My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #5

5. Bebas

 Abriel menghela napas sambil menatap kertas putih kosong melompong di meja belajarnya. Di samping kotak pensilnya, tergeletak sekotak bento yang belum dihabiskan, menyisakan dua ebi goreng yang tampak berminyak namun lezat.

 Sudah empat jam ia memaksa kepalanya berimajinasi, tapi tak satupun ide yang sesuai dengan keinginannya muncul di sana. Abriel sadar, sejak ia menjalani harinya tanpa Irena, sulit baginya untuk melanjutkan komiknya. Ide-idenya hanya bertahan sekejap di kepalanya sebelum ia menepis ide-ide tersebut karena menurutnya dangkal dan kusut.

 Dulu, ia berbagi semuanya dengan Irena. Jika ada bagian yang dirasa kurang sreg, Irena akan memberikan sentuhan untuk menghidupkan ceritanya hingga tak lagi kehilangan nyawa. Abriel selalu memercayai kritik dan pendapat Irena.

 Denyut cerita, guratan halus pensilnya, dan napas tokoh-tokohnya, mereka berbagi segalanya ...

 Kini, tak ada lagi Irena yang memberinya jutaan inspirasi dan arahan. Tokoh-tokoh komiknya seperti hilang arah. Ceritanya tak jelas juntrungannya. Abriel bahkan lupa ke mana sebetulnya ia akan membawa “anak-anaknya” itu kelak. Irena membuatnya hilang panduan.

 Namun, Abriel yang memiliki harga diri tinggi tak ingin mengakui bahwa semenjak hari itu ia tersesat. Jadi, meskipun sangat sulit, ia tetap meneruskan komiknya dengan merayap-rayap.

 Ketika Abriel memutuskan untuk tidur dan berusaha memejamkan mata, untuk pertama kalinya Abriel kembali merasakan kehampaan panjang di ulu hatinya. Perasaan familier seperti yang dirasakannya berbulan-bulan lalu, perasaan yang membuatnya merasa bernapas di ruang angkasa, tanpa pakaian antariksa.

 Abriel menduga-duga dalam benaknya, apakah ia akan sekarat karena kehabisan oksigen atau karena rasa kalut kronis yang melanda dadanya. Abriel mengambil gulingnya kemudian menutup kepalanya, seolah dengan begitu ia bisa berhenti memikirkan kejadian di lapangan tempo hari itu, saat ia melihat air mata Irena menggenangi dagunya ...

 Abriel tiba-tiba merasa sangat kehausan, tapi enggan untuk bangkit menelan seteguk air, padahal gelasnya begitu dekat dari tempat tidurnya. Begitulah Abriel, terkadang ia senang membuat perasaan seolah dirinya orang paling menderita di dunia ini. Terkadang, Irena juga berpendapat seperti itu tentang Abriel.

 

***

Di sekolah, orang-orang yang bertemu dengannya menyelamatinya karena ia berhasil melalui waktu skors yang diberikan kepala sekolah. Abriel hanya nyengir kepada mereka semua, berharap ia tidak menjadi pusat perhatian karena hal yang memalukan. Ia sudah berjanji kepada orangtuanya untuk tidak mengulangi perbuatannya, meskipun diam-diam dalam hatinya ia menambahkan kalaupun ia bolos sekolah lagi ia akan memastikan bahwa ia tidak akan terlibat masalah serius.

 Pada jam istirahat, Abriel dan Febby sudah memisahkan diri dari murid-murid lain ke tempat Abriel biasa mengasingkan diri ketika ia ingin. Ruangan kosong itu dulunya adalah ruang sekretariat OSIS sebelum dipindahkan ke tempat yang lebih besar. Berhadapan dengan gudang tempat petugas kebersihan menyusun bangku-bangku yang akan diperbaiki. Ruang itu memiliki gang sempit dan buntu di belakangnya, yang kadang digunakan murid-murid yang senang melanggar peraturan untuk merokok atau membolos pelajaran. Namun, berkat kerjasama yang solid, ketika guru-guru datang menggerebek, tidak pernah berhasil menemukan seorang pun di sana.

 Abriel menarikkan sebuah kursi dari dalam ruang penyimpanan keluar supaya Febby bisa duduk di sana. Menyedihkan memang, pikir Abriel, demi mendapatkan privasi dan menghindari mata-mata penasaran ia harus membawa Febby ke tempat yang selain agak kumuh tapi juga banyak nyamuknya. Tapi, apa boleh buat. Febby sepertinya sudah akan meledak sejak ia melihat Abriel di kelas tadi. 

 “Feb,” Abriel memulai, sedari tadi mereka belum bicara apa-apa, Abriel bahkan belum menatap langsung ke mata Febby,  ”aku tahu kamu marah banget. Harusnya aku ngejar kamu hari itu, tapi entah kenapa aku nggak lakuin. Kalau kamu tanya kenapa, aku benar-benar nggak bisa jawab. Aku malu sama diri aku yang banyak salahnya sama kamu. Cuma, kamu harus percaya, aku beneran nggak aneh-aneh kayak apa yang Jensen bilang.”

 Febby melipat tangannya di dada. “Kita pacaran udah lima bulan tapi nggak tahu kenapa kayaknya kita nggak pernah bener-bener saling memahami, ya? Seolah kita berada di gelombang radio yang beda. Aku FM kamu di AM mana gitu. Kadang kita muter lagu yang sama, tapi itu momen langka nyaris kayak keajaiban.”

 “Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi sama kamu selain maaf, maafin sikap aku yang mengecewakan kamu terus. Sekarang semua keputusan ada di tangan kamu ....”

Lihat selengkapnya