Tiba-tiba saja mata Lovina tertuju pada sebuah angka yang ada di pojok bawah layar laptopnya, setelah wallpaper Lee Seung Gi muncul. Sesaat Lovina terdiam. Entah kenapa, tidak seperti biasanya. Batinnya.
Kali ini matanya langsung tertuju pada angka itu, seperti ada sinyal tertentu atau magnet yang menarik matanya untuk menatap dalam-dalam dan berusaha masuk untuk mengingat sesuatu yang indah yang pernah terjadi di dalam dirinya.
Kejadian yang membuatnya tidak akan pernah lupa. Kali pertama dalam hidupnya ada orang yang sudah meruntuhkan pertahananya, bahwa dia akan punya pacar jika sudah siap untuk menikah – pacaran untuk menikah. Tanggal 27 September, tepatnya seminggu setelah hari ulang tahunnya seorang cowok yang telah berhasil menembus pertahanan dirinya menyatakan perasaan kepada Lovina.
Di bulan kelahirannya, gadis itu merasakan dua kebahagian sekaligus di mana tanggal 20 September adalah ulang tahunnya, dan 27 September adalah hari jadiaanya dengan seorang cowok yang sebelumnya sempat ia kagumi dan akhirnya menjadi pacarnya. Bagi Lovina itu adalah sesuatu yang beda, karena ini untuk pertama kalinya. Seseorang yang special itu hadir dan menjadi bagian dalam hidupnya.
Itulah yang dialami Lovina, bukan karena ia enggak cantik seperti teman-temannya yang semasa SMA sudah punya banyak mantan. Bukan pula karena ia orang yang jelek jadi enggak ada yang mau pacaran dengannya. Tapi, lebih karena ia tidak mau terlalu buang-buang waktu cuma untuk pacaran. Lovina ingin menggapai dan mewujudkan mimpi-mimpimya terlebih dulu. Fokus pada pendidikannya terutama. Di sisi lain, karena ia memang belum menemukan seseorang yang ia yakin, seseorang yang bisa membuatnya nyaman berada di dekatnya.
Kenangan yang indah saat masa- masa SMA itu kembali muncul. Semuanya mulai teringat dengan jelas. Wajahnya, senyumnya, dan tatapan matanya. Hari–hari saat bersamanya, suka duka yang pernah ada. Tapi, itu semuanya hanya tinggal kenangan. Kenangan akan cinta pertamanya. Hubungan yang hanya berjalan selama 1 tahun 8 bulan, berakhir karena Lovina yang memutuskannya, demi kebaikan mereka berdua.
Memang sulit buat Lovina untuk memutuskan hubungan itu begitupun, Fandika, yang juga sulit menerima keputusan itu. Tapi Lovina sudah bulat dengan keputusan yang diambilnya. Itu karena satu hal yang membuatnya harus mengambil keputusan itu. Keputusan yang bertentangan dengan hatinya, walau ia masih menyayangi Fandika tapi bagaimanapun juga harus ia lakukan karena itu bertentangan dengan prinsipnya. Prinsip adalah prinsip, sesuatu yang harus ia pegang teguh sebisa mungkin.
Kalau kita enggak bisa memegang prinsip kita sendiri bagaimana semuanya bisa berjalan dengan baik. Itulah yang selalu diyakininya.
Semuanya mulai kabur saat tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya, menarik Lovina menjauh dari dunia lamunannya. Lamunan tentang masa lalu.
“Hei! Vin, Vin . Halloooo!!”
Begitu Lovina membuka mata sosok Kira sudah ada di depannya, menggoyangkan tangannya di depan muka Lovina. Hal itu membuat Lovina tak sempat melakukan apa-apa untuk menghindari apa yang telah terjadi padanya.
“Ya! Kenapa? Kok kamu bisa ada di kamarku?” tanya Lovina heran melihat Kira tiba-tiba berada di dalam kamarnya dengan ekspresi yang sama penasarannya dengannya.
“Kenapa?! Kamu tuh yang kenapa? Dari tadi aku ketuk-ketuk pintu tapi nggak ada suara. Karena terlihat sedikit terbuka, ya sudah aku masuk saja. Eh, pas dibuka pintunya, ternyata orangnya lagi duduk depan laptop sambil merem. Ada apa sih?! Kamu tidur ya tadi, sampai aku panggil-panggil nggak sadar-sadar. Apa jangan-jangan kamu kerasukan setan Annabelle, ya? Gara-gara kemarin nonton Annabelle,” ujar Kira dengan kalimat panjangnya membuat Lovina sampai berpikir tentang apa yang barusan menimpa dirinya.
Aku yakin Kira pasti melihatnya. “Ah, ada-ada saja, ya nggak mungkinlah. Masa kerasukan Annabelle,” ucapnya membela diri.
“Ya, kali aja, habis berkali-kali aku panggil nggak ada jawaban, atau kalau nggak, jangan-jangan kamu ngelakuin kaya yang di film Insidious tuh, Astra...”
“Astral Project ….”
“Nah itu, Astral Project….. bener kan?”
“Husshh!! Makin ngawur saja. Aku hanya berpikir dan berkonsentrasi, makanya aku tutup mata biar lebih fokus. Tiba- tiba kamu datang mengacaukan semuanya.”
“Oh, gitu ya. Tapi kok kamu….”
“Kamu apaan?! Sudah deh nggak usah ngaco lagi. Ngomong-ngomong ada apaain sih kok tiba-tiba ke kamarku, ada perlu apa?“ tanya Lovina berusaha mengalihkan topik pembicraan. Lovina merasa khawatir, kalau enggak dialihkan pasti urusannya bakal panjang. Kira pasti bakal terus bertanya, setelah tadi sempat memergoki dirinya mengusap air mata. Lovina sendiri pun enggak sadar ternyata kenangan masa lalunya kembali membuatnya menitihkan air mata. Kenangan 27 September 2005. Kenangan delapan tahun yang lalu.
“Cuma mau bilang, kalau nanti sore aku sama Vita mau ke toko Maya. Ya, sekalian nyari makan di luar gitu,” ucapnya menyampaikan perihal kedatangnya ke kamar Lovina.
Terlihat dari mukanya, sepertinya Kira masih penasaran.
Toko Maya adalah salah satu toko langganan mereka untuk mencari souvenir atau barang-barang kebutuhan rumah dengan harga terjangkau. Toko yang letaknya tidak jauh dari tempat Lovina bekerja, berada di jalan Cipto.
“Oh, ya sudah. Ok! Nanti ketemu di tempat makannya saja. Emang nanti pada mau makan di mana?”
“Di D’Cost yang dekat sama tempat kos dan tempat kamu kerja aja.”