Perkuliahan hari Sabtu berakhir pada pukul tiga lebih tigapuluh menit. Lovina merasa senang karena akan bisa menyaksikan event pertadingan badminton. Ia bersyukur karena dengan adanya event tersebut bisa mengobati kesedihannya. Memberikan semangat untuk menghadapi semuanya.
“Langsung ke stadion kan apa balik kosan dulu?” tanya Lovina pada Kira yang terlihat kini hanya diam, serius dengan handphone-nya.
“Vin… sorry banget hari ini nggak bisa nonton. Barusan mendadak dapat kabar kalau Ari hari ini pulang dan cuma beberapa hari di Indonesia.”
“Kok bisa tiba-tiba gitu. Biasanya kasih kabar dulu.” Sedikit kecewa dirasakan Lovina, bukan karena Kira akan ketemu cowoknya tapi karena itu berarti kurang personil buat ngelive badmintonnya.
“Tau tuh mau bikin surprise katanya. Tapi besok siang juga aku balik lagi kesini. Nggak mau melewatkan finalnya. Sekalian aku ajak Ari juga, nanti aku kenalin ke kamu. Tapi kamu nggak apa-apakan kalau hari ini aku nggak ikut? Sorry banget ya, Vin.”
Cowoknya Kira yang juga tunangannya bekerja di luar negeri, tepatnya di Negara Malaysia. Mereka berdua sudah dijodohkan oleh orangtuanya sejak kecil, tapi baru dipertemukan saat Kira baru masuk SMA sedangkan Ari baru saja menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah. Keduanya memang berbeda lima tahun, tapi biar begitu Kira merasa nyaman menjalin hubungan dengan Ari walau karena perjodohan orang tuanya.
Bagi Kira yang penting adalah ridho dan restu dari orang tuanya juga orang yang menyayanginya. Itu sudah lebih dari cukup untuk sekedar memulai hubungan yang nantinya akan menuju ke jenjang yang serius. Begitupun dengan Ari, apalagi dalam memilih pasangan hidup yang orang tuanya pasti lebih memikirkan yang terbaik buat dirinya. Bagi mereka berdua, kalau masalah suka atau cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan itu sudah dibuktikannya dengan saling mengenal satu sama lain benih-benih cintapun akhirnya tumbuh juga.
Kira memang beruntung bisa mendapatkan seseorang yang tidak hanya bisa membahagiakannya tapi juga bisa menjamin masa depannya kelak, serta bisa mengerti bagaimana sifatnya.
“Iya nggak apa, walaupun agak sedih sih pasti nanti nggak seru kalau nggak ada patner pencinta badmintonnya. Nggak bisa teriak lepas. Kalau nanti aku ajak Vita paling ia cuma ngelihatin pemain cowok yang cakepnnya aja. Ia kan bukan Badminton Lovers kaya kita berdua.”
“Iya sih, waktu kemarin nonton sama aku juga gitu. Awalnya sih biasa saja tuh, nggak terlalu antusias. Tapi setelah lihat Kevin yang mukanya imut gitu, katanya. Baru ia mulai heboh. Tapi nggak apa-apa sih, dari pada nggak ada temennya.”
“Ya, bener banget. Hehe”
“Ya sudah aku pergi duluan ya. He is waiting for me.”
“Ok….. bye… have nice day!”
Sosok Kira kini menghilang meninggalkan Lovina sendirian di kampus. Lovina duduk teriam menggungu kedatangan Vita. Tapi yang ditunggu malah tak muncul. Hanya pesan darinya yang muncul. Betapa kecewanya Lovina saat membaca isi pesan itu. Kenyataan bahwa Vita tidak bisa ikut nonton pertandingan badminton karena harus mengurus keperluan untuk Mading kampus yang bakal di update Senin besok. Walau sudah semester tujuh Vita masih suka ikut dalam urusan Mading karena ia amat menyukai kegiatan itu.
Kekecewaan menemani langkah Lovina meninggalkan kampus. Dengan muka sedih ia berjalan setapak demi setapak menuju halte yang ada di depan kampus, membayangkan betapa hampanya dan betapa tidak serunya menonton pertandingan badminton tanpa teman. Walaupun Lovina tahu di stadion nanti ada banyak orang, tapi tanpa teman yang dikenal rasanya begitu hambar. Apa mau dikata, di saat Lovina ada waktu untuk menyaksikan pertandingan itu sahabat-sahabatnya malah sibuk.
Tak mengapa walau sendiri, yang penting rasa penasaran melihat para atlet-atlet badminton jagoanku terbayar sudah sekaligus menyaksikan moment di mana mereka bermain di lapangan dan juga bisa mengobati rasa sedihku. Aku ingin teriak lepas. Mengeluarkan segalanya. Melupakan kesedihanku.
Hampir semua yang datang bersama dengan banyak teman-temannya, tapi Lovina hanya sendiri. Ia terus berjalan menuju stadion itu. Tapi tak mengapa, ia tak peduli. Yang penting baginya saat itu bisa melihat secara langsung atlet-atlet idolanya bermain di lapangan. Melihat langsung pertandingan badminton.
Melihat antrian yang begitu panjang itu, secepatnya Lovina bergabung mengantri agar tak kehabisan tiket. Dalam hati Lovina berdoa, berharap masih memperoleh tempat yang nyaman untuk nonton. Tapi betapa terkejutnya saat ia mendengar suara orang di depan antriannya yang dengan cepat bisa ditangkap oleh indra pengdengarnya.
“APAAA! Tiketnya habis?!” Suara orang yang berada urutan kedua di depannya terdengar jelas.
“Yaaah, gimana dong, padahal sudah datang jauh-jauh,” ucap salah seorang itu.
“Haduuuh, aku kira hari ini sama kaya kemarin-kemarin. Tanpa tiket masuk bisa nonton. Makanya aku datang sore saja karena kemarin nunggu sampai malam baru bisa lihat atlet badminton nasional yang senior. Eh, sekarang malah nggak bisa masuk. Padahal sudah ngantri lama,” gerutu seseorang yang ada di belakang Lovina yang kemudian mulai keluar dari barisan. Begitupun dengan Lovina, keluar dari barisan dengan wajah kecewa. Lengkap sudah, tanpa teman dan tanpa tiket masuk di tangan.
Pertandingan semi final itu tidak menyediakan televisi di luar stadion, yang bisa dilihat oleh orang-orang yang kehabisan tiket. Lain halnya ketika pertandingan final dan arena ini bukan ajang kejuaraan begengsi jadi tidak disiarkan oleh TV nasioanl. Hanya disiarkan oleh TV yang berbayar saja.
“Tidak ada yang bisa aku lakukan di luar stadion ini. Lebih baik aku pulang saja. Pulang membawa kekecewaan. Mungkin hari ini bukan hari keberuntunganku. Besok aku harus lebih awal biar tidak kehabisan tiket lagi,” batin Lovina. Di saat itu handphonenya berdering, nama Kira muncul di layar.
“Gimana Vin, sudah di dalam stadion kan? Seru nggak? Vita nggak bikin sesuatu yang aneh kan?” Kira langsung bersuara dengan serentetan pertanyaan sekaligus, seketika Lovina menjawab panggilan masuk itu.
“Seru apanya? Aku malah nggak bisa masuk gara-gara kehabisan tiket dan Vita pun tak bisa ikut karena ada urusan di kampus. Lengkap sudahlah semuanya,” gerutu Lovina dengan nada penuh kekecewaan seakan ia kalah dalam lotre.
“What! Kehabisan tiket? Kemarin-kemarin pas aku lihat nggak pakai tiket masuk. Berarti kamu sendirian dong?”
“Sendirian sih nggak, ada banyak banget kok orang di sini. Tapi orang yang nggak aku kenal. Aku bersama dengan orang yang senasib denganku, sama-sama kecewa karena kehabisan tiket. Mungkin karena ini semi final jadi ada tiket masuknya.”
“Berarti besok harus dateng lebih awal nih biar nggak kehabisan tiket.”
“Ya! Harus itu!” ucap Lovina dengan semangat, tak mau melewatkan kesempatan yang sudah ada di depan mata.
“Siip, nanti besok aku kabari lagi. Kalau aku nggak bisa datang awal, aku nitip tiketnya dulu ya. Awas dua tiket loh ya jangan lupa!” ucap Kira setengah mengancam untuk mengingatkan.
“Huuuh! Dasar ya. Ok, lah! Demi melihat atlet-atlet badminton aku pasti bisa dapetin tiketnya besok.”
“Siiip! Harus ada pengorbanan. Ok! Hati-hati pulangnya Mbak Lovinaku sayang.”
“Iyee! Adeku sayang, huuu!” Kalimat terakhir sebelum sambungan itu terputus.
Tanpa Lovina sadari saat ia melangkahkan kaki, ada seseorang yang tak asing baginya. Seseorang itu berjalan bersama orang-orang yang asing baginya.
“Vin, mau nonton juga ya. Kok nggak masuk?” tanya Ivan saat mereka berpapasan di depan pintu masuk utama untuk para pemain.
“Iya nih, tapi kehabisan tiket. Jadi mau nggak mau pulang lagi.”
“Eh, kebetulan sekali. Gue masih ada satu tiket nih. Tadinya punya teman gue, cuma mendadak dia nggak bisa ikut gara-gara ada keperluan.”
Mendengar masih ada satu tiket, Lovina seolah mendapat air di saat ia sedang kehausan. Betapa tidak, ia sangat menginginkan itu. Dan ternyata sesorang memberikan kabar baik itu. Tiket masuk untuk melihat pertandingan semi final badminton, yang beberapa menit yang lalu membuatnya kecewa karena tak bisa mendapatkannya. Tapi sekarang tiket itu ada. Kesempatan itu datang dari suatu kebetulan. Kebetulan lagi.
“Serius,Van!” ucap Lovina dengan wajah sumringah. Ia enggak perduli tentang reaksi Ivan melihat wajahnya. Yang penting baginya saat itu adalah mendapatkan tiket masuk nonton pertandingan Kejurnas Badminton.
“Iya, dari pada nggak kepakai kan sayang. Ini.” Ivan lalu menyerahkan selembar kertas kecil yang mempunyai ukuran panjang kali lebar.
“Oh iya, kenalin ini teman-teman gue. Eko, Andre, Ino, Riyan.”
“Lovina,” ucap gadis itu mengenalkan namanya kepada mereka.
“Yuuk, masuk!” ajak Ivan pada semuanya.
Mereka semua pun berjalan menuju ke dalam stadion. Hari itu Lovina bener-benar enggak sadar kalau ternyata ia berada di sekeliling cowok-cowok yang sebelumya tak pernah dikenalnya. Dan bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu, kecuali Ivan yang sudah dikenalnya lebih dulu. Itu pun baru beberapa bulan yang lalu.
Lovina begitu bahagia karena akhirnya bisa mendapatkan tiket itu. Ia hampir lupa kalau semalaman ia melewati malam itu dengan menangis, pun tadi pagi yang mirip adegan drama. Kini, yang ia pikirkan hanyalah betapa senangnya berada di stadion sekarang. Akhirnya ia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri. Melihat atlet-atlet badminton nasional yang biasanya hanya bisa dilihatnya di TV, tapi kini bisa ia lihat langsung.
Tantowi Ahmad, Kevin Sanjaya, Angga Pratama, Liliyana Natsir, Vita Marisa, Hayom Rumbaka dan Markis Kido. Merekalah yang sekarang bisa dilihat Lovina di dalam stadion itu. Ada yang sedang duduk di payer area dan ada pula yang sedang bermain di lapangan. Walau ia sedikit kecewa karena tak menemukan sosok Ahsan dan Hendra juga Greysia Polli. Tapi masih ada hari esok.
Semangat Lovina menggelegar bersama semua penonton yang ada di dalam stadion. Walaupun ia cewek tapi tak kalah semangatnya dengan teman-temannya Ivan yang semuanya cowok.
Selama beberapa jam lamanya mereka berada di stadion. Tak terasa sudah hampir petang. Dalam kesenganan terkadang kita lupa waktu. Pepatah kuno itu memang benar. Gara-gara terlalu semangat sampai lupa kalau sudah hampir petang. Baru tahu setelah keluar dari stadion, ternayata waktu sudah menunjukan pukul 18.30 wib.
“Lo pulangnya dijemput apa pulang sendiri?” tanya Ivan saat mereka semua keluar dari stadion.
“Sendiri. Paling nanti naik angkot.”
“Oh ya sudah, nanti gue anterin saja.”
“Ga usah lah, nggak enak sama temen-temen kamu. Paling nanti aku ikut sampai depan saja. Biar aku ke sana naik angkot. Lagian juga dekat sama tempat kosanku.”
“Nggak apa-apa. Lagian juga sudah malam, terus lo tadi bilang dekat berarti cuma sebentar kan?”
“Ya. Nggak apa-apa Vin. Lagian lo kan cewek sendirian. Kita sih nyantai saja, ya kan guys?” ucap Eko.
“Ya Vin, nyantai saja. Nggak perlu ngerasa nggak enak gitu,” sambung Andre.
“Tuh kan teman-teman gue saja bilang nggak apa-apa.”
Lovina nggak bisa menolaknya dengan alasan lain. “Ya sudah. By the way thanks ya,” ucap Lovina pada semuanya.
“Ok. Kita semua cabut duluan ya Van, Vin,” ucap Ino diikuti yang lainnya
“Sampai ketemu di tempat biasa ya Van,” ucap Riyan.
“Siip!” Ivan mengcungkan dua ibu jarinya.
Lovina yang biasanya canggung kalau bareng orang yang baru dikenalnya. Jangankan ngomong, paling cuma senyum yang keluar darinya, tapi kali ini enggak. Semua itu karena efek nonton bareng badminton. Sama-sama menyatukan semangat dengan teriakan yang WOOOOWWW. Jadi, rasa canggung itu hilang. Badminton, memang selalu bikin seru. Badminton, I’m in love with you.
“Van, thanks ya buat hari ini. Terutama buat tiketnya,” ucap Lovina saat motor yang dikendarai Ivan sampai dengan selamat di tempat indekosnya. Dan ini untuk yang kedua kalinya Ivan mengantarkan Lovina pulang.
“Iya sama-sama. Kebetulan juga kan ketemu dan kebetulan juga lo nggak dapat tiket.”
“Dan kebetulan juga teman kamu yang punya tiket ini nggak bisa datang. Semuanya serba kebetulan,” sambung Lovina kemudian, disusul tawa mereka berdua.
Semuanya memang serba kebetulan. Bahkan pertemuan pertama aku dan Ivan pun karena kebetulan. Sungguh kebetulan yang sering terjadi. Pikir Lovina.
“Terlalu banyak sekali kebetulannya. Apa itu bisa jadi takdir?” ucap Ivan dengan nada menggoda.
Lovina terdiam. Tak berani menjawab pertanyaan Ivan. “By the way….itu gimana kamu bisa dapetin tiketnya Van?” tanya Lovina penasaran karena ia lebih dulu datang. Hanya itu yang akhirnya bisa keluar dari mulutnya. Tak mau terhanyut dalam pertanyaan Ivan tentang takdir akan pertemuan mereka.
“Oh. Itu sih nitip dari teman gue yang punya kenalan di tempat itu. Ia stand by terus di sana.”
“Oh, pantesan bisa dapat tiket. Berarti besok juga pakai sistem nitip lagi dong?”
“Iya. Mau sekalian?”
“Iya. Boleh kalau bisa?” ucap Lovina spontan tanpa pikir panjang. Dari pada nanti kehabisan tiket lagi.
“Siip. Berapa orang?