Kesibukan antara kerja dan kuliah membuat Lovina sekarang harus rela beristirahat untuk sementara waktu dari semua semua aktivitasnya. Kurangnya waktu istirahat memaksanya harus berbaring di tempat tidur.
“Makanya jangan sampai telat makan, jadinya sakit kan!”
“Karena kecapean juga sih. Jadinya gini,” ucap Lovina dengan suara yang paling lembut, karena keadaan yang memaksanya megeluarkan suara lembutnya.
“Vin, mending kamu cari kerjaan yang lebih baik saja gimana. Eh, maksud aku bukannya kerjaan kamu yang sekarang nggak baik, tapi alangkah lebih baiknnya kerjanya nggak terlalu membebanimu, gitu. Kerja yang bisa buat kamu bagi waktu antara kuliah, kerja dan istirahat. Apalagi bentar lagi kan sudah mau sibuk dengan skripsi. Walaupun kita masuk kuliah satu atau dua hari seminggu tapi kita nanti akan berhadapan tugas akhir yang menuntut kita untuk lebih fokus dan tentunya akan ada waktu khusus untuk ketemu dosen pembimbing. Kalau nanti waktu kerja bentrok sama waktu bimbingan kan susah. Percuma juga kan kalau ujung-ujungnnya kamu malah repot dan jadi sakit gini,” terang Kira panjang lebar.
Lovina hanya bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian seperti anak mendengarkan ibunya berbicara.
Apa yang dibilang Kira ada benarnya juga. “Aku juga sudah berniat begitu, tapi sampai sekarang belum nemu kerjaan yang cocok.”
Keadaan yang membuatnya hanya bisa berbaring di tempat tidur ini, selalu mengingatkannya dengan keluarga di rumah. Dulu kalau Lovina sakit, kedua orangtuanya paling cemas. Bukan karena mereka bingung untuk memeriksakan ia ke dokter, tapi lebih tepatnya karena mereka bingung bagaimana cara untuk membuatnya berteman dengan obat. Alasannya, karena ia adalah orang yang paling susah untuk membuat obat masuk ke mulutnya, tidak seperti adik-adiknya yang dengan mudahnya memasukan sesutau yang pahit itu ke mulut mereka. Jadi, walaupun sudah berobat ke dokter akan percuma saja kalau obatnya tidak pernah masuk ke tubuhnya.
Tiga hari sudah Lovina terkapar di tempat tidur, lemas. Dan itu berarti sudah 3 hari juga ia tidak melakukan aktivitas utamanya, kuliah dan kerja. Yang bisa ia lakukan hanya duduk sebentar terus berbaring lagi. Mungkin kaki dan tangannya memang tidak bisa saling membantu satu sama lain sebagaimana fungsinya. Namun, biapun begitu tangannya masih bisa bekerja, masih bisa melakukan aktivitas kecil, walaupun hanya sebatas mengetik. Dan itu sudah cukup buatnya selama ia masih bisa berfikir dengan baik.
Dalam kondisi yang sekarang, mungkin ia enggak bisa duduk lama. Selagi masih belum terlalu parah ia akan berusaha semampunya supaya tidak terbawa dengan arus sakitnya. Lovina tidak mau kalau harus belama-lama berteman dengan obat.
Sambil berbaring, matanya menatap sebuah layar berukuran 4 inch yang ia pengang. Tak lupa jari-jarinya dengan lincah menari-nari di atas layar itu. Dengan gerakan maju mudur, kesamping kanan dan kiri, layaknya dua orang yang sedang berdansa. Tapi dansa ini dilakukan oleh dua ibu jari. Mengetik, cuma aktivitas itu yang bisa ia lakukan dalam keadaannya sekarang. Merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat. Menuangkan apa yang ada dalam fikirannya.
Lovina berharap suatu saat nanti hasil rangkaian kata-kata yang disusun menjadi kalimat dan kalimat yang ia rangkai menjadi sebuah tulisan yang kemudian diterbitkan. Ia selalu ingin tulisannya dibaca banyak orang. Ia ingin tulisannya menginspirasi banyak orang yang membacanya, seperti ia juga yang selalu terinspirasi dengan karya-karya banyak penulis. Dari membaca itu ia yakin bahwa penulis itu hebat bisa membuat orang yang membaca karyanya mengikuti apa yang mereka tuliskan. Seperti ia yang kadang selalu terbawa suasana saat membaca novel atau buku-buku self improvment. Sungguh!! Alangkah hebatnya kekuatan sebuah tulisan yang bisa mengendalikan perasaan pembacanya.
***
“Yakin sudah bisa berangkat kampus lagi?” tanya Kira meyakinkan apa Lovina sudah siap untuk menghadapi rutinitasnya lagi.
“Ya, sudah lebih baikan sekarang, tapi mungkin aku nggak akan masuk kerja dulu.”
“Ya baguslah, jangan sampai nanti kamu sakit lagi. Ujung-ujungnya aku juga yang repot”
“Ohhh, jadi selama aku sakit kamu merasa direpotkan olehku, Ok... Fine!”
“Ya iya lah, pake nanya. Repot bangettt. Aku nggak ada teman buat debat di kelas. Kurang seru kalau nonton Running Man nggak ada kamu.”
“Ya elah, gitu aja dibikin repot, kan ada Vita. Kalian masih bisa nonton berdua kan!”
“Ya, kan nggak bisa gitu, nanti kalau cuma berdua kesannya kita tertawa di atas penderitaanmu!” tegas Kira dengan disusul tawa mereka berdua.
Walaupun mereka berdua kadang sering beda pendapat kalau di kelas, tapi itu yang membuat mereka jadi semakin mengenal karakter masing-masing. Mungkin karena golongan darah mereka yang sama, B. Jadinya kadang sama-sama berusaha untuk mempertahankan pendapatnya. Tapi, kalau sudah klop B itu bakal saling menguatkan. Walaupun umur mereka yang berbeda jauh, tapi itu tidak menjadi masalah dalam persahabtan mereka, Lovina dan Kira sama-sama bisa mengimbanginya.
“Ok, lah nanti malam kita nonton Running Man. Sebagai tanda kesembuhanku.”
Saat nonton Running Man mereka bisa tertawa lepas. Seakan enggak ada beban, sejenak melupakan masalah dan tugas yang menumpuk. Reality Show dari Negara Korea ini selalu memberikan tawa di setiap episodenya.
Lovina dan Kira melangkah keluar meninggalkan kosan, menuju kampus. Sedangkan Vita yang sudah sejak pagi ada di kampus. Hari ini mereka berdua punya jadwal yang sama dengan Vita. Sangat jarang sekali mereka bertiga bisa ada jadwal yang sama, dari mulai semester pertama.
Suasana kampus lumayan ramai kalau hari Kamis. Sesaat Lovina melihat gedung progam jurusan Sastra yang letaknya bersebelahan dengan gedung program jurusan Pendidikan. Kedua gedung itu hanya dipisahkan oleh tempat santai para mahasiswa, apalagi kalau bukan tempat nongkrong untuk menikmati wifi atau hanya duduk-duduk berkumpul. Tempat yang memang disiapkan untuk semua program jurusan untuk bersantai.
Lovina selalu suka tempat itu, selain bentuknya yang unik menyerupai huruf “T” dan banyak tanaman di sekitarnya, juga ada kantin kecil yang menjual makanan ringan serta minuman yang memang disediakan untuk mereka yang membutuhkannya sebagai pelengkap bersama laptop dan wifi. Mungkin mirip seperti kedai kopi. Namun, tempatnya memang kurang cocok buat Lovina kalau untuk mengerjakan tugas yang butuh konsentrasi penuh, karena memang tempatnya ramai. Terkadang ramainya karena mereka dari jurusan Sastra yang suka nyany-nyanyi dan main gitar.
Di kampus, ada dua jurusan Sastra, yaitu Sastra Inggris dan Sastra Jepang. Sedangkan untuk jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan, ada beberapa jurusan; Pendidikan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, Biologi, Agama Islam dan Pendidikan Olahraga.
Lovina dan Kira seperti biasa memilih tempat duduk yang di ujung, garis lurus huruf “T”. Memilih duduk di barisan paling ujung, agar bisa lebih tenang. Di ujung yang lainnya yang persis berada di tengah-tengah antara ujung sebelah kiri dan ujung sebelah kanan ada kantin yang tengah ramai. Beberapa mahasiswa juga terlihat sudah banyak yang sedang sibuk dengan layar di depannya.
Menikmati sela-sela waktu kosong yang sebentar menunggu mata kuliah dimulai Lovina menyibukan diri dengan fokus menatap layar laptopnya mencari-cari lowongan pekerjaan yang mungkin cocok untuknya nanti.
“Gimana, udah dapet?” tanya Kira yang tiba-tiba muncul di depannya sambil membawa dua buah air minum.
“Belom nih, bingung. Kebanyakan full time. Sekalinya part time juga waktu kerjanya nggak pas dengan kuliahku. Terus ada juga yang part time tapi sampai malam banget kelarnya. Nanti ujung-ujungnya harus bisa bagi waktu lagi, malah lebih parah dari kerjaan aku yang sekarang,” jelasnya mengengenai temuan lowongan kerja yang didapatnya.
“Ya sudah, barang kali aja nanti nemu yang lebih baik. Kalau aku dapat info aku kabari.”
“Ya, makasih ya. O ya Vita mana? Bukanya kuliahnnya sudah kelar, biasanya ia udah stand by buat download.
“Di Aula, tadi dia bilang ada rapat buat acara tahunannya anak Sastra Inggris.”
“Ohh, memang ada acara apaan?”
“Artivation, biasa.”
“Ohhh, gitu. Eh, padahal kita tuh sama-sama belajar bahasa Inggris ya, tapi beda aja kegiatan di luar perkuliahannya. Kalau dari anak-anak Sastra Inggris kelihatan lebih santai tapi kreatif, penuh kebebasan, dan kebanyakan lebih ke seni. Tapi kalau Pendidikan Bahasa Inggris kaya kita-kita ini memang lebih difokuskan buat belajar cara menjadi pendidik atau lebih tepatnya bagaimana menjadi guru yang baik dan bisa memberikan contoh buat anak didiknya kelak.” Tanpa Lovina bermaksud membandingkan kedua jurusan yang sama-sama belajar bahasa Inggris tapi beda cabangnya.
“Yap!”
Pada hakikatnya semua ilmu yang ada lingkungan sekolah atau kampus itu sifanya baik. Itu semua tergantung bagaimana kita mengaplikasikannya, terutama untuk diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
“Vin, kok sudah masuk kuliah lagi? Sudah bener-bener sembuh kah?” tanya Vita yang tiba-tiba datang membawa sederetan pertanyaan.
“Busyet dah nih anak, datang-datang sudah kaya petugas kepolisian nanyain tersangkanya.” Kira yang hampir menjadi korban tabrak duduknyanya Vita, bukan tabrak lari. Karena setelah menabrak Kira dia langsung duduk sambil memegang dahi Lovina, memastikan apakah suhu tubuh sahabatnya masih panas seperti kemarin-kemarin.
“Iya, aku sudah lebih baikan kok Vit, maksih atas pertanyaannya.”
“Dan maksih juga atas tabrakannya!” sambung Kira.
“Yaa, Maaf deh, kan tadi kaget banget lihat Vina sudah berangkat, sekedar memastikan kalau ia sudah bener-benar sembuh. Tapi syukurlah, memeng beneran sudah sembuh.”
“Iya nih bosen juga di kosan terus, nggak usah lama-lama sakitnya nanti kalian kesepian kalau nggak ada aku. Iya kan?”
“Iyaaaaa!!” ucap Kira dan Vita bersamaan. Mereka bertiga tertawa lepas seakan hanya ada mereka bertiga di kampus.
Sahabat memang sudah seperti keluarga kedua, terutama di saat jauh dari orang tuanya. Lovina yang memang jarang sekali pulang ke kampung halamannya, hanya setiap hari raya saja dia pulang. Kira dan Vita sudah menjadi bagian dari keluarganya. Mungkin bagi sebagian orang, pacar menjadi orang yang kedua setelah keluarga. Tapi bagi Lovina lebih berharga sahabat dibandingkan pacar. Bukan karena cinta pertamanya berakhir dengan kesedihan dan kekecewaan, tapi menurutnya dalam hidup ini sahabat lebih dulu hadir daripada pacar. Sekalipun nantinya seseorang itu bakal jadi pacar, tapi sebelum status itu berubah jadi pacar terlebih dahulu menjadi sahabat. Jadi, itulah kenapa sahabat posisinya lebih dulu dari pada pacar, tapi itu hanya berlaku buat sahabat sejatinya.
“By the way kalian ada kuliah jam berapa?”
“Jam sepuluh,” jawab Kira sementara Lovina mulai mencari-cari loker di website yang memungkinkan.
Lovina dan Kira sengaja datang satu jam lebih awal sebelum perkulihan dimulai karena harus berhubungan dengan wifi terlebih dulu.
“Hari ini aku mau pulang cepet nih. Soalnya tadi dapat pesan dari orang rumah, ada acara keluarga nanti malam.”
“Nah kuliah kamu gimana? Berarti besok nggak berangkat?”
“Besok kan nggak ada jam kuliah”