“Gimana kalau kita bersatu. Kita buktikan kepada mereka kalau kita bisa lebih bahagia dari mereka. Kita bukan korban yang menderita karena mereka. Gimana kalau kita jadian?”
Kata-kata Ivan masih teringat jelas di pikiran Lovina. Kata-kata yang membuatnya tak bisa tidur. Lovina belum bisa menceritakan apa yang terjadi kepada Kira dan Vita. Terutama percakapannya dengan Ivan. Baginya itu terlalu cepat dan mengejutkan, ditambah saat mengetahui kalau ternyata Ivan adalah orang yang juga ada hubungannya dengan masa lalunya Alfiona.
Tak hanya Lovina yang merasakan itu terlalu cepat, Ivan pun tak menyangka kalau rencananya untuk menyatakan perasaanya kepada Lovina tidak sesuai dengan apa yang sudah diaturnya bersama Kira. Hari dimana dia akan bertambah lagi usianya.
Beberapa saat setelah Lovina memutuskan untuk menonaktifkan data seluler, berusaha untuk tidur tiba-tiba ada pesan Line masuk. Lovina mengurungkan niatku setelah nama pengirim pesan itu muncul.
Lovina dan Ivan memang lebih sering berhubungan via Line daripada BBM.
Lovina memang enggak langsung membacanya. Sepuluh menit setelah itu baru ia putuskan untuk membacanya.
Ivan Andira
Mungkin kamu pikir apa yang barusan aku ucapkan itu tak serius karena terlalu tiba-tiba.
Aku sendiri pun tak tahu kenapa aku bisa dengan mudah mengucapkannya. Kalimat itu begitu mudah keluar dari mulutku.
Tapi aku serius. Aku sungguh menyukaimu sejak aku tahu begitu banyak kebetulan yang terjadi antara aku dan kamu.
Sejak kejadian di Stadion itu, aku ingin mengenalmu lebih dekat. Aku menyadari kalau aku nggak hanya sekedar kagum dengan semangat belajar dan kerja kerasmu, tapi lebih dari itu.
Terlebih saat aku tahu kamu berusaha untuk mandiri dengan membiayai kuliahmu dengan hasil kerja kerasmu. Maaf aku tahu itu semua dari Vita dan Kira.
Aku tahu kalau ternyata aku dan kamu itu berbeda. Itu kan yang sebenarnya ingin kamu sampaikan? Kamu pikir aku nggak akan ngerti. Aku ngerti kok. Aku sudah tahu semua itu dari dulu. Aku tahu dari Angga dan untuk memastikannya aku juga menanyakan itu ke Vita. Aku tahu kita berbeda. Tapi, bukankah perbedaan itu unik? Dan tak ada yang salah dengan perbedaan bukan? Jadi, mari kira saling melengkapi, Lovina Aleysa.
Lovina seketika merasa berbeda. Lovina merasa ada energy positif dalam dirinya. Ia juga merasa seperti orang bodoh selama ini di depan semua orang, yang mungkin tahu tentang perasaan Ivan kepadanya. Merasa apa yang selama ini dipikirkannya tentang perasaan kagumnya kepada Ivan seperti bermain dengan teka-teki, yang dimana orang lain sudah ada yang tahu jawabannya.
“Jadi, selama ini Vita dan Kira tahu kalau ternyata Ivan juga diam-diam punya perasaan terhadapku. Pantes saja mereka berdua begitu bersemangat mendekatkanku dengan Ivan dan selalu menggodaku dengan sesuatu yang berhubungan dengan Ivan.”
Lovina lalu teringat, kalau ia belum menanyakan sesuatu kepada Ivan peihal namanya di handphone Ivan.
Dan sekarang Lovina sudah tahu jawabannya. Rasanya seperti Ivan sudah berhasil mengunci mulutnya dengan kata-kata yang sudah didengar dan dibacanya. Hal itu membuat Lovina ingin menganggukan kepala sebagai tanda iya-aku-juga-punya-perasaan-yang-sama-sepertimu. Namun…
“Ternyata semua ini di luar dugaanku. Kekhawatiranku sama sekali tak dirasakan olehnya. Tak sedikitpun.”
Setelah dirasa cukup untuk berfikir dan menimbang, Lovina kemudian memutuskan untuk membalas pesannya.
Lovina Aleysa
Terimakasih untuk pengakuanmu. Aku percaya kamu serius mengucapkannya.
Aku tahu perbedaan memang unik dan tak ada yang salah dengan itu.
Tapi aku masih belum siap. Mengertilah. Aku mohon.
Aku butuh waktu.
Beberapa saat, setelah pesan Lovina terkirim dan langsung dibaca oleh Ivan, nama Ivan muncul dalam layar handphone Lovina. Gadis itu punya dua pilihan. Menjawab atau menolak panggilan telefon dari Ivan.
Lovina memutuskan untuk menjawabnya di panggilan yang kedua. Baginya, sekarang atau nanti sama saja. Ia harus menghadapinya.
“Vin, aku tahu. Mungkin tak mudah bagimu untuk menerimaku dengan perbedaan umur kita. Tapi asal kamu tahu, aku tak pernah mempermasalahkan itu selama aku tahu kalau apa yang aku rasakan ke kamu itu tulus. Karena bagiku umur hanyalah sebuah angka. Aku nggak perduli seberapa jauh perbedaan umur di antara kita. Seperti yang pernah kamu bilang kepadaku, bahwa tidak ada batasan umur untuk belajar dan mencari ilmu juga bekerja selama ada niat dan usaha. Begitupun juga aku, tak ada batasan untuku mecintaimu selama itu bukan hal salah Dan aku akan memperjuangkan itu semampuku. Tentang perasaanku kepadamu.” Dengan panjang lebar dan jelas, Ivan mengutarakan semua yang ada di pikirannya.
Lagi dan lagi Lovina berhasil dibuat tak bisa bicara. Lovina terdiam dalam kebahagian dan kebingungan. Kebahagiaan karena ternyata kekagumannya kepada Ivan berbalas. Ivan membalasnya dengan mencintai dirinya apa adanya. Tapi kebingungannya juga hadir bersamaan dengan apa yang selama ini Lovina rasakan kepada Ivan. Kebingungannya hadir karena perbedaan umur antara dirinya dan Ivan yang cukup jauh.
Selama beberapa menit mereka dalam kesunyian masing-masing. Memberikan jeda sebentar.
“Van, aku mohon mengertilah. Situasi ini tidak mudah bagiku. Kamu mungkin nggak perduli dengan perbedaan itu Van, tapi aku perduli. Amat sangat perduli. Aku juga nggak mau menyakiti Stella.”
“Apa maksudmu dengan meyakiti Stella? Aku sama Stella nggak ada hubungan apa-apa. Kita hanya teman, nggak lebih!” Suara Ivan terdengar tegas di telinga Lovina walaupun hanya ia dengar lewat telefon. Lebih kepada menegaskan akan hubungan keduanya.
“Tapi Stella mengarapkan lebih dari teman. Dan aku nggak mau merusak persahabatan kalian. Aku tahu Stella pasti akan kecewa dan sangaat terpukul kalau sampai hal itu terjadi dan…”
“Aku tahu! Tapi aku tak pernah punya perasaan yang lebih kepada Stella. Percayalah kekhawatiranmu nggak akan pernah terjadi. Aku tahu bagaimana Stella. Saat aku masih punya hubungan dekat dengan Via, Stella juga tahu itu. Jadi semuanya akan baik-baik saja, Vin.”
Kamu mungkin bisa dengan mudahnya ngomong seperti itu karena kamu bukan perempuan. Kamu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya mendengar dan melihat orang yang kita sayang ternyata sudah menjadi milik orang lain. Mulut mungkin bisa berbohong tapi mata dan hati tak akan pernah bisa berbohong, Van. Batin Lovina.
“Aku butuh waktu untuk sendiri dan berfikir dengan baik. Aku harap kamu ngerti, Van.”
“Ok! take your time!”
“Jika dilihat dari sudut pandang manapun kita berdua tidak akan pernah bisa bersatu, tapi cuma ada satu hal yang bisa menyatukan kita yaitu hati. Karena hati tidak perlu sudut padang dari siapa atau apapun. Tapi hati aku masih belum siap menerima cinta itu.” Lovina berbicara dengan dirinya sendiri ketika sambungan telfonnya dengan Ivan terputus.
“Rasa itu tumbuh tak mengenal waktu. Dan seiring berjalannya waktu tentunya, bisa berubah atau semakin tumbuh. Yang terpenting adalah apakah mereka siap atau tidak untuk menerima bahwa ada rasa yang baru dalam dirinya. Yang membuat mungkin dan tidak mungkin adalah mereka sendiri.”