Let It Flow

Afni Fay
Chapter #10

In Surprise

Hampir seminggu lebih Lovina kerja di TK Mentari. Semuanya berjalan dengan baik. Hari-harinya bersama anak-anak memberikan keceriaan tersendiri, ditambah dengan rekan kerja yang juga menyenangkan. Dan hari ini Lovina melakukan semuanya sendiri. Menangani anak-anak itu tanpa Alfiona, karena hari Kamis Alfiona harus memberikan perhatiannya kepada jadwal kuliahnya. Lovina sudah mulai terbiasa, walau harus menghandle sendiri.

Seminggu lebih juga Lovina meninggalkan kerjaannya yang lama. Meninggalkan Adelina dan rekan-rekan kerjanya dulu. Meninggkan aktivitasnya di toko buku.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Lovina meninggalkan TK Mentari. Ia tahu apa yang harus dilakukan setelah itu. Setelah pesan itu terkirim, Lovina kembali ke kosan sebentar. Segera setelah pesan balasan masuk, ia bersiap-siap untuk pergi menemui Atina.

Atina yang tidak ada jam kuliah sengaja ingin bertemu dengan Lovina. Setelah pesannya tersampaikan, Atina tak langsung pulang setelah waktu kerjanya selesai.

Lovina hanya akan menemui Atina sebentar, sekedar bersilahturahmi. Dan tentunya berkunjung ke tempat yang telah memberinya kesempatan untuk berbagi rejeki. Tempat yang sudah ia anggap seperti rumah sendiri.

“Jangan lupa, sering-seringlah main ke sini,” ucap Adelina kala itu.

“Iya. Jangan lupain kita dan tempat ini,” Atina juga ikut bersuara.

“Awas saja, kalau sampai berani lupain kita semua!” ucap Adelina waktu itu. Waktu terakhir Lovina memutuskan untuk berhenti kerja dari Viantika Book Cafe.

Tentu saja, Lovina tak akan melupakan mereka semua dan tempat itu, tempat yang sangat berarti buatnya selama menjadi anak perantauan. Tempat yang memberinya banyak pelajaran dan pengalaman. Juga tempat yang mempertemukannya dengan Ivan.

Air mata Lovina menitih saat ia memandang bangunan yang kini ada di hadapannya. Bangunan sederhana yang berada tak jauh dari jalan raya. Bangunan yang berdekatan dengan beberapa ruko-ruko yang juga menjajakan barang dagannganya dan tak jauh dari bangunan itu, berdiri Mall Superblock. Bangunan yang bertuliskan Viantika Book Café.

Lovina berjalan memasuki tempat itu dan menyapa semua teman-temannya yang sedang bekerja. Lalu ia berjalan ke tempat di mana Atina sudah menunggunya. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk Lovina menemukan sahabatnya itu. Atina duduk di salah satu kursi di pojok dekat pintu ke arah dapur kafe.

Setelah cukup berkangen-kangen ria dan saling bercerita mengenai kesibukan barunya, Atina menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu yang terjadi di lantai dua, tempat buku-buku berada. Cerita Atina membuat Lovina merasa seperti merasakan suatu kebahagian yang tak terduga. Walau itu memang sederhana.

“Kapan?”

“Dua hari setelah Mba Vina berhenti dari sini,” terang Atina saat dia menceritakan bahwa ada seseorang yang menanyakan dan mencari Lovina.

Dari ciri-ciri yang dijelaskannya Lovina sudah bisa menebak siapa dia. Ivan lah orangnya, yang menanyakan dan mencari Lovina.

Walaupun dulu Ivan dan Via kadang-kadang datang ke kafe. Namun, Ivan yang dulu dan Ivan yang sekarang berbeda. Dan tentunya pegawai di kafe tak begitu memperhatikan baik-baik siapa Ivan yang dulu datang bersama anak pemilik kafenya. Karena memang tak banyak orang yang tahu kalau Via adalah anak pemilik kafe. Hanya Lovina dan Adelina lah yang tahu. Kalau nama Viantika Book Café itu diambil dari nama panjangnya Via.  

“Dia ngomong apalagi?” tanya Lovina penasaran.

“Nggak banyak, cuma nanyain kok nggak ngelihat Lovina. Cowok itu pikir kalau kamu sedang sakit. Memangnya dia itu siapa? Mba Vina nggak bilang ke dia kalau sudah berhenti kerja di sini?” Tanya Atina penasaran.

“Temen kampus. Aku memang nggak ngasih tahu dia, toh cuma temen baru itu. Aku juga baru tahu ternyata dia satu kampus sama aku tapi beda jurusan.”

“Oh gitu, kirain saudaranya Mba Vina.”

Saudara. Nggak salah denger nih kupingku. Atina bilang saudara. Saudara dari mananya. “Memangnya ada kemiripan ya di wajah kami?” tanya Lovina penasaran. Amat penasaran. Beruntung Lovina mendengarnya tidak sedang dalam keadaan minum atau makan.

“Menurut aku sih ada. Heemmm…” Atina diam sesaat.

Lovina memperhatikan Atina yang sedang berusaha mengingat Ivan dan menatapnya. “Yah! Mata kalian berdua. Mata kalian mirip.”

“Mata?! Seriusan? Perasaan nggak mirip deh,” tanya Lovina, dan mencoba mengingat mata Ivan. Ah, tapi Lovina memang tak pernah benar-benar memperhatikannya, karena untuk apa ia melakukannya. Tapi mungkin setelah ini ia akan melakukannya. Mencoba mengusir rasa penasarannya.

 “Ya, menurut aku sih gitu. Makanya aku kira dia itu adik atau saudara jauhnya Mba Vina.”

What!! Tadi mata sekarang adik. Memang sebegitu miripkah mata kita berdua. “Hehe.. Ya nggak lah. Ngomong-ngomong memang kamu bisa lihat ya kalau dia itu lebih muda dari aku?” Lovina penasaran bagaimana jawaban Atina berikutnya. Lovina tahu kalau Atina jarang berkata bohong, walaupun itu hanya untuk menyenangkan hati orang lain.

“Kelihatan banget sih nggak, cuma ya memang sekilas terlihat sih kalau dia tuh pasti di bawah kita umurnya.” Jelas Atina yang berbeda dua tahun dari Lovina.

Atina yang baru sekali melihatnya saja tahu kalau Ivan memang lebih muda darinya. Kenapa tak sedikitpun terlintas di pikiranku. Namun, Lovina memang tak pernah memikirkan itu sebelumnya, dan yang menyedihkan ia memikirkannya setelah tahu kalau ternyata ia memang lebih muda darinya. Setelah rasa itu ada. Rasa yang sebenarnya Lovina masih belum tahu dan yakin, tapi begitu mengganggu.

“Oh…Nggg, dia datang sendirian apa berdua?”

“Kayanya sih berdua, soalnya pas di kasir aku liat dari belakang sepertinya sedang ngobrol gitu sama cewek.”

“Oh, gitu.” Dan Lovina tahu siapa persisnya cewek itu. Pasti Stella.

Percakapan Lovina dengan Atina hanya sampai di situ, karena Atina sudah akan pergi. Kabar yang Lovina dapat barusan ternyata jadi mengganggunya. Pernyataan dari Atina tentunya. Pernyataan itu harusnya menyadarkan Lovina bukan menggangunya. Tapi kenyataanya memang menggangu pikirannya. Tidak hanya itu saja. Lovina tahu ia harus menemukan jawabannya.

Lovina masih belum berani menceritakan kepada Kira dan Vita tentang apa yang ia dengar dari Atina tadi siang. Ia masih belum siap kalau ternyata sahabat-sahabat baiknya pun berpendapat sama seperti Atina. Aku harus mencari jawabannya terlebih dahulu sebelum menceritakannya. Aku memang tak bisa bertemu dengannya. Lalu bagaimana caranya?

Satu-satunya cara untuk mengusir rasa penasarannya adalah dengan menjadi stalker di akun Facebooknya Ivan. Dengan melihat foto-fotonya, Lovina berharap bisa menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Melihat mata Ivan lebih dalam. Menemukan kemiripan itu.

Sudah berberapa postingan foto yang Lovina lihat, tapi ia masih belum menemukan jawabannya karena hampir semua foto-foto Ivan yang Lovina temukan, Ivan sedang menunduk, sedang memainkan gitarnya. Beberapa dari foto-foto Ivan, kebanyakn bersama Stella ketika sedang bernyanyi dan sedang duduk santai. Tak ada foto close up Ivan.

Saat Lovina hampir menemukannya di pencariannya yang jauh, tiba-tiba Kira datang ke kamarnya dan dengan refleks Lovina menutup semuanya. Untung nggak ketahuan. Pikir Lovina. Ia hampir menemukannya foto close up Ivan bersama sesorang tapi tak jelas, karena langsung ditutup.

Lovina memutuskan untuk melanjutkannya besok siang, sebelum perkulihan sore dimulai karena Kira bertamu cukup lama di kamarnya. Tak mungkin ia mengusirnya, dan lagian Lovina sudah menutup jendela browsernya. Lovina harus memulainya lagi dari awal.

Mungkin sebaiknya besok. Pikirnya.

 

***

 

Setiap hari Jum’at, Lovina bisa pulang kerja lebih cepat dari biasanya karena waktu belajar anak-anak hanya sampai jam sebelas saja.

“Mbak Vina habis ini ada acara nggak?’ tanya Alfiona saat mereka berdua sedang membereskan bangku-bangku di kelas. Merapikannya seperti sebelum pelajaran dimulai.

Semenjak Alfiona tahu kalau ternyata Lovina lebih tua darinya, Alfiona selalu memanggil Lovina dengan imbuhan ‘mbak’ di depan namanya. Padahal sudah diperbolehkan hanya memanggil nama saja, tapi tak pernah dituruti dengan alasan bisa lebih menghormati Lovina yang lebih tua dan karena dia juga memang anak semata wayang dikeluarganya.

Alfiona tinggal bersama paman dan bibinya. Alfiona menganggap Lovina seperti kakaknya sendiri. Itulah kenapa saat kesan pertama Lovina bertemu dengan Alfiona sudah merasa cocok. Alfiona tipe orang yang menyenangkan.

Lihat selengkapnya