurit, para pelayan juga terluka. Adome merintih kesakitan bersama dua pelayan lain.
“Adome, siapa yang menyerangmu?”
“T–tu–an–Mu–da—“ Adome terputus-putus.
“Siapa Adome?”
“G–ge––ro–m–bo–lan– ma–nu–si–a….”
“Manusia?!”
“Bb–e–tul, Tuan Muda.” sahut Tavin, wakil kepala pelayan.
“Mm–af, kami—tidak mampu menahan mereka.” Syo Ri menyambung.