Sebenarnya, Abriel tahu, lusa kemarin bukanlah saat yang tepat mengungkap keinginannya untuk hengkang dari klub bisbol yang sudah lama digawanginya. Riak kegusaran di air wajah papanya belumlah surut sebab itulah pertama kalinya papanya menginjakkan kaki di kantor polisi untuk menjemput salah satu anggota keluarganya. Tapi, Abriel punya beberapa alasan untuk tidak meneruskan olahraga yang sudah digelutinya sejak SMP itu ke jenjang yang lebih serius.
Alasan pertama, Abriel tidak merasa perlu mendaftar masuk ke UNTB menggunakan jalur khusus, karena jurusan yang ingin diambilnya tidak membuka jalur tersebut. Papa dan mamanya ingin ia masuk ke Fakultas Bisnis dan Manajemen, sementara ia sendiri lebih tertarik masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain. Kedua, ia tidak yakin seratus persen untuk mengikuti seleksi lanjutan. Dia tahu ada Satrio dan Andre, dua saingannya dari klub lain yang lebih pantas mendapatkan peluang itu. Karena yang ia dengar, baik Satrio atau Andre, tidak memiliki cita-cita lain selain menjadi ujung tombak perbisbolan Indonesia. Dan Abriel menilai Satrio dan Andre merupakan pemain yang berpotensi berkembang lebih pesat darinya. Setidaknya, mereka berdua tidak seperti dirinya, yang kadang mangkir dari latihan karena mendadak mendapatkan hasrat untuk menggambar.
Alasan terakhir, karena Abriel amat yakin, ia tidak akan pernah bisa melupakan Irena jika mereka terus bertemu di lapangan.
Irena Oktaviana.
Catcher berparas manis dari Klub Panther Emas, salah satu pemain softbol yang diyakini akan segera melakukan debutnya sebagai salah satu wakil Jawa Barat. Pemain muda yang sangat berbakat. Gadis yang pernah memikat Abriel begitu dalam.
Beberapa bulan sebelum Abriel memutuskan kembali membuka hatinya, ia pernah berada dalam fase yang sulit karena harus melupakan seseorang yang amat berarti untuknya. Irena bukan hanya pacarnya, ia juga rekan dan sahabatnya dalam berdiskusi. Irena mungkin tidak secantik, sesupel dan secerdas Febby, tapi ia memahani Abriel nyaris melebihi dirinya sendiri.
Abriel ingat betul, hari itu sedang panas terik, tidak ada jadwal latihan untuk timnya. Ia hanya datang ke lapangan untuk menunggui Irena menyelesaikan latihan intensifnya bersama dua pelatih. Setelah Irena beres latihan, mereka sudah berencana akan pergi nonton bioskop. Saat Abriel baru akan masuk ke tribun, Pak Deni, ayah Irena yang juga kepala pelatih tim senior di sana, memanggilnya dari ambang pintu ruangannya.
“Maaf, apa ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Abriel sopan ketika ia menghampiri Pak Deni. Ia tidak dekat dengan ayah Irena, menurutnya Pak Deni tidak begitu menyukainya.
“Silakan duduk, El. Ini tentang Irena,” ujar Pak Deni tanpa basa-basi. “Dia mau berhenti dari dunia softbol.”
Abriel sudah duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Terus terang Abriel tidak tahu soal itu. “Masa sih, Pak, setahu saya Irena malah ingin sekali bisa ikut PON.”
“Iya, itu sebelum ia ingin ikut latihan intensif. Kalian katanya punya proyek berdua, bikin komik dan desain-desain apalah. Irena bilang ingin serius di sana.”
“Saya malah nggak tahu lho, Pak, kalau Irena seserius itu mengenai komik. “ Dulu Abriel juga berpikir ia akan menjadi atlet besar, sementara membuat komik hanyalah hobi semata. Irena-lah yang sebenarnya membuka matanya, bahwa ada sesuatu yang lebih ingin diwujudkannya.
“Menjadi atlet membutuhkan komitmen yang besar. Anak itu sudah sering mendapatkan dispensasi dari sekolahnya, itu bakal sia-sia dan jadi bumerang kalau dia ambil keputusan gegabah,” jelas Pak Deni, wajahnya terlihat serius.
“Bapak sudah bicara dengan Irena?”
Pak Deni mengangguk. “Dia akan berhenti kalau nggak ada yang dukung. Bapak yakin keputusannya belum bulat. Kamu jangan dukung.”
Jantung Abriel terasa mencelos. “Wah, tapi, bukannya seharusnya Irena yang menentukan arah hidupnya, kan? Saya hanya harus mendukung apapun yang ingin ditekuninya.”