My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #6

6. Matahari dan Sepatu Roda

Sore itu, Isabel membuka jendela kamarnya lebar-lebar sambil berjingkat-jingkat heboh, mengikuti dentuman lagu Beautiful Ones milik Suede, salah satu band favoritnya. Sambil berkeliling di kamarnya dengan berselendangkan syal bulu kesukaannya, ia tidak sengaja menengok keluar jendelanya yang terbuka. Tetangganya baru saja pulang sekolah. Disampirkannya tas selempang hitam dekil yang talinya kepanjangan itu sebelum dirinya sibuk mengetuk-ngetuk ban belakang mobilnya, seperti mengetes apa bannya kempes atau tidak.

 Isabel tetap di posisinya di depan jendela, membiarkan angin sore yang sepoi-sepoi meniup pipinya dengan lembut. Ia masih mengamati cowok itu. Betul kata Mummy, pikirnya, cowok itu punya tampang yang lumayan manis. Tapi, tetap, punya tampang manis bukan berarti cowok itu juga punya tabiat baik. Tidak ada manusia yang sediberkati itu, memiliki tampang rupawan dan sifat yang terpuji. Mungkin ada, tapi yang pasti bukan cowok itu.

 Ketika Isabel menatap langit, ia menyadari kalau hari itu matahari bersinar sangat cemerlang. Aha! Sepercik ide muncul di kepalanya.

 Sambil terus bersenandung, Isabel pun melenggang ke ruang penyimpanan di dekat dapur. Bi Iceu yang sedang sibuk menggoreng tumis udang untuk makan malam nanti sempat menawarkan bantuan, tapi dengan selewat Isabel menyuruh Bi Iceu menggoreng dengan serius saja. Isabel akhirnya mendapatkan benda yang ia cari di dalam salah satu tumpukan kardus yang belum sempat dibereskan. Sepasang roller blade baru berwarna kuning cerah. Ia memungut benda itu dengan riang.

 “Oh, ya, Neng,” ujar Bi Iceu sebelum Isabel meleos. “Semalem Ibu nanya, tapi Bibi udah bilang seperti yang Neng bilang. Kalau boleh Bibi tahu, memangnya kenapa Ibu nggak boleh tahu Neng Abel pergi sama laki-laki?”

 “Ehm, kenapa ya ... Soalnya Mummy pasti panik kalau lihat saya pergi sama cowok yang beda-beda. Jadi Bi Iceu jangan sampai keceplosan, ya. Kalau Mummy lagi di Jakarta sih tenang, Bibi nggak perlu gimana-gimana. Pokokmya kalau Bibi bingung, tanya aja instruksinya ke saya, okay?”

 Bi Iceu terlihat merenung sembari menekuri penggorengan sebelum kembali menatap Isabel. “Maaf bukannya Bibi sok ikut campur, cuma Bibi jadi sedikit khawatir aja sama Neng. Nggak pa-pa Neng jalan sama laki-laki terus? “

 “Ya, nggak pa-pa, Bi. Namanya juga kerja.”

 “Sekarang, seringnya Neng dijemput di depan rumah. Apa Neng nggak takut, banyak laki-laki yang jadi tahu rumah Neng Abel?”

 “Iya sih, tapi kadang saya malas harus nunggu taksi online. Kan mereka yang butuh saya, ya harus mau jemput dong.”

 “Neng ... Neng teh nggak berbuat yang ... duh, Bibi kok jadi takut, ya—”

 “Udah ... Bibi jangan khawatir, saya tahu kok apa yang saya lakuin ini nggak salah,” sela Isabel cepat kepada wanita setengah baya yang meskipun baru dikenalnya selama kurang dari dua minggu, sudah manut dan menaruh rasa sayang pada Isabel. “Eh, Bi, awas tuh udangnya gosong! Nanti kalau gosong saya harus makan sambil melet-melet lagi, lho!” kekeh Isabel sambil setengah berlari menjinjing sepatu rodanya ke depan rumah.

 

***

“Kak, tuh gebetan Kakak lagi di depan, Kakak mau caper nggaaak?” teriak Jensen kepada kakaknya yang sedang memetik gitar di dalam kamarnya dengan tidak bergairah.

 Abriel merasa harinya sangat melelahkan. Hingga jam pulang sekolah, sudah empat orang dari geng Febby yang menginterogasinya. Belum lagi serombongan adik kelas sotoy yang mencegatnya di parkiran, cewek-cewek itu menanyakan kepastian hubungannya dengan Febby. Konon mereka adalah fans Abriel dan Febby, penggemar pasangan terserasi di sekolah menurut versi mereka.

 Abriel sungguh tidak menduga begitu banyak orang yang “peduli” pada kandasnya hubungannya dengan Febby. Tapi yang terparah adalah saat Abriel menemukan kalau ban belakang kiri mobilnya dikempesi seseorang. Intuisinya mengatakan itu adalah ulah salah satu dari banyak pengagum Febby yang tak terima idolanya dibuat bersedih tadi. Bisa jadi itu Muamar, Abriel sempat menduga. Tapi, masa sih Muamar sampai senekat itu? Lagian, ia dan Muamar pernah berteman cukup baik.

 “Lagi ngapain dia?” tanya Abriel namun tidak terdengar terlalu tertarik.

Lihat selengkapnya