Lovina sudah memutuskan untuk berhenti bekerja di Viantika Book Cafe. Tempat yang penuh banyak kenangan. Kenangan bersama rekan-rekan kerjanya, salah satunya. Lovina merasa sangat sulit meninggalkan mereka, tapi itu ia lakukan semata-mata demi kebaikannya juga.
Keputusan itu diambilnya setelah Lovina bercerita tentang keadaanya kepada Boss pemilik bangun berlantai dua itu, ketika datang ke kafe untuk mengecek dan sekedar melakukan evaluasi Rutinitas yang dilakukan sebulan sekali. Pak Fikri yang kini mengambil alih tugas yang dulu dilakukan oleh almarhumah Ibu Kirana, Boss yang baik dan cukup dekat dengan Lovina.
Pak Fikri juga yang menyarankan kepada Lovina untuk bekerja di Yayasan miliknya, yang kini juga diambil alih kembali kepemilikannya. Dan sebagai apresiasinya karena sudah tujuh tahun lebih kerja dengannya serta kinerja kerjanya yang bagus, kapanpun Lovina ingin kembali bekerja di kafe buku tersebut akan selalu ada tempat untuknya. Hal tersebut Lovina dengar langsung dari Pak Fikri.
Itulah mengapa Lovina betah kerja di kafe buku tersebut, karena bossnya yang dulu dan sekarang sama-sama orang yang baik dan bijaksana. Tentu bukan hanya kepada dirinya tapi kepada yang lainnya juga. Makanya jarang ada yang keluar dari tempat kerjanya kecuali memang mengaharuskannya keluar. Seperti Lovina sekarang. Tak heran jika Lovina dan semua yang kerja di kafe buku tersebut sudah akrab, karena memang rata-rata dari mereka sudah bekerja cukup lama. Seperti halnya Adelina dan Atina, yang sudah bekerja lebih dari lima tahun, sama seperti Lovina.
Lovina yang kini bekerja menjadi seorang pengajar di sebuah taman belajar untuk anak-anak usia dini, sekolahan yang cukup besar dan tak jauh dari tempat indekosnya. Walau ia memang tak asing dengan nama Yayasan Kirana Mentari, tapi Lovina tak pernah mengira kalau itu adalah milik bossnya. Walaupun memang gajinya dibawah gaji yang ia peroleh sewaktu masih kerja di Viantika Book Cafe, tapi itu tak masalah baginya. Yang terpenting adalah waktunya.
Di tempat kerja yang baru, Lovina bisa punya waktu libur dua hari, yaitu saat weekend. Jadi ia bisa memanfaatkan waktu itu untuk istirahat dan mengerjkan tugas-tugas kuliah dan skripsinya. Ya, itu lebih dari cukup. Di sisi lain juga, jam kerjanya lumayan baik dengan jaraknya yang juga tak jauh, walaupun ia bekerja di sekolah yang full day. Itulah yang menjadi pertimbangannya, disamping karena rekomendasi juga. Dengan jarak yang tak jauh ia tak harus mengeluarkan uang transport dan tak harus buru-buru.
Sekolah full day itu mulai dari jam 8 pagi sampai jam 3, tapi ia harus berada di sekolah dari mulai jam 7 sampai jam 4.
Jadwal kuliahnya di semester tujuh hanya tiga hari dan padat di hari Sabtu. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengikuti kuliah pagi di hari Kamis, karena pihak di mana tempat kerja hanya memberikannya dispensasi sekali dalam seminggu. Memang, hari Kamis itu hari yang memungkinkan karena Lovina hanya harus mengganti satu mata kuliah.
Lovina tidak kerja sendirian ada partnernya nanti yang ia sendiri masih belum tau seperti apa orangnya. Lovina hanya diberitahu namanya dan statusnya yang juga sama dengannya, mahasiswa tingkat akhir. Itulah penjelasan yang ia dapat dari kepala sekolah di TK itu. Ia harus bisa bekerja sama dengan Alfiona, partnernya, untuk menghandle anak-anak. Karena kebetulan partnernya Alfiona yang dulu baru seminggu yang lalu keluar.
Lovina sudah bersyukur banget bisa diberikan dispensasi saat ia bilang bahwa ia masih seorang mahasiswa kelas reguler dan jadwal kuliahnya Rabu, Kamis dan Sabtu, walaupun memang konsekuensinya harus ada potongan gaji. Di sisi lain ia juga bersyukur dibolehkan ikut kelas karyawan di satu mata kuliah tanpa harus membayar tambahan lagi. Semua itu sudah ia pikirkan sebelum ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari Viantika Book Café.
Pekerjaan barunya akan dimulai besok dan hari ini resmi ia bukan pegawai di Toko Buku lagi. Tempat yang juga di mana pernah menjadi tempat Lovina dan Ivan tidak sengaja bertemu untuk yang kedua kalinya setelah kejadian di jalan.
Ia sengaja menghabiskan waktu setelah menyelesaikan urusannya. Sebelum memutusakan untuk kembali ke tepat indekosnya, ia bekeliling sebentar di Mall dekat tempat kerjanya, sekedar melihat-lihat. Setelah dirasa cukup dan waktu pun sudah sore ia berjalan keluar menuju tempat di mana ia bisa mendapatkan kendaraan umum yang akan membawanya pulang.
“Hei!!” sapa Lovina kepada Ivan saat mereka tak sengaja bertemu di pintu masuk dan keluarnya orang-orang. Berjalan keluar dari arah yang berbeda. Saat mereka ternyata sedang sama-sama hendak keluar.
“Hei, baru pulang kerja, Vin?”
“Iya nih, Van. Sendirian saja?”
“Nggak, tadi sama temen. Kebetulan dia ada janji lagi sama temennya, jadi gue cabut duluan,” jelasnya. “Lo mau pulang kan? Mau sekalian bareng?” tanya Ivan kemudian.
“Nggak usah deh, aku naik angkot aja. Lagian mau nyari makan dulu”
“Ya sudah sekalian saja, gue juga kebetulan belum makan. Tadi nggak sempet makan, keburu temannya Stella datang.”
Stella. Apa maksudnya ia menyebutkan nama itu dan kenapa pula aku jadi risau gini setelah mendengar nama itu. Berarti teman yang dimaksud ia bareng ke sini adalah Stella. Mungkin yang waktu itu ketemu di toko buku.
“Gimana, Vin?” tanya Ivan memastikan.
“Oh, ya sudah kalau kamu memang mau sekalian makan,” ucap Lovina mengiyakan ajakannya. Lovina merasa tak enak jika harus terus menolaknya, yang memang tulus.
“Akhirnya aku bisa punya waktu untuk bisa mengenalnya lebih jauh. Aku percaya ini bukan hanya kebetulan.” Ucap Ivan dalam hati setelah Lovina mengiyakan tawarannya.
“Yuuk!” Lovina kemudian mengekor di belakang Ivan, menuju parkiran.
“Mau makan di mana?”
“Gimana kalau di pinggir jalan saja. Di daerah jalan Tuparev banyak yang jual makanan enak kalau sudah sore gini,” ucap Lovina yang memang rencananya mau beli makan di situ.
“Boleh.”
Ada rasa canggung saat Lovina bersama Ivan. Hanya diam. Tak ada percakapan selama perjalanan. Sampai ketika makan pun hanya beberapa kata yang keluar dari mulut mereka. Obrolannya pun ringan. Hanya seputar kampus.
Ivan sengaja tidak berbicara terlalu banyak, karena dia tidak ingin Lovina merasa tidak nyaman dengan kebersamaannya. Ivan hanya ingin memastikan terlebih dahulu kalau Lovina bisa nyaman dengan dirinya, dengan kebersamaanya. Karena dari dulu seperti itulah prinsipnya ketika ingin memulai suatu hubungan, terutama hubungan spesial. Memastikan dirinya dan orang yang bersamanya merasa nyaman.
“Thanks ya, Van. Udah dianterin pulang dan buat makanannya juga.”
“It’s Ok!”
“Ya sudah aku masuk dulu ya.”
“Eh, Vin ada FB gak?” tanya Ivan to the point.
“Eh. Ada.” Sedikit salah tingkah Lovina menjawabnya.
“Namanya apa, boleh gue add kan?”
“Boleh. Lovina Aleysa. Cari saja.”
“Siiip!” ucap Ivan sambil lalu mengacungkan jempolnya.
Kemudian Lovina berlalu ke dalam.
Rasanya nano-nano. Itulah yang dirasakan Lovina sekarang. Tapi ia yakin ini hanya perasaan kagum. Nggak lebih. Kalaupun ia nyaman itu karena nama panggilan Ivan sama dengan nama panggilan Fandika. Lovina seolah dekat dengan Ifan.
Ternyata aku memang masih belum bisa sepenuhnya menghapus Ifan dari ingatanku.
“Jadi benar begitu ya, Vit?” suara Kira terdengar jelas saat Lovina sampai di tangga, dekat dengan jendela kamar Kira. Tapi Lovina nggak tahu, apa yang Kira dan Vita maksud.
“Ya memang begitulah dia.”
Dia yang dimaksud Vita. Membuat Lovina semakin penasaran. Apa yang sedang diobrolin oleh dua orang sahabatnya itu, mengingat waktu itu Kira ingin tahu tentang Ivan dari mulut Vita.
“Hai, semuanya!” sapa Lovina setelah melihat Kira dan Vita yang lagi serius.
“Hai, Vin!”
“Kok pulang telat. Bukanya kamu bilang sudah berhenti kerja di situ?” tanya Kira.
“Iya, soalnya tadi ketemu Ivan. Terus kita makan dulu sebentar,” jawab Lovina dengan nada biasa biasa aja, dengan muka datarnya.
“Jadi bener apa yang dibilang Kira itu ya, Vin?”
Sudah kuduga. Dia yang dimaksud Vita itu Ivan. “Kira?? Apa maksudnya, Vit? Memang Kira ngomong apaan?” tanya Lovina penasaran apa yang diomongin oleh Kira tentangnya dan Ivan sampai Vita menanyakan kebenarannya.
“Nggak ko, Vin. Aku nggak ngomong apa-apa. Cuma bilang kalau banyak kebetulan antara pertemuan kamu dan Ivan. Dan ternyata benar loh, Vin. Ivan itu memang sekelas sama Vita dan sesuai dugaanku juga ia memang orang baik.”
“Ya, terus apa hubungannya denganku?”
“Kata Kira, kalian berdua itu cocok. Ya… ada chemistry gitu,” ucap Vita.
“Sudah deh, nggak usah mulai. Jangan dengerin Kira, Vit!”
“Tunggu deh, tadi kamu bilang katanya habis ketemu dan makan bareng Ivan ya? Kebetulan apa janjian tuh?” Tanya Kira penasaran