“Permisi! Permisi!” Mentari menelisik di antara beberapa orang yang berjalan ke arah yang sama dengan tujuannya, lift gedung utama fakultas teknik. Tepat pukul sepuluh memang biasanya jam kelas akan dimulai, maka tidak heran sebagian besar mahasiswa yang hobinya berangkat mepet jam masuk masih memadati lift dan menunggu antean.
Gadis itu melirik arloji yang terpasang pada tangan kirinya. Katanya, manusia yang mengenakan jam tangan di sebelah kiri akan selalu datang tepat waktu. Tetapi sayangnya mungkin perumpamaan ini tidak berlaku untuknya. Mentari berdecak saat arlojinya menunjukkan pukul sepuluh lebih lima, dan dia masih berbaris menunggu antrean lift yang entah dia akan masuk di kloter keberapa. Raut matanya menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa, sejenak terbesit mungkinkah jika dia naik tangga saja? Tapi kegiatan yang akan dia kunjungi itu lantai enam! Dosen perencanaan tapaknya saja bilang jika rata-rata manusia hanya mampu menaiki lima lantai saja.
Mengabaikan teori-teori yang menyesaki pikirnya, Mentari berlari menuju anak tangga terdekat, langkahnya melompati dua hingga tiga anak tangga sekaligus. Napasnya nyaris habis ketika dia berhasil sampai di lantai yang dituju.
Ruangan yang dia tuju ada di ujung lorong. Ada sekitar 10 menit dia membuang waktu berlari-lari di tangga. Artinya, dia sudah terlambat 15 menit untuk mengikuti Hearing Dekanat yang akan dilaksanakan siang ini.
Dari lubang pintu, dapat terlihat bahwa hearing telah dimulai dan bahkan pemaparan isu telah dilakukan. Semua orang terfokus pada paparan demi paparan yang menyebabkan dia yakin tidak bisa masuk ruangan karena bisa menyita perhatian. Akhirnya, gadis itu duduk di salah satu kursi terdekat dan membuka link zoom yang ada tersebar di grup advokasi fakultas. Mentari memutuskan menonton hearing itu dari ponselnya yang baterainya kini tersisa beberapa persen. Untuk sejenak, dia ingin mengumpat mata kuliah hari ini yang overtime dan membuatnya harus menghadiri hearing terlambat.
>>>
“Maka dari itu kami menuntut 4 hak mahasiswa, yakni: Satu, sediakan pelayanan kesehatan mental yang lebih dapat memfasilitasi mahasiswa sehingga fasilitas tersebut tidak hanya didapatkan dari fasilitas universitas saja. Dua, tingkatkan kuantitas dan persentase keringanan UKT mengingat pasca pandemi pelayanan fakultas tidak terbuka 100%. Ketiga, terbitkan surat perintah kepada departemen terkait pelibatan mahasiswa dalam pemberian keringanan dan banding UKT mahasiswa. Serta yang terakhir, tingkatkan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau kampus serta co working space sehingga mahasiswa dapat memanfaatkannya untuk mengerjakan tugas dibandingkan membangunnya untuk ruang parkir kendaraan pribadi. Kami harap Fakultas dapat menandatangani kesediaan untuk menindaklanjuti hal tersebut di atas.” Raka menutup pengajuan isu dengan sempurna. Berikutnya, moderator mengalihkan pembahasan pada tanggapan. Pada tahap ini, Dekan dan jajaran kampus mulai memanas menolak tuntutan mahasiswa poin kedua dan ketiga. Saat itu, ketegangan mulai memenuhi ruangan berukuran lima belas kali sepuluh meter itu.
“Tunggu loh, Mas. Begini, UKT itu pengelolaan uangnya tidak hanya oleh fakultas. Universitas juga bertanggung jawab atas uang tersebut. Disini, fakultas hanya menyerap sebesar dua puluh persen dari UKT tersebut yang mana empat puluh persen dana tersebut masuk ke dalam dana universitas dan empat puluhnya masuk dana departemen. Jika kami dari Fakultas meningkatkan keringanan padahal pada semester lalu kami telah melakukannya. Bahkan, tahun lalu dana yang masuk ke kas Fakultas berkurang nyaris tiga puluh persen, kami tidak dapat menjamin bahwa fakultas teknik kita dapat mengalami kemajuan.”
“Maaf Pak, tapi bukankah perpustakaan hanya terbuka hingga pukul 5 dengan alasan demi protokol kesehatan bahkan libur di weekend dengan alasan yang sama? Belum lagi lapangan olahraga yang sudah mulai dibangun sebagai lahan parkir yang mana fasilitas olahraga kami mahasiswa semakin berkurang. Belum lagi sebagian dosen masih meminta pembelajaran daring, artinya, wifi kampus, ruangan kelas, dan berbagai fasilitas lain yang digunakan secara luring tidak dimanfaatkan.”
“Itu tidak dalam wewenang kami Mas, silahkan ajukan kepada departemen masing-masing terkait hal tersebut. Yang pasti, kami sudah menyediakan pilihan permohonan keringanan UKT pada saat heregistrasi.” Dengan kukuh, Pak Josef, yang kalau Mentari tidak salah ingat seorang bendahara fakultas menanggapi pengajuan isu.
“Mohon izin Pak, tapi dalam hal ini, 75% mahasiswa teknik yang mengajukan keringangan ditolak departemen, Pak. Dan 80% depertemen juga mengatakan bahwa Fakultas tidak memberikan intruksi khusus atas hal tersebut. Maka dari itu kami mengajukan agar mahasiswa dilibatkan terkait pengajuan keringanan UKT.”
“Ya sudah, begini saja to Mas, kami akan menerbitkan surat perintah pelibatan mahasiswa terkait penurunan UKT. Tapi sekali lagi, keringanan UKT sepenuhnya dilepaskan pada departemen masing-masing.”