“... dalam psikoanalisis Freud, kondisi mental manusia diibaratkan gunung es di tengah samudra. Tampak hanya sebagian kecil, sedangkan bagian terbesar terbenam di bawah air. Apa artinya? Bagian atas yang terlihat berarti pikiran-pikiran yang disadari dan diketahui orang-orang. Sedangkan yang terbenam, sebaliknya. Itu bagian keinginan alam bawah sadar serta pikiran-pikiran kompleks yang tidak disadari manusia itu sendiri, bahkan lingkungan sekitar tidak benar-benar mengetahuinya. Keduanya memengaruhi perilaku manusia.”
Khanza bisa melihat semangat sang dosen memberikan kuliah Psikologi Kepribadian masih menyala. Sementara jam perkuliahan sudah di penghujung waktu. Seseorang di samping Khanza sudah mulai membereskan buku catatannya.
“Baiklah, ada yang bisa kasih contohnya mengenai konsep iceberg Freud ini?” tanya dosennya. Seseorang mengacungkan jari. “Yup, yang duduk di belakang. Silakan.”
Khanza bisa mendengar helaan napas seseorang di belakangnya. Seperti biasa kalau ada mahasiswa yang mulai bertanya.
“Kalau depresi termasuk enggak, Pak? Contohnya orang depresi berat dan diam-diam menyimpan masalahnya. Dia memilih enggak cerita dan tetap tampil ceria di depan banyak orang. Keceriaannya nampak bagai gunung es atas, sedangkan depresi berat jadi sisi hitamnya gunung es bawah.”
Dosen itu berjalan ke sisi tengah kelas seraya manggut- manggut, tampak menimbang jawaban yang dilontarkan. “Bisa juga. Yang kamu jelaskan bisa dikategorikan sebagai dinamika kepribadian. Salah satunya kecemasan berlebihan akibat hal- hal bertentangan yang kemudian berujung depresi karena dirasa kunjung tidak menemukan solusi.”
Belum selesai penyampaian dosen, mahasiswa yang tadi bertanya sudah menyela terlebih dulu. “Pak, kalau begitu bisa berujung ke kondisi psikis abnormal tidak? Seperti self injury, melukai diri sendiri, misalnya?”
“Kalau itu bahasannya berbeda lingkup, seperti ini—”
Mahasiswa-mahasiswa pun mulai mendecak. Semakin ditanggapi, dosen berkacamata itu semakin bersemangat. Jam bubar kelas pun akan semakin lama. Padahal waktu sudah menyentuh pukul lima sore lewat. Langit petang yang terbingkai di jendela kelas pun sudah mulai menggelap. Gradasi emas dan jingga perlahan mengabur.
Khanza kehilangan fokusnya dan tidak lagi mendengar paparan dosen. Ia memutar pandangannya menembus jendela. Kelasnya berada di lantai tiga. Jadi, ia bisa menyaksikan lalu lalang kendaraan yang melaju dengan tidak sabar. Meskipun jauh, ia seolah bisa mendengar bisingnya jalan raya: suara klakson saling menyahut, tarikan gas motor bergegas, hingga para pejalan kaki mengular di bahu jalan karena tiadanya trotoar yang layak. Membayangkannya saja bisa membuat lelah.
“Mereka yang melakukan self injury tidak selalu berarti berniat bunuh diri. Itu bentuk pelampiasan emosi.” Penjelasan sang dosen masih berlanjut.
Namun, suara itu hanya timbul tenggelam di telinga Khanza. Tanpa sadar ia menarik ujung kaus yang membungkus lengannya. Luka-luka kemarin masih belum kering. Ada ruam merah dan jejak hitam terlihat jelas. Buru-buru Khanza menutupnya lagi, lalu kembali mengamati lalu lintas jalan raya. Ia menaruh pikiran-pikirannya di antara mobil dan motor yang melaju tersendat-sendat.
Turut berduka, Za. Deep condolences.
Kamu kuat ya, Za. Beliau sudah bahagia di surga sana.
Kamu enggak ikut studi tur, Za?
Kamu udah enggak pernah ngumpul sama kita-kita? Sejak kapan kamu suka pakai lengan panjang?
Za, kamu kok menghindar sih?
Kemarin kita denger kamu pergi sendiri ke kafe itu? Kok enggak ngajak?
Bener, dia yang namanya Khanza. Ibunya meninggal setahun setelah bapaknya enggak ada. Curiga enggak sih? Tahu-tahunya anak bawa sial. Iya, terus suka sendirian. Aneh begitu anaknya.