JALANAN di Blok B Kompleks Perumahan Bahagia Asri selalu tampak sepi setiap lewat pukul lima sore. Hanya terlihat anak-anak yang bersepeda untuk putaran terakhir di blok itu. Dan tentunya, para penunggu setia: sekawanan burung pipit kecil yang langganan hinggap di pohon besar rumah nomor enam belas, sibuk berkicau sambil sesekali melebarkan sayap mungil mereka di bawah cahaya suram yang sebentar lagi digulung gelap.
Sementara itu, ia masih duduk di kursi pahatan kayu berbentuk gajah di beranda rumahnya. Secangkir kopi luwak yang sudah tidak lagi mengepulkan uap panas kemudian diteguknya. Meskipun tampak serius, sebenarnya laki-laki itu bukan sedang memikirkan cara membuat papanya mau memaafkan keputusannya untuk berhenti dari Klub Bisbol Panther Emas. Atau mengenai kandasnya jalur prestasi yang akan didapatkannya untuk berkuliah di universitas impian orangtuanya.
Ia sedang menunggu. Menunggu juga membuatnya kelihatan sibuk berpikir.
Lima menit setelah kopi luwaknya habis, gadis yang dinantinya masih juga belum kelihatan. Padahal, kemarin sore di jam yang sama, gadis itu muncul di sana, pikirnya. Di pekarangan rumah barunya yang tak berpagar layaknya tipe beberapa rumah di kompleks perumahan itu. Sibuk memompa kolam karet sebelum bersantai, bak kolam itu adalah sebuah jacuzzi, setelah airnya penuh.
Sambil menggenggam sebuah gelas kristal yang berisi minuman dingin, gadis itu berendam hingga beberapa waktu. Tidak tampak malu atau kikuk saat anak-anak kecil yang tadinya asyik bersepeda menyempatkan berhenti untuk mengamatinya.
Pintu rumah tetangga depannya akhirnya terbuka. Gadis itu muncul. Kali ini, tidak ada pompa ataupun kolam karet yang kusut di tangannya. Ia melenggang riang layaknya sebuah adegan khas yang biasa disaksikan di dalam sebuah film vintage yang trendi. Bajunya kuning cerah layaknya sekeping kelopak alamanda, celananya pendek berwarna putih gading. Rambut sebahunya yang berponi, kali ini nampak bergelombang. Ia berdiri di trotoar dengan percaya diri bagaikan angsa yang pemberani: lengan kanannya berkacak pinggang, sementara lengan lainnya menggamit tas tangan berwarna emas madu. Sepasang tungkai rampingnya disilangkan luwes dengan pose layaknya model dalam katalog pakaian.
Gadis itu mengangkat lengannya, melirik jam tangan, mengecek waktu sebelum kembali berkacak pinggang. Sepertinya sifatnya memang begitu dinamis dan gerak-geriknya begitu dramatis.
“Lagi lihat apaan, Kak?” tanya Jensen, meskipun tahu kalau kakaknya itu sedang mengamati tetangga baru mereka. Tetangga yang pindahannya begitu mendadak menggantikan keluarga Martaadmadja yang pindah bulan lalu.
“Nggak lagi lihat apa-apa. Udah, gih, kamu masuk lagi aja ke dalam, huuush,” usirnya, merasa benar-benar terganggu meskipun ia sebenarnya menyayangi anak lelaki sok tahu yang baru berumur sembilan tahun itu.
Adiknya tidak beranjak ke mana-mana, malah ikut-ikutan memerhatikan tetangga cantik mereka yang kelihatannya sedang menunggu jemputan seseorang.
“Kakak naksir dia, ya? Terus, Kak Febby dikemanain, dong? Baru nggak masuk sekolah dua hari aja, Kakak udah ngegebet cewek lain,” dengan lagak menghakimi, Jensen menceramahi kakaknya yang konon cukup mahir untuk urusan percintaan itu.
“Berisik ... udah, masuk, gih. Kata Mama kemarin apa? Jangan suka ikut campur urusan orang gede!” Kali ini ia sedikit mendorong adik laki-lakinya yang bawel itu sampai ke depan pintu.
“Kakak rese, deh. Bilangin lho ke Kak Febby! Biar Kakak diputusin, kelar nanti dunia Kakak,” ancam Jensen terlihat bersungguh-sungguh karena jengkel dipaksa masuk.
“Bilangin aja, Kakak nggak takut, tuh,” cibirnya. Setelah berhasil mendorong adiknya masuk ke dalam rumah, ia bergegas kembali mengambil posisi untuk mengamati gadis itu. Tapi, nyatanya sosok itu sudah tidak lagi ada di sana, gadis itu lenyap tanpa bekas.
Kecewa dan tidak percaya, ia lantas berjalan cepat sampai dengan trotoar di depan rumahnya, berharap ia belum benar-benar kehilangan gadis itu. Sialnya, hanya bagian belakang sebuah mobil van putih yang bisa ia temukan, baru saja berbelok di pertigaan menuju jalan utama.
Ia yakin, mobil itulah yang menjemput si gadis saat ia berdebat dengan adiknya tadi. Tapi, bagaimana mungkin ia begitu lengah? Padahal, ia sudah menunggu satu jam lamanya sampai si gadis keluar dari rumahnya.
Alhasil, seharian itu ia mengutuki dirinya yang begitu mudah teralihkan.
***
Malam harinya, tanpa sengaja Abriel terlelap ketika sedang membaca komik. Saking nyenyaknya, ia bahkan mengabaikan tiga SMS, sembilan baris chat, dan empat miskol dari Febby, murid satu kelas di sekolahnya yang sudah lima bulan belakangan ini dipacarinya.
Andaikan Abriel tahu Febby menghubunginya segencar itu, ia tidak mungkin mengabaikannya. Jujur saja, ia tidak begitu siap jika harus adu mulut dengan Febby lagi. Selain pertengkaran terakhir mereka belum benar-benar selesai hingga hari ini, ia juga merasa terlalu lelah kalau Febby mendadak muncul di rumah hanya untuk merongrongnya karena tidak bisa dihubungi. Sebulan yang lalu, Febby bahkan pernah datang mencarinya ke rumah karena mereka bertengkar dan Abriel lupa mengabari Febby kalau ponselnya tertinggal di rumah sepupunya.