Kepergian Alfiona dan Fandika menyisahkan Lovina dan Ivan yang sama-sama masih merasa terkejut dengan apa yang baru saja didengar oleh keduanya.
“Jadi ternyata aku sama kamu tuh, secara nggak langsung sama-sama jadi korban persatuan mereka ya. Sungguh, aku tak pernah menyangka semua ini,” ucap Lovina masih setengah syok dan refleks terduduk, sampai kata korban begitu mudah keluar dari mulutnya seakan-akan menjadi orang yang menderita. Walau memang sudah menderita karenanya. Dulu.
“Ya, nggak nyangka ya. Walau mungkin hubungan aku dan Alfiona dulu nggak seserius kamu dan Abang.” Sengaja Ivan mengaitkan itu, karena dia ingin mengetahui masa lalu Lovina. Terlebih setelah dia mendengar dari Alfiona bahwa Lovina punya hubungan yang katanya serius dengan seseorang yang kini sudah menjadi milik orang lain. Ivan bisa mengerti bagaimana rasaya kehilangan orang yang sudah lama dicintainya. Ivan sudah pernah ada di posisi Lovina. “Aku tahu bagaimana rasanya ada di posisi kamu, it happened to me.” sambung Ivan yang kemudian ikut duduk di samping Lovina dengan posisi tak saling berhadapan. Menatap ke arah jalanan.
“Bagaimana kamu bisa tahu rasanya, bukannya kamu bilang kalian berdua nggak serius?”
“Bukan. Bukan dengan Alfiona. Tapi dengan Via. Ingat dia kan? Anak dari boss tempat kamu kerja dulu,” jelas Ivan yang kemudian membuat Lovina mengingat banyak hal.
Mengingat perkataan Ivan barusan membuat Lovina teringat akan anak dari pemilik tempat kerjanya dulu. Via yang namanya terpapang jelas di dalam dan di luar tempat kerjanya dulu. Tempat yang begitu berarti dan berperan penting dalam kelangsungan hidupnya selama hidup dalam perantauan. Via yang tak lain adalah nama panggilan dari Viantika. Via yang menjadi anak pemilik Viantika Book Café. Via yang dulu punya tempat di hati Ivan. Via yang kalau datang ke tempat kerjanya selalu bersama Ivan. Ivan yang dipanggilnya Dira.
Lovina mulai mengingat dengan jelas masa-masa itu. Masa-masa di mana sebenarnya ia sudah begitu dekat Ivan. Namun, ia tak benar-benar mengenalnya karena dirinya kala itu masih bekerja di dapur. Hanya sesekali dia melihat Ivan datang ke tempat kerjanya dulu bersama Via. Iya, karena memang Via jarang datang ke tempat itu.
“Vin, kok diam?”
“Nggak nyangka aja. Ternyata dunia itu sempit banget, ya. Sebelumya kita memang sudah pernah bertemu ya walau kita sama-sama tak pernah menyadari hal itu,” jelas Lovina ketika ia sudah berhasil mengingat dan menyadari semuanya. Membuatnya semakin yakin akan perasaanya pada Ivan. Namun, masih ada yang mengganjal.
“Tapi, aku sudah menyadarinya semenjak aku bertemu kamu lagi di tempat kerja kamu dulu. Semenjak kejadian kamu di jalan, aku pun sebenarnya merasa tidak asing dengan kamu, hanya saja aku tidak benar-benar bisa mengingatnya. Mungkin karena sudah lama tidak pernah bertemu. Karena semenjak aku dan Via tidak punya hubungan dekat lagi, rasanya sakit aja kalau aku harus datang ke tempat kerja kamu yang dulu itu. Itu hanya akan mengingatkanku dengan Via. Seseorang yang sudah tidak mungkin lagi aku bisa bersamanya,” jelas Ivan panjang lebar, yang kemudian membuat Lovina merasa mereka berdua seperti berada di zona nyaman mereka. Tentang hubungan, perasaan, masa lalu, dan masa kini.
“Lalu yang waktu itu kamu ketemu aku di toko buku?”
“Iya, itu adalah pertama kalinya aku mulai berani menginjakan kaki ke situ. Stella yang memaksaku. Lebih kepada menjebakku sih sebenarnya. Stella ingin agar aku berani menghadapi kenyataan yang ada. Agar aku tidak harus berlarut-larut dengan masa laluku dengan Via.”
Mendengar pernyataan Ivan tersebut membuat Lovina tahu kalau dia tidak sendiri. Ada orang lain yang dikenalnya yang juga merasakan sakit akan kehilangan. Dan orang lain itu ternyata adalah orang yang dekat dengannya.
“Jadi Stella tau semua itu juga?” Tanya Lovina penasaran. Karena Ivan menyebutkan nama Stella. Seseorang yang sempat mengusik pikiranya.
“Tau lah, kan sudah ku bilang waktu itu. Stella itu temen dari sebelum kita kuliah. Stella tau bagaimana aku dulu, termasuk hubunganku dengan Via.”
“Termasuk kenyataan bahwa Stella punya perasaan kepada kamu?” Tanpa sadar Lovina meluncurkan pertanyaan itu.
“Tau dari mana kamu, Vin? Pasti dari Vita, ya?” Tanya Ivan terkejut dan kemudian mengubah posisi duduknya, menghadap ke Lovina, sementara Lovina masih tetap dengan posisi duduknya.
“Bisa jadi iya, bisa nggak.”
“Nggaknya kenapa?”
“Ya, ya, aku ini perempuan loh. Tau aja kalau perempuan punya perasaan terhadap lawan jenisnya,” jelas Lovina malu-malu. Karena itu juga yang kini tengah dirasakannya.
“Gitu, ya. Mudah banget terlihat berarti.” Ivan tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari Lovina. Karena Lovina tetap dengan posisi duduknya dan enggan menatap lawan bicaranya, ia tak menyadari kalau Ivan tak berhenti menatapnya.
Ivan bisa membaca gelagat Lovina. Kalau sebenarnya Lovina sedang berusaha mengorek dengan jelas hubungan kedekatannya dengan Stella. Lovina ingin memastikan itu. Usaha Ivan untuk mengetahui hubungan masa lalu Lovina dengan Fandika belum berhasil. Malah Lovina kini mengetahui kisah di masa lalunya.
Ivan merasa kembali ke masa-masa itu. Masa di mana dia dan Via dulu berbincang di tempat yang sama, di dekat tempat parkir. Hanya saja sekarang posisinya sedang sama-sama duduk, bukan berjalan bersama seperti dulu. Namun, sama-sama membahas tentang Stella dengan topik yang sama, perasaan. Dan kali ini dia membahasnya dengan seseorang yang dipanggilnya Vina.