“Yang abon dan keju tunanya masing-masing dua, Lis. Take away.” Mikel memperhatikan Calista, si kasir kafe di balik counter membungkus pesanannya. Aroma roti panggang membuatnya semakin lapar.
“Semuanya empat puluh tiga ribu lima ratus. Lanjut siaran?” tanya Calista.
“Iya, jangan lupa 99,8 FM diputer!” jawab Mikel seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.
“Pasti dong.”
“Hem, gimana kabar lo? Udah putus sama Grego?”
“Frontal banget nanyanya. Nih.”
Mikel meraih bungkusan berwarna coklat bertuliskan Theobroma yang disodorkan Calista.
“Sudah, Mikel. Kayak yang lo bilang, putus sama dia memang berat, tapi jalan dengannya lebih berat lagi. Semoga ini pilihan yang tepat. Gue udah kasih dia kesempatan berkali- kali dan dia sia-siain itu. Jadi gue ngerasa ini terlalu nyakitin buat lanjut.”
“Lo yang paling tahu kapan harus selesai dan berakhir. Selama itu baik buat lo, gue dukung.”
“Makasih loh, Mikel. Lo udah mau dengerin cerita-cerita menye gue. Enggak nyangka gue dapet temen curhat dari pelanggan setia Theobroma dan cerita sampai sejauh ini.”
“Huahahaha, iya. Siapa dulu dong. Lo lupa gue ini bawain program apa? Gue ini spesialis dengerin curhatan-curhatan.”
“Wooo! Baru dipuji dikit langsung narsis. Hush, sana, udah mau jam siaran, bukan?” “Enggak boleh usir pelanggan tahu!”
“Biarin.”
“Hahaha, oke. Gue cabut!” Mikel tersenyum. Ia melenggang ke luar kafe. Kakinya mantap menapaki trotoar menuju gedung tingkat lima kantor Radio Sky.
***
“Hei, Bro! Beli apa lo?” tanya Rand.