Ada yang kurang. Lovina merasa ada yang tidak beres dengan Alfiona, karena tak biasanya rekannya itu tak masuk kerja. Apa sudah terjadi sesuatu dengannya. Pesan yang dikirimkannya tak dibalas oleh Alfiona.
Sudah dua hari ini Alfiona tak kelihatan batang hidungnya. Dia tak masuk lagi. Dia hanya memberitahukan kepada pihak yayasan kalau sedang ada keperluan jadi tidak dapat masuk. Lovina merasa khawatir.
“Aku akan menelefonnya nanti. Sekedar memastikan kalau dia baik-baik saja.”
“Hallo, Al!” sapa Lovina saat panggilannya ternyata terhubung.
“Iya, Mba?”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Iya, Mba. Aku baik-baik saja. Maaf kemarin nggak sempat membalas pesan dari Mba Vina, soalnya aku sibuk banget. Tapi besok juga sudah masuk kerja lagi kok, Mba.”
“Oh. Pasti sibuk sama tugas kuliah ya?”
“Iya, itu salah satunya Mba. Sama sibuk ngurus persiapan pernikahan aku, Mba. Baru persipan undangan sama rencana dekorasi aja sih.”
“Oh. Gitu ya. Selamat ya, Al. Kapan acaranya, pasti sudah deket ya?”
“Thanks, Mba. Bulan depan, Mba. Seminggu setelah tahun baru.”
“Oh, ya sudah. Takut kamu masih sibuk.”
“Iya, Mba. Sekali lagi thanks ya.”
Syukurlah, ternyata dia baik-baik saja.
***
Akhir tahun sudah tinggal hitungan hari lagi. Januari sudah ada di depan mata. Pernikahan Fandika dan Alfiona tidak akan lama lagi. Hanya dalam hitungan minggu.
Mata Lovina terpaku pada layar handphone nya, 26 Desember 2015 terlihat jelas. Anggka itu seolah berbicara dan mengingatkannya, bahwa sebentar lagi dirinya akan menlihat pernikahan seseorang dari masa lalunya dengan seseorang di masa sekarang yang telah dikenalnya. Hari ini, Lovina akan bertemu dengan mereka lagi, setelah beberapa menit yang lalu ia mengiyakan permintaan Alfiona untuk datang menemui mereka.
“Kamu yakin, bisa pergi sendirian? Kalau kamu mau aku akan menemanimu dan membatalkan kepulanganku.” Kira menawarkan dirinya untuk menemani Lovina bertemu dengan Fandika dan Alfiona. Kira hanya tidak ingin melihat sahabatnya melalui saat yang menyakitkan itu lagi sendirian.
“Nggak usah, kamu pulang saja. Lagian kamu udah lama kan nggak pulang, nanti orang tua kamu khawatir. Kamu kan sudah janji mau pulang.”
“Nggak apa-apa, Vin. Aku tinggal bilang ke orang tuaku kalau aku nggak jadi pulang, mereka juga pasti mengerti kok. Aku masih bisa pulang minggu depannya lagi.”
“Beneran, kok. Nggak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Lagian juga kan bentar lagi mereka mau menikah. Masa iya aku masih berlarut-larut dalam kesediahan. Aku sudah ikhlas kok. Waktu itu aku hanya syok saja, karena kan udah lama banget nggak ketemu, dan tiba-tiba saja ketemu dalam kondisi yang nggak pernah aku bayangkan,” jelas Lovina kepada Kira. Meyakinkan sahabatnya, kalau kekhawatirannya tidak perlu berlebihan. Walau Lovina tahu bagaimana rasanya nanti, namun dia akan belajar menerima kenyataan, dengan melihatnya langsung.
Memang tidak ada yang lebih menyakitkan daripada bertemu lagi dengan mantan setelah sekian lama. Terlebih lagi bersama dengan tunangannya. Dan yang lebih menyakitkan ternyata tunangannya adalah orang yang kita kenal dan status mantan itu adalah status perubahan yang terpaksa dirubah oleh kedua belah pihak.
“Beneran ya, Vin? Nggak apa-apa sendirian? Vita juga udah balik, nanti malam kamu sendirian lagi di kosan.”
“Kira, beneran kok. Tenang saja, aku pasti akan baik-baik saja. Kalau aku ada apa-apa, nanti malam aku pasti ngabarin kamu.”
“Awas loh, ya. Kalau kaya waktu itu lagi!” ucap Kira setengah mengancam Lovina. Mengingatkan kejadian malam itu ketika Lovina hanya memendam semuanya sendiri.
“Iya, nggak percayaan banget sih!”
“Ya udah, kalau gitu aku langsung balik, ya. Mau ke kosan dulu. Kamu langsung ke tempatnya kan?”
“Iya. Hati-hati ya, Ra!”
“Awas ya, Vin. Kalau nggak ngabarin!” Tegas Kira lagi, lalu melambaikan tangan.
“Iya, bawel!” Lovina tersenyum melihat kelakuan Kira barusan dan membalas lambaian tanganya. Ia merasa beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang baik.
Sementara Lovina bersiap-siap membereskan tasnya dan lalu berjalan menuju ke luar gerbang utama untuk menunggu kendaraan umun, di saat yang bersamaan juga, setelah Kira mejauh dari tempat Lovina berada, Kira lalu mengambil handphone dari dalam tasnya dan menelfon seseorang. Kira hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, walaupun dirinya tidak ada di dekat Lovina. Demi memastikan keadaan sahabatnya itu baik-baik saja. Kira tau orang yang akan dihubunginya ada di kampus, karena memang sengaja datang untuk Lovina tanpa gadis itu tahu. Tanpa sepengetahuan Lovina juga, Kira dan Ivan sering berbuhungan lewat chat ataupun telefon, dengan Lovina yang menjadi topik pembicaraanya.
Tanpa Lovina duga setelah sepuluh menit menunggu angkot yang tak kunjung datang, seseorang datang menawarkan tumpanganya. Seseorang yang tak disangkanya datang di saat yang tepat.
“Vin, sepertinya lagi buru-buru. Mau aku anterin?”
“Mmmm, boleh deh kalau nggak ngerepotin.”
“Nggak lah, nggak ada yang ngerepotin buat kamu.”
Kata-kata Ivan itu yang langsung terdengar berbeda di telinga Lovina.
Beruntung nggak ada orang lain di dekat kami. Aku nggak tahu apakah ia serius atau hanya bercanda ngomong begitu. Batin Lovina
“Kok, diem. Ayo naik!” ucap Ivan lagi begitu mendapati Lovina yang diam dan terpaku.
“Iya, ke Grage ya, Van!” ucap Lovina lalu segera duduk di belakang. “Nanti turunin depan jalan aja ya, biar kamu nggak usah masuk,” sambung Lovina setelah kendaraan roda dua yang mereka tumpangi mulai melaju.
“Nggak, apa-apa sekalian aku mau ke Gramedia.”
“Oh.”
Mereka berdua sampai di tempat tujuan dalam waktu 20 menit. Karena tujuan mereka berdua searah, Lovina memutuskan untuk menunggu Ivan dan berjalan bersamanya.
“Kamu mau kemana, Vin?”
“Mau ke ketemu teman di food court.”
“Temen apa temen?”
“Maksudnya?” tanya Lovina pura-pura tak mengerti. “Teman, kok. Teman kerjaku. Dia cewek.”
Duh, kenapa aku jadi detail gini jawabnya. Ah….
“Oh, kirain.”
“Kirain kenapa?” tanya Lovina iseng. Sudah kepalang tanggung ngomongnya.
“Nggak apa-apa. Kirain laki-laki.”
Lovina langsung menatap ke arah Ivan, sesaat setelah kata-kata itu keluar dari mulut Ivan. Ivan juga refleks menoleh ke Lovina. Dan saat itu mata mereka bertemu. Entah kenapa, seperti ada perasaan yang diam-diam menyusup. Perasaan yang sama ketika dulu aku sedang bertatapan mata dengan Ifan.
“Thanks ya, Van. Aku duluan!” ucap Lovina lalu berjalan menuju lantai tiga di mana food court berada. Sementara Ivan berjalan menuju Gramedia.
Lovina menemukan tempat yang harus dia datangi hanya dengan melihat siapa yang melambai kearahnya. Fandika memberikan kode itu. Lovina semakin yakin kalau apa yang akan dibicarakan ada hubungannya dengan dirinya.
Tapi kok hanya Ifan yang ada di situ, kemana Alfiona?
“Terima kasih sudah mau datang. Ovi, mau pesan apa?”