Suasana kampus kini tengah disibukan dengan persiapan event yang sebentar lagi tiba. Artivation, acara mahasiswa Sastra Inggris yang setiap tahunnya diadakan demi mempererat hubungan antar semua mahasiswa. Bukan hanya dari jurusan Sastra Inggris, namun juga dari semua jurusan yang ada di kampus.
Lovina tak pernah tahu acaranya seperti apa, karena ia tidak pernah sekalipun ada kesempatan untuk datang menyaksikannya. Apalagi kalau bukan karena urusan kerja part time yang seminggu full. Tak ada waktunya untuk ikut organisasi di kampus. Pernah sekali ikut, yaitu UKM mading. Itu hanya sebentar. Makanya Lovina tak banyak tahu semua mahasiswa yang ada di kampus, hanya teman satu kelasnya yang dia tahu. Itu dikarenakan urusannya lebih sering hanya berfokus pada kuliah dan kerja.
“Vita belum pulang juga ya?” tanya Kira, membuat Lovina kaget karena kepalanya yang tiba-tiba saja muncul di jendela bersamaan dengan suaranya.
“Kira! Kebiasaan deh, bikin kaget saja.”
“Maaf, hehe…”
“Mungkin masih sibuk, apalagi kan eventnya besok. Kemarin pas aku kelar kuliah malam juga masih lumayan banyak yang di kampus.”
“Lovina….Kira…!”
“Panjang umur nih orang, baru aja diomongin datang.”
“Ngomongin aku. Ngomongin apaan?” Vita antusias ketika ketiadaan dirinya jadi bahan omongan.
“Nggak. Kira tuh, kangen karena kamu belum balik.”
“Ah, dia mah nyariin aku karena ada maunya. Bukan kangen.” Vita sudah bisa mengira apa yang diinginkan Kira dari kedatangannya.
“Tapi dapatkan?”
“Dapat, tenang aja.”
“Apaan sih. Jadi curiga?” Lovina penasaran melihat gelagat mereka yang terlihat menyembunyikan sesuatu. Firasat Lovina mengatakan kalau itu ada hubungan dengannya.
“Ada deh.”
“Wah, nggak seru. Maen rahasia-rahasian segala.”
“Nanti, ada waktunya kamu bakal tahu, Vin.”
“Kalau mau yang seru besok ya. Pada datang kan ke Artivation. Kamu nggak pernah datang kan, Vin. Datang ya!”
“Pengen sih. Eh, tapi besok kan ada kuliah.”
“Abis kelar kuliah masih bisa kok. Acaranya sampe sore. Banyak lomba-lombanya sih, ditambah ada performance dari mahasiswa yang mau berpartisipasi menyumbangkan suaranya.”
“Ada lomba apa aja, Vit?” tanya Lovina yang memang masih belum tahu seperti apa gambaran acarnya.
“Sing a song, photographer, dan drama performance. Banyak deh pokoknya. Dijamin bakal terhibur deh,” ucapan Vita sudah seperti seorang seles yang sedang menawarkan dagangannya. “by the way, kelar kuliah jam berapa?”
“Jam 2.30 Masih sempet memangnya?”
“Masih, tapi paling tinggal acara hiburannya aja.”
“Nggak apa-apa deh, biar nggak be-te.”
“Iya.” Lovina setuju dengan apa yang Kira bilang. Dan karena aku juga hanya ingin melihat Ivan perform. Aku yakin ia pasti turut serta menyumbangkan suaranya. Waktu itu Vita juga bilang kalau Ivan memang suka nyanyi dan aku pernah mendengar dia nyanyi.
***
Perkulihan selesai lebih awal karena dosen mata kuliah terakhir, mendadak ada urusan. Semua mahasiswa besorak riang mendengar berita itu, bukan karena hari ini bertepatan dengan adanya Artivation, tapi lebih karena mata kuliah itu membosankan dan ditambah dosen pengampunya juga membosankan saat di kelas, juga saat memberikan penjelasan di perkuliahannya. Dan yang lebih parahnya terkadang dosen itu keluar kelas melebihi waktu yang ada dan membuat mahasiswa semakin mabuk dalam mata kuliah itu, apalagi kalau bukan mata kuliah syntax. Mata kuliah yang sebenarnya tidak terlalu rumit jika saja dosennya lebih sedikit lebih profesional dalam jam perkuliahan dan bisa lebih baik di kelas.
“Yeah!! Akhirnya tak perlu menunggu sampai jam 2.30 untuk berada dalam dunia kebingungan dan kebosanan,” ucap salah seorang mahasiswa.
“Sering-sering saja kaya gini. Masuk telat keluar cepat, biar nggak tambah pusing nih kepala.”
“Iya, bener. Tapi kenyataanya lebih sering masuk telat dan keluar juga lebih telat. Iyuh, gimana nggak bikin be-te coba. Nggak bisa konsisten sama jadwalnya,” ucap Rika, mahasiswa yang punya kerja part time. Sering telat masuk kerja kalau hari Sabtu, karena jam kuliah yang seharusya selesai jam 2.30 seringnya selesai jam 3.00. Dan itu berarti Rika akan telat sampai di tempat kerjanya.
“Kok ada ya dosen yang ngyebelin seperti dia. Kalau nerangin nggak jelas. Kadang kalau ada mahasiwa yang kurang jelas tentang materi, ehh… malah pertanyaan itu dilempar ke mahasiswa lain. Dan ujung-ujungnya pertanyaan itu tak mendapat jawabannya karena waktunya habis.”
“Iya. Kadang, kalaupun dijawab juga nggak jelas. Muter-muter gitu jawabannya. Malah bikin pusing. Jadi aku pikir nggak usah dijawab. Haha…”
“Iya. Bener… bener….” Disusul ketawa semua mahasiswa yang masih ada di kelas. Termasuk Lovina dan Kira yang masih bersiap-siap membereskan laptop dan buku ke dalam tas sebelum meninggalkan kelas dan siap menuju aula tempat event berlangsung. Mereka berdua ikut-ikutan ketawa walau enggak turut serta dalam obrolannya.
Mereka semua tertawa, bukan karena mengejek tapi lebih karena merasa lucu. Karena itulah mereka tertawa bila mengingat kejadian di kelas waktu itu. Saat presentasi, diskusi dan sesi tanya jawab para mahasiswa berlangsung, lalu tidak mendapat titik temunya, dan ujung-ujungnya sebagian mahasiswa pasti lebih sering mencari jawaban itu lewat mbah google dan dosen lainnya. Sungguh ironis.
Seperginya dosen mata kuliah itu, ternyata dia menjadi bahan pembicaraan para mahasiswa. Selama Lovina masih di situ, mau enggak mau ia ikut mendengarkan pembicaraan teman-temannya walaupun ia sedang berbicara dengan Kira tapi tetap saja obrolan teman-temannya itu masuk ke telinga Lovina dengan mulus. Termasuk saat ada salah satu mahasiswa yang membela dosen itu.
“Kalian jangan begitu nanti ilmu yang kalian dapat itu nggak bisa kalian serap dalam otak kalau kalian ngomongin dosen begitu. Biar begitu kan itu dosen ilmunya lebih tinggi dari kita. Kan sayang kalau ilmu yang kita dapat nggak berkah.” Suara itu terdengar jelas berasal dari bangku paling depan, bangku yang berada persis di depan tempat duduk dosen itu.
Semua yang ada di kelas itu tahu kalau suara itu keluar dari anak emas dosen itu. Mendengar suara itu keluar darinya, mereka akhirnya diam, karena malas untuk meneruskannya. Meneruskan pembicaraan yang ujung-ujungnya hanya akan merubah atmosfer kelas menjadi mendung.
Memeng benar meneruskan pembicaraan dengan orang yang tak sepaham hanya akan membuat suasana hati jadi tidak baik. Hanya akan memperkeruh suasana.
Lovina tiba-tiba teringat pembicaraannya dengan Fandika sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang sudah hampir dua tahun berjalan. Iya, karena tentu saja bila pembicaraan itu dilanjutkan maka akan memperkeruh suasana. Lovina terlalu sakit untuk mendengar apa yang Fandika katakan. Bagaimana Lovina bisa menerima saran yang tak sepaham dengannya dan bertentangan dengan prinsipnya dan ujung-ujungnya hanya akan menyakiti keduanya.
“Aku tahu ini situasi yang sulit buat aku dan juga kamu. Tapi aku mohon mengertilah, lebih baik merasakan sakit dan kecewa lebih awal dan lebih cepat daripada akhirnya nanti pun aku akan merasakan sakit itu. Aku memilih untuk mundur segera daripada….” Lovina tak mampu untuk mengucapkan kata-kata itu, karena dengan mengucapkannya saja begitu menyakitkan apalagi menjalaninya. Ia menyayangi Fandika dan keluarganya. Ia tak ingin menyakiti mereka.
“Aku minta maaf, bukannya aku mau memaksamu menuruti permintaanku yang konyol ini. Aku hanya belum siap untuk berpisah denganmu,” ucap Fandika kala itu sambil menggenggam tangan Lovina erat. Tak siap untuk melepaskan Lovina, saat gadis itu mengatakan keputusannya untuk memilih mengakhiri hubungannya Fandika
“Aku tahu! Aku pun begitu, Fan. Tapi mengertilah lebih cepat semuanya berakhir akan lebih baik,” ucap Lovina dengan menitihkan air mata. Ia merasa adegan seperti di film-film. Dialah pemain wanita yang lemah dan kalah.
Lebih cepat semuanya berakhir akan lebih baik. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Bekas itu ternyata masih ada, sampai sekarang. Bekas semua kenangan tentang seseorang yang dipanggilnya Ifan.
“Vin, nanti beli minum dulu yuuk. Haus nih. Aku tadi tanya ke Vita katanya mahasiswa semester 3 yang lagi perform drama. Oh iya katanya yang dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris juga ada yang ikut. Semester 3 dan 5 kalau nggak salah.” Perkataan Kira yang langsung mengusir semuanya. Mengusir percakapan dirinya dan Fandika yang tadi berlangsung di ingatan.
“Ok!” jawabnya singkat. Berjalan keluar dari kelas yang kini tinggal dua orang mahasiswa yang masih berada di kelas. Masih asyik dengan laptopnya.
“Vin, tadi denger kan si Liya ngomong apa. Sok-sokan ngebelain tuh dosen. Padahal kan memang bener kenyataanya kaya gitu ya,” Kira yang memang kurang suka dengan dosen itu mengutarakan argumenya.
“Iya sih, tapi sebenarrnya anak-anak tadi juga nggak seharusnya ngomong kaya gitu. Ya, biar bagaimana juga kan tuh dosen gak jahat-jahat banget. Gak pelit nilai juga. Dan aku pikir juga sebenarnya sih orangnya baik cuma mungkin cara ngajarnya saja yang kurang pas di mata mahasiswa jadinya seperti itu.” Bukan berarti Lovina membela dosen atau menyakahkan pembicaraan teman-temannya tadi karena memang seperti itulah adanya. Tapi bukan berarti ia setuju dengan tindakan mereka yang ngomongin dosen di belakang. Ia juga memang sependapat dengan mereka itu, tapi dalam hal bagaimana cara dosen itu memberikan penjelasan dalam mata kuliahnya.
“Iya sih nggak pelit, tapi kan kalau kita nggak ngerti kan percuma saja. Apalagi kalau malah bikin kita jadi pusing dengan mata kuliahnya dan juga tugas-tugasnya yang ngebingungin, kan sama saja itu artinya dia gagal menjadi dosen. Gagal menyampaikan apa yang seharusnya dimengerti oleh mahasiswa. Buktinya kan bukan hanya kita sekelas, tapi semua mahasiswa di tingkat bawah juga mempunyai penilaian yang seperti itu terhadap tuh dosen,” jelas Kira panjang lebar, tetap dengan argumennya yang mendukung aksi teman-temannya.
Membicarakan hal yang berhubungan dengan dosen yang dimaksud memang enggak akan ada selesainya apalagi kalau itu berkaitan dengan bagaimana cara dia memberikan mata kuliah di kelas. Cukup disayangkan memang mengingat banyak mahasiswa yang kecewa dan enggak suka dengannya, padahal sebenarnya orangnya baik. Hanya saja itu selalu jadi bahan pembicaraan yang enggak pernah ada ujungnya.