Waktu telah membuat Lovina memahami semuanya. Waktu yang mempertemukannya dengan Fandika kembali. Waktu yang telah mempertemukannya dengan orang yang sudah menggantikan tempatnya di hati Fandika. Waktu juga yang mempertemukannya dengan teman-teman yang menyayanginya dan waktu juga yang mempertemukannya dengan Ivan.
Semenjak kejadian nonton bareng badminton, Lovina dan Ivan menjadi semakin dekat. Mereka bahkan pernah bela-belain berada di kampus sampai malam hanya untuk streaming pertandingan badminton. Memanfaatkan wifi yang ada di kampus. Di luar itu mereka juga sering membahas apapun yang berkaitan dengan badminton. Kedekatan Lovina dan Ivan kini membuat gadis itu sadar, bahwa Ivan turut serta dalam membantunya keluar dari kesedihan. Ivan mampu membantunya melupakan Fandika. Melupakan rasa sakit yang Lovina rasakan. Bukan hanya itu, tanpa Lovina minta rasa kagumnya pada Ivan kini perlahan-lahan mulai menghilang. Ia bisa merasakannya. Tapi pada kenyataannya, rasa itu tak pernah hilang hanya berubah.
“Sorry, Vin. Aku telat, tadi mendadak ada urusan di kampus.” Ivan datang ke kosan 15 menit lebih dari waktu janjian. Hari ini Lovina enggak ada jadwal kuliah jadilah ia menunggu Ivan di kosan setelah pulang kerja.
“Iya, nggak apa-apa. Kan tadi kamu sudah kasih tahu aku kalau mau datang telat.”
“Iya, juga sih ya. Yuuk!”
Untuk ke sekian kalinya ia pergi berdua dengan Ivan. Kali ini Ivan mengajaknya ke GOR yang ada di daerah Pemuda. Ivan mengajaknya bermain badminton. Kira nggak bisa ikut, jadilah mereka hanya pergi berdua. Tapi Lovina tahu Kira sengaja enggak ikut karena ingin membiarkannya berdua dengan Ivan. Terlebih setelah seringnya melihat kedekatannya dan Ivan.
Hanya satu jam mereka bermain badminton. Satu jam yang cukup melelahkan dan menyenangkan. Mereka berdua benar-benar menikmatinya, walau kadang banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan Lovina karena ia memang jarang sekali bermain badminton, lebih sering melihat pertandingannya.
Meninggalkan GOR Pemuda, mereka mengabiskan waktu sebentar di Mall yang ada di daerah Cipto. Tanpa diduga mereka bertemu dengan orang yang tak pernah disangka Lovina sebelumya.
“Kak Dira!” sapa seorang anak kecil mendekati Ivan saat mereka bertemu di depan food court. Anak kecil itu datang bersama dua orang tua di belakangnya. Anak kecil yang seusia dengan anak-anak yang ada di TK Mentari tenpat Lovina kerja.
“Hi, sayang. Kamu habis beli apa?”
Lovina sedikit kaget mendengar anak kecil itu memanggil nama Ivan dnegan sebutan Dira. Lalu ia teringat akan ucapan Alfiona. Bahwa Ivan juga punya nama panggilan Dira, dari nama panjangnya Andira.
“Aku punya teman baru, Kak,” ucap anak itu menunjukan boneka yang ada di tangannya. “Kak Dira sama siapa? Ko bukan sama Kak Stella?”
Kok ia tahu Stella. Anak kecil ini siapa ya? Dan siapa juga orang yang datang bersamanya.
“Nggak, ini namanya Kak Lovina. Ayo, kenalan sama Kak Lovina.”
“Hi, Kak Lovina. Namaku Gryta.” Anak kecil itu mengenalkan dirinya dengan senang hati. Tersenyum senang.
“Hi, Gryta. Senang betemu denganmu. Nama yang indah. Seindah mutiara.”
“Kakak juga, cantik. Seperti Kak Stella. Nanti maen ke rumah ya, Kak. Aku kenalin sama teman-teman aku.”
“Iya, sayang,” Kenapa harus menyebut Stella lagi. Memangnya mereka apanya Stella. Apa mungkin keluarganya Stella?
Sementara Lovina dan Gryta berkenalan, orang yang datang bersama anak kecil itu hanya tersenyum melihat kelakuan Gryta.
“Kok, tumben nggak bareng Stella?”
“Iya, Ma. Tadi Dira habis main badminton. Kalau Stella kan nggak suka main badminton jadi nggak ikut. Oh iya, kenalin Ma, Pa. Ini Lovina, teman aku. Vin, mereka berdua Mama sama Papa aku, dan yang ini adikku.”
Lovina kaget mendengar perkataan Ivan. Ternyata aku salah. Aku kira mereka keluarganya Stella. Ia merasa sedikit deg-degan saat bersalaman dengan kedua orang tua Ivan. Di sisi lain, ia juga merasa heran dengan kedekatan Stella dengan keluarga Ivan. Sampai adik dan orang tuanya juga tahu dengan Stella. Berarti…. ada yang aku belum tahu. Rasanya aku ingin menghilang saja kalau apa yang aku pikirkan itu ternyata benar.
“Ya sudah, Mama sama Papa pergi dulu ya, Van. Kalian berdua pada mau makan kan?”
“Iya, Ma, Pa”
“Kami berdua duluan ya, Lovina.”
“Iya, Tante, Om. Hati-hati di jalan.” Lovina berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Dada, Kak Dira. Dada, Kak Lovina.”
“Dadaaa, Gryta, sayang!” Ivan dan Lovina kompak mengucapkannya.
Dalam hati Lovina bersyukur, kejadian itu tak berlangsung lama. Yang berarti ia tak akan merasa cangggung.
Mereka memilih menu makanan dan tempat duduk yang tak jauh dari pintu masuk.
Lovina memain-mainkan pengaduk minuman bersamaan dengan begitu banyak rasa penasaran yang sedang dirasakannya, terutama setelah pertemuan tak terduga antara ia dan kedua orang tua Ivan. “Van, boleh nanya sesuatu nggak?” Ia memberanikan diri mengusir rasa penasaran yang ada di kepalanya selama ini.
“Boleh. Mau nanya apaan? Kayanya serius banget.”
“Tapi kamu jangan salah sangka dulu ya”
“Iya. Ada apaan sih? Jadi penasaran?”
“Hmmm…mmm.. Kamu sama Stella kayanya sudah deket banget ya, sampai kedua orang tua kamu dan adik kamu juga kenal sama dia. Aku jadi ngerasa nggak enak, tadi. Aku pikir itu orang tuanya Stella.” Pertanyaan yang dari dulu membuatnya penasaran akhirnya keluar dari mulut gadis itu walau dengan susah payah ia mengeluarkan itu. Rasa penasarannya tentang hubungan antara Stella dan Ivan.
Semoga Ivan nggak salah sangka. Toh kan tadi aku bilangnya karena kukira itu orang tuanya Stella. Wajar dong, namanya orang tua pasti menanyakan sesuatu ketika itu tidak biasa, apalagi kalau ada hubungannya dengan anaknya.