Leás

Giovani Alvar
Chapter #9

#8. Teman (Untuk) Berjuang

Hakikatnya di dunia ini tidak ada sesuatu berakhir sia-sia. Usaha, doa yang kau panjatkan dengan tulus akan didengar oleh semesta. Mungkin saat ini kalian sedang kecewa, berusaha masa bodoh dengan tembok penghalang cita-citamu hari ini. Bergerak... belajar untuk menghadapi. Percayalah, rasa takutmu reda perlahan.

Paksa penatmu muncul. Paksa tubuhmu meneguk risiko dari rasa kecewa. Come on, kalian kuat karena pernah tercelus ke dalam lumpur. Kalian tangguh karena kalian terus bangkit. Kalian berhak meraih impian, semua makhluk berhak meraih sukses meski pun saat ini kalian belum berhasil.

Tidak perlu terlalu lama patah arang, berbahagialah. Optimis dalam menghadapi masalah. Jangan terlalu lama bersedih. Andai saja semua harapan berjalan perfek dan sesuai program, maka aku dan kalian semua tak akan pernah belajar bahwa kecewa itu bisa memberi pelajaran. 

Memang menyakitkan, tapi kecewa memberi satu pelajaran penting yaitu menguatkan. Kecewa juga dapat melatih hati menjadi teguh. Berjalan dan jangan lama-lama menoleh ke belakang. Jangan lagi merasa sakit. Rasa sakit... rasa kecewa membuatmu berkembang menjadi sosok baru. Jangan terlalu lama mengumpat masa lalu, itu hanya akan membuat semangatmu terbunuh.

Pernahkah kau merasa matamu terbuka di pagi hari namun di sekitarmu terlihat kosong? Pernahkah mendengar benda-benda di sekitar berbicara, tapi tak kau dengar? Kau hidup, seakan tak hidup. Ketika kau terus menerus gagal, di titik inilah kau belajar. Mengontrol emosi diri sendiri itu berat. Yang bilang mudah bisa aku pastikan BOHONG!

Bersyukurlah atas segala nikmat Tuhan beri. Bersyukurlah dengan segala cobaan. Kelihatannya hanya sebatas kata-kata. Mungkin Tuhan sedang ingin dekat denganmu. Dengan begitu, jiwa akan lebih bernalar, emosi lebih mudah dijinakkan. Sayangi dirimu; kau cuma sedang tumbuh. Dalam beberapa kasus, tumbuh itu sangat menyakitkan. 

Kalian berpikir tidak kuat. Sama. Aku juga. Tapi sebenarnya kita kuat dan siap.

Ibarat pepatah, mutiara tidak akan ada tanpa ada rasa sakit kerang saat pasir masuk ke dalam cangkangnya. Bertahanlah!

Kau, kalian, aku, dan sebagian dari mereka di luar sana mungkin masih merasa tidak berharga hingga saat ini. Kita merasa tidak layak di mana pun. Orang lain selalu berbahagia dengan hidupnya, tetapi kau tidak. Gagal memang melahirkan emosi, bingung, dan malu. Sedangkan duka melahirkan ragu dan rasa ingin berhenti.

Setop! Istirahatlah sebentar!

***

Pikiran negatif tidak akan menyembuhkan luka. Pikiran negatif juga tak membantumu. Jangan! Jangan biarkan itu semua membuatmu hancur. Di mana pun itu, gagal dan sukses datangnya selalu bersama. Kau gagal hari ini bukan berarti selanjutnya kau gagal. 

Semua sakit yang kau alami akan membuatmu tumbuh menjadi sosok lebih bertanggung jawab, penuh semangat, dan arif. Jangan bersedih. Kau berharga. Jangan hanya karena gagal di awal, kau merasa menjadi tidak berharga.

Aku harus bagaimana? Aku tidak dapat berpikir jernih untuk saat ini. Lalu di mana Akshita sekarang? 

Samar-samar terdengar suara perempuan dari luar istana. Suaranya seakan memanggil untuk aku ikuti. Frekuensi suaranya cukup jauh, rasanya aku tahu siapa yang memakai mantra pemanggil sekali lagi. Benarkah dia? 

Aku segera membuat portal, tidak akan cukup waktu jika harus ke Hutan Delta Experimental saat ini. Hari sudah mulai malam, sebaiknya aku berangkat sekarang. Portal terbuka meminta masuk dengan cepat. Kumelompat dan....

Bagaimana perasaanmu kalau sudah di tempat tujuan tapi menabrak pohon pisang?  Jelas aku malu sekali jika ada manusia yang dapat melihatku. Ada seekor kucing yang kelihatannya menertawakanku. Terlihat dari sorot mata yang bingung namun jenaka. Ya sudahlah, setidaknya hanya kucing bercorak abu-abu mendekati aku.

“Meow....”

“Kucing manis, kau bisa melihatku ya?” 

Dia menggesekkan kepalanya ke kaki seakan tahu aku akan menemui manusia yang mungkin dia kenal. Si kucing mengibaskan ekor seolah memberi pertanda aku harus mengikutinya. Dia berjalan di depan, memimpin sosok makhluk asing sedang mencari seorang manusia.

Tak lama kami berjalan, kucing itu berhenti di rumah yang kudatangi tadi kemudian masuk. Haruskah aku memasuki rumah ini lagi? Kucing itu mengeong, menengok ke arahku sementara dia duduk di sofa ruang makan.

Kuintip ruang tamu dari jauh. Ternyata sang pemanggil sudah bangun tidur walau rambutnya sedikit berantakan. Aku tersenyum. Aku mengakui dia lebih manis dari Akshita. Tatapan dingin dia beberapa jam sebelumnya kian membuat ingin tahu.

“Hai,” Dia tersungging.

“Halo juga, Nona. Aku mendengar panggilanmu. Ada perlu denganku?” Aku melangkah menghampiri meja ruang tamu. Wajah dia memerah sepersekian detik, dia mempersilahkanku duduk di sebelahnya.

“Santai saja, Tuan berambut perak dan bertelinga runcing.” Dia mengibaskan tangan.

“Baiklah.” Aku mengangguk.

Dia menyengir, “Nah, begitu dong.”

“Nona tidak takut melihatku?”

  Dia tertawa kecil, membuat wajahku sedikit kesipuan. Kemudian dia menjawab, “Siapa yang takut kalau yang datang sekeren kamu?”

“Apa maksud Nona?!”

“Tenang dulu Tuan antah berantah, aku cuma mau kenal kamu lebih dekat. Paham?”

“Oh kukira....” Aku menundukkan kepala.

“Nggak apa-apa. Wajar kalau kamu begitu.”

“Maaf atas prasangka diriku, Nona.”

“Aku tidak keberatan. Bisa mulai sekarang perkenalannya?” tanya dia.

“Sungguh merasa terhormat saya dapat berkenalan dengan wanita juwita seperti Anda.” jawabku tersenyum tipis.

“Nggak perlu kaku. Bilang saja nama kamu!” Dia menepuk bahuku.

“Maaf seribu maaf atas sikap saya. Nama saya Norlorn,”

“Namamu bagus sekaligus sulit diucapkan untuk lidahku. Hehe....”

“Siapa nama Nona?”

“Kamu bisa panggil aku Giovani.”

Lihat selengkapnya