Lesap

Falcon Publishing
Chapter #1

MIMPI BURUK

“Ma, bulan depan sekolah Khanza bakal studi tur!”

Khanza melempar tas punggungnya seraya menghempaskan diri ke atas sofa. Dengan cepat, ia melepas sepatu sekolah. Rencananya adalah pergi ke festival jajanan kuliner nusantara di seberang mal yang baru buka. Mungkin sampai sore, kalau bisa sampai malam. Ia tidak pernah betah berada di rumah sejak.... 

Mata Khanza terarah ke bingkai foto keluarga yang menampakkan potret dirinya sewaktu kecil digendong Mama, dengan Papa tersenyum lebar di sebelahnya. Ia pun menggeleng, menepis pikirannya sendiri. 

“Mama!” 

Lengking suara Khanza masih tak mendapat jawaban. Aneh, biasanya Mama akan berteriak balik meminta Khanza diam dan jangan berisik. Ia pun mengecek ke dapur, tapi Mama tidak ada di sana. Dapurnya pun bersih, tidak tampak habis dipakai untuk memasak makan siang seperti biasa. 

Apa mungkin Mama sedang pergi? Pergi arisan? pikir Khanza. 

 Sepengetahuan Khanza, sudah sebulan belakangan Mama tidak terdengar lagi ikut kumpul arisan. Khanza mengerutkan dahi. Apa mungkin Mama masih menangis sambil memeluk foto Papa? Khanza pernah diam-diam mengintip kamar Mama dan menemukan Mama tertidur dengan mata sembab. Satu lagi alasan Khanza tidak kerasan di rumah: kesedihan karena kehilangan Papa masih menempel di mana-mana. Jika pun benar, tidak biasanya Mama mengurung diri hampir setengah hari. 

Khanza melangkah menuju kamar Mama. Ia mengetuk pintu kamar. Dua kali. Tak ada sahutan. Kali ketiga disertai panggilan. Masih tidak ada suara dari dalam. Khanza memutuskan memutar daun pintu. Terkunci. Khanza mengetuk lagi. Pintu kamar Mama tak pernah terkunci selama ini. Beragam bayangan buruk mulai memenuhi benaknya.

Karena masih hening dari dalam, Khanza menggedor-gedor pintu. Tahu usahanya sia-sia, ia pun pergi ke belakang rumah, mengintip lewat jendela kamar Mama.

Di balik kaca jendela, samar Khanza mendapati Mama sedang di atas kasur. Posisi Mama terbaring memunggunginya.

Mama ada di sana. Tertidur di atas kasur, bergelung seraya mendekap album foto keluarga yang tak pernah Khanza sentuh lagi setahun belakangan. Namun, mulut Mama berbusa. Khanza melihat butiran obat berserakan di atas leher dan kasur. Kepala Khanza mendadak pening. Kunang-kunang beterbangan merasuki kedua matanya. Ia menekan dadanya, tempat rasa nyeri timbul begitu saja dan menjalari sekujur tubuhnya. Kapan kali terakhir ia seperti ini? Oh iya, saat suara berat di telepon mengabarkan Papa tidak akan pulang malam itu. Juga besok. Lusa. Minggu depan. Bulan depan. Satu tahun depan. Lalu kali ini Mama juga demikian?

Kenapa tiba-tiba semuanya pergi dan tidak pulang lagi?

Khanza tahu dirinya tak pernah punya cukup pemahaman untuk mencernanya. 

Ia menyambar bilah kayu terdekat darinya dan memecahkan kaca jendela. Suara kaca hancur berkeping-keping menyentuh lantai, terdengar seperti pertanda akhir dari harinya. Ketika jendela itu sudah punya cukup celah besar, Khanza pun melompat masuk. Langkahnya bergetar menuju tempat Mama biasa terlelap. Kasur yang mungkin mulai hari ini jadi tempat Mama tidur untuk selamanya. 

“Ma? Mama! Mama!”

Lihat selengkapnya