Seperti biasa, waktu kerja Lovina mulai dari jam13.00- 21.00 WIB. Selesai kerja Lovina langsung meluncur ke tempat makan yang ada di jalan Cipto, tidak jauh dari tempat kerjanya. Hanya memakan waktu limabelas menit dengan berjalan kaki. Terlalu lama tinggal di kota tersebut membuatnya tak begitu takut kalau harus berjalan sendirian.
From: Kira
“Vin, kita berdua sudah sampe di resto. Nanti langsung naik aja ke atas, meja no 27”
Sebuah pesan singkat masuk. Dan untuk yang ke sekian kalinya Lovina melihat angka 27 kembali. Hari ini angka 27 membuatnya sensitive. Sesuatu dibalik angka 27, hari jadinya dan Fandika.
Angin malam menusuk sampai ke tubuhnya yang mau enggak mau membuatnya teringat saat kebersamaan itu, ketika Fandika memberikan jaketnya kepada Lovina saat mengantarkannya pulang. Lagi dan lagi, teringat lagi. Sampai di tempat tujuan, Lovina begegas cepat naik ke lantai tiga, di mana foodcourt berada.
“Mana oleh-olehnya, coba lihat, katanya beli sesuatu?” tanya Lovina membuka pembicaraan, setelah meletakan tas.
“Cuma beli frame dan jam model kesukaanya aja kok, Vin,” jawab Kira yang paling rajin ngasih sesuatu buat teman baiknya kalau lagi ada hari yang bersejarah. Seperti hari ulang tahunnya waktu itu. Kira memberi Lovina sebuah novel penulis favoritnya dan jam model badminton.
“Ih, lucu banget motifnya.”
“Iya donk, kaya yang belinya. Hehe.”
“Huuuh! Dasar ya, biasa aja kali, Non!”
“Sudah, sudah! Makanannya sudah datang. Lebih baik kita makan saja,” tegas Vita mencoba menghentikan pembicaraan Lovina dengan Kira. Seperti biasanya kalau urusan makanan Vita lah yang paling antusias.
“Ya, elahhh. Sudah laper, Bu!” sindir Kira.
“Bangetttzzz, pake z,” ucap Vita dengan gayanya, diakhiri dengan cengengesan.
“Lebih baik kita cepetan makan, sebelum semuanya dihabiskan sama Vita.”
“Ya, Ampun! Nggak gitu juga kali. Perutku juga nggak bakal bisa nampung semua makanan ini kok,” ucap Vita menunjuk semua makanan yang terhidang, membela dirinya. “Yaaaa, kalau gratis bisa aja sih aku habisin.” Disusul tawanya yang khas.
“Huuh! Dasar ya nih anak satu ini,” ucap mereka bebarengan, lalu tertawa.
***
“Hai! Kamu kan yang waktu itu di jalan hampir ketabrak motor?” suara salah seorang laki-laki kini tiba-tiba membuat Lovina kaget, saat ia tengah membereskan buku sementara pikirannya sedang memikirkan bahan untuk mengajar besok. Mempersiapkan untuk penilaian.
Memang tak bisa dipungkiri, yang berhubungan dengan kuliah dan seperangktnya terkadang terbawa saat Lovina kerja. Walaupun ia tahu kalau itu pasti akan membuat kerjanya jadi tidak terlalu fokus. Begitupun saat ia kuliah, terutama di saat-saat mendekati jam terakhir mata kuliah, fikirannya sudah mulai beralih ke tempat kerja. Harus bisa tiba di tempat kerja tepat waktu. Itu lah yang selalu ada dipikirannya menjelang menit-menit terakhir perkulihan itu berakhir.
Terkadang ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan baru yang bisa lebih baik untuk mengatur waktu antara kerja dan kuliah, juga istirahat. Mengingat sebentar lagi sudah mulai sibuk mempersiapkan tugas akhir. Ia hanya tak ingin terlalu capek. Bisa mendapatkan waktu libur di setiap minggunya. Karena di tempat kerjanya ini waktu liburnya hanya sebulan dua kali.
“Oh, iya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Lovina kepada laki-laki itu, karena ia pikir laki-laki itu memerlukan sesuatu makanya ia menyapanya. Tanpa ia ingat dengan baik apa yang barusan laki-laki itu katakan, yang ia tahu sekarang laki-laki itu ada di depannya.
“Oh, tidak terima kasih, aku cuma memastikan kalau ingatanku tidak salah. Benarkan kamu yang waktu itu?” tanyanya meyakinkan bahwa Lovina lah orang yang ia maksud.
“Hehh!” sejenak Lovina mencoba mengingat maksud dari pembicaraan laki-laki itu.
Akhirnya Lovina tahu maksudnya. “Ah, ya, itu aku,” jawabnya setelah ia ingat semuanya, walaupun butuh waktu untuk Lovina mengingat semuanya, karena Lovina bukan tipe orang yang gampang mengingat wajah orang yang enggak sengaja ia temui.
“Syukurlah, berarti benar dugaanku. Kalau salahkan pasti dikira kalau aku ini orang yang SKSD. Ngomong-ngomong kamu kerja di sini ya?” tanyanya kemudian.
“Iya, aku kerja di sini,” jawab Lovina singkat. Sedikit merasa risih juga. Pasti ini orang banyak nanya lagi. Haduuuh mana aku kan lagi kerja.
“Oh.... sorry deh, jadi ganggu. Aku cuma pastiin kalau ingatanku tentang kamu itu benar. Soalnya tadi pas aku ngelihat kamu dari jauh, aku merasa kalau pernah liat dan ngomong sama kamu. Makanya untuk mengusir rasa penasaranku, aku tanyain. Sorry ya aku jadi ganggu kerjaan kamu,” ucap lelaki itu panjang lebar perihal pembicaraanya dengan Lovina.
“Ya, nggak apa-apa kok, barang kali ada yang bisa aku bantu,” ucap Lovina menawarkan sekaligus membuang jauh-jauh pikiran buruknya yang salah.
“Oh, nggak, senang bertemu denganmu lagi...” belum sempat melanjukan kata-katanya tiba telefonnya berbunyi. “Maaf”
“Ya.”
“Di mana?” suara seseorang di seberang sana, terdengar samar-samar di telinga Lovina.
“Di tempat buku tentang musik.”
“Oh. Oke.”
Tidak beberapa lama kemudian setelah laki-laki itu mengakhiri telefonnya, datanglah seorang wanita. Wanita yang juga seumuran dengannya.
“Sudah dapat bukunya? Kalau sudah pulang yuuuk,” ajaknya pada laki-laki itu.
“Sudah kok. Nih,” jawab lelaki itu. Menunjukan buku yang ada di tangannya.
“Maaf, saya permisi dulu,” ucap Lovina pada mereka sebaik mungkin sesaat setelah ia selesai merapikan bukunya, karena bagaimanapun posisinya di situ sedang jadi staff dan laki-laki itu sudah pernah menolongnya juga bela-belain menyapanya cuma untuk memastikan ingatannya. Padahal itu enggak terlalu penting menurut Lovina, kalau ia di posisinya.
“Iya..”
“Tadi nyokap telefon suruh cepat pulang katanya, makanya tadi aku telefon.”
“Ya sudah yuk pulang, lagian juga sudah dapat bukunya.”
Dengan jarak yang enggak terlalu jauh dari tempatnya merapikan buku, Lovina bisa mendengar ucapan mereka. Terlihat sangat akrab. Dari caranya berbicara walau sebentar dengannya, Lovina seperti bisa mengira kalau laki-laki itu sepertinya orang yang baik.
Dari caranya laki-laki itu bersikap, Lovina seperti merasa tak begitu asing. Ia seperti pernah melihatnya sebelum ini. Tapi, Lovina tak ingat dengan jelas.
Mungkin hanya sekilas mirip dengan orang- orang yang memang sering datang ke sini. Batinnya.
***
Rutinitas yang terkadang membosankan. Setiap hari gitu-gitu saja. Hari berganti hari bulan berganti bulan. Tapi, mau enggak mau harus tetep dijalani oleh Lovina demi menyambung hidup dan untuk masa depanya. Punya masa depan yang cerah dan bisa membahagiakan kedua orang tua.
Orang tua adalah segalanya. Di saat Lovina mulai letih, bosan dengan semua rutinitasnya, wajah kedua orangtuanya yang selalu ia ingat. Ingat bagaimana perjuangan mereka membesarkannya. Lovina bertekad bahwa ia harus bisa membuat mereka bangga dengannya.
“Yaa, aku harus bisa!” Dengan tekad kuat mengucapkannya. Siap untuk kembali memulai aktivitasnya sebagai mahasiswa, setelah tiga bulan menjadi guru PKL. Awal baru, babak baru akan dimulai lagi. Awal semester 7, minggu pertama bulan November.
Lovina harus bisa bertahan sampai lulus nanti, sampai gelar sarjana itu berhasil ada di belakang namanya. Walaupun ia menyadari kuliah atau mendapatkan gelar sarjana itu enggak menjamin akan suskses di dunia kerja tapi senggaknya itu semua sebagai jembatan untuk melangkah memasuki dunia kerja yang tentunya dibarengi dengan kemampuan yang dimililiki.
Tak bisa dipungkiri terkadang rasa bosan itu muncul. Saat titik jenuh itu muncul, hanya dengan membayangkan wajah kedua orangtuanya, semuanya mulai berubah menjadi titik temu. Titik di mana ia seharusnya bisa menemukan apa yang menjadi harapan, impian dan cita-citanya.
“Semangat, semangat Lovina!” ucapnya menyemangati diri sendiri, dan tanpa sadar ada yang dari jauh memperhatikannya.
Ia melangkahkan kaki menuju gerbang kampus. Meninggalkan aktivitas di kampusnya dan beralih ke aktivitas di tempat kerja.
Seperti biasanya Lovina selalu menunggu mobil jemputan untuk sampai ke tempat kerja, tapi mobil jemputan yang ia tumpangi ini bukan bersifat pribadi, melainkan bersifat umum. Apalagi kalau bukan Angkutan Umum, yang kadang lama kadang cepat ketika menunggunya. Bukan karena jarang tapi lebih tepatnya selalu penuh dengan penumpangnya yang mayoritas anak-anak sekolah menengah. Seperti hari ini sampai 15 menit sudah ia menunggu tapi belum dapat juga.
Kata-kata yang tidak asing dari jaman dulu kalau menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, apalagi kalau sendirian. Walaupun pada kenyataannya di Halte depan kampus lumayan ada beberapa orang. Tapi bukan teman yang dikenalnya, karena di kampusnya tentu banyak mahasiswa dengan berbagai jurusan, yang enggak mungkin Lovina kenal semuanya.
“Semoga bentar lagi datang biar jangan sampai telat masuk kerjanya,” harapnya. Mata Lovina terus terfokus pada benda berjalan berwarna biru dengan roda empat yang selalu ditunggu kedatangannya. Karena terlalu fokus gadis itu sampai enggak sadar kalau ada yang menyapanya, bunyi klaksonlah yang akhirnya membuat Lovina sadar.
“Sorry, aku jadi ngagetin kamu. Habis aku nggak tahu nama kamu. Aku sapa, kamunya nggak nengok-nengok jadi aku klakson saja,” ucap seorang laki-laki yang kini ada di hadapannya, yang hanya berjarak beberapa langkah kaki.
Dia lagi. Orang itu lagi. “Ya, sorry. Tadi aku lagi fokus nungguin angkot jadi nggak tahu kalau ada yang manggil dan aku kira memang nggak ngomong sama aku.”
“Ya, soalnya aku nggak tahu nama kamu. Tapi, masih inget aku kan yang waktu itu ketemu di Toko Buku?”
“Masih kok. Sudah dua kali ketemu nggak mungkin aku lupa, walaupun sudah lama,” ucap Lovina meyakinkan laki-laki yang pernah menyelamatkannya saat hampir tertabrak motor. Peristiwa dua bulan yang lalu.
“Syukurah kalau masih inget, nggak nyangka ya kita ketemu lagi. Ngomong-ngomong kamu kuliah disini?”
“Ya, nggak nyangka banget sudah tiga kali ketemu tapi kamu terus yang tahu aku duluan. Lucu juga ya, hehe.” Seulas senyum Lovina keluar. “Iya, aku kuliah disini,” sambungnya.
“Yuup!!” Laki-laki itu juga mengeluarkan senyum manisnya. “Berarti sama kaya gue. Ambil jurusan apa? Eh tapi kok nggak pernah liat lo ya?” tanya laki-laki itu antusias saat tahu kalau Lovina kuliah di tempat yang sama dengannya. Tapi terlihat heran karena selama tiga tahun lebih tak pernah lihat. Mungkin lebih tepatnya tak pernah bertegur sapa.
“Kebetulan banget ya. Aku ambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Mungkin karena aku jarang berlama-lama di kampus dan mungkin karena kebetulan jadwalnya beda, jadi jarang lihat,” jelas Lovina. Mengingat ia dan Vita juga jarang ketemu kalau di kampus. “O ya sorry aku nggak bisa lama-lama mungkin lain kali saja ngobrol lagi,” ucapnya sebelum mengakhiri pembicaraan.
Tunggu. Barusaan aku bilang apa. Mungkin lain kali ngobrol lagi. Kaya iya bakal sering ketemu saja. Terus, barusan dia bilang apa…
“Oh, ya nggak apa-apa. Mau buru-buru ke tempat kerja kan, mau gue anter nggak sekalian biar cepet nyampe,” ucapnya menawarkan tumpangan di motornya.
“Iya, mau ke tempat kerja. Tapi, nggak usah kok, terimakasih. Nanti ngerepotin. Lagian angkotnya juga sudah datang,” Sambil menunjuk angkot yang sebentar lagi menuju ke arahnya berdiri. Tapi nggak tau penuh penumpang atau nggak. “Yaah.... penuh lagi,” ucapnya lirih.
“Tuh, kan penuh terus, mending gue anterin aja deh. Nggak ngerepotin kok, beneran. Lagian kuliah gue juga udah kelar.”