My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #7

7. Suara

Resmi dua malam minggu dihabiskan Abriel tanpa nongkrong di luar. Sambil membereskan meja belajarnya, pikirannya membawanya ke kenangan Sabtu sebelumnya: perdebatan alot dengan papanya setelah ia mengungkap keinginannya untuk hengkang dari tim bisolnya.

 Papanya memang sangat mengharapkan Abriel bertahan di klub itu setidaknya sampai ada perekrutan untuk masuk ke tim nasional. Soal Abriel masuk atau tidak itu perkara belakangan. Karena papanya mengharapkan tambahan title prestasi mampu membantu Abriel lolos masuk ke fakultas yang papanya mau. Mamanya sependapat dengan papanya, mamanya juga ingin Abriel bisa masuk universitas terkemuka dengan fakultas yang diunggulkan. Nilai akademik Abriel yang tidak begitu menonjol selama dua semester belakangan membuat keduanya sangat khawatir Abriel tidak akan lolos lewat jalur biasa, sehingga jalur khusus adalah satu-satunya jalan.

 Sebetulnya, dulu Abriel anak yang cerdas dan pandai yang selalu masuk jajaran top lima besar di kelasnya. Tapi belakangan, ia tidak lagi berminat pada banyak hal, termasuk akademis.

 Orangtuanya sudah melakukan berbagai cara agar nilai Abriel di sekolah naik, termasuk memanggilkan guru privat terbaik, memasukkannya ke bimbel yang paling terkemuka dan membeli buku-buku cetak mahal yang direkomendasikan. Tapi semua itu tidak juga meningkatkan nilai-nilainya.

 Abriel hanya berminat untuk mengkhayal, mengguratkan pensil dan menyelesaikan panel demi panel komiknya. Di lubuk hatinya, Abriel memiliki harapan untuk meneruskan hobinya secara profesional. Menjadi penimba ilmu di sekolah desain dan seni terkemuka adalah salah satu tahapan dasar, ia tahu betul akan hal itu. Ia pernah membaca ada sekolah khusus yang bagus dan terkenal untuk bidang tersebut di Yokohama, Jepang. Namun, jika ia harus menunda langkah besar itu dan tetap tinggal di Indonesia, ia ingin masuk ke fakultas yang berhubungan dengan minatnya.

 Abriel memang belum memutuskan secara spesifik, mau jadi apa kelak dirinya. Tapi ia tahu betul panggilan hatinya untuk selalu membuat karya dengan pensil dan imajinasinya.

 Abriel yakin, cahaya matahari kemarin yang jatuh tepat di punggung gadis itu telah membawa kembali panglima pasukan idenya yang lama hilang. Gadis itu telah menghidupkan pabrik imajinya. Tuhan sengaja mengutus gadis itu untuknya, ia bisa merasakannya di dalam hatinya.

 Semalaman Abriel tidak bisa tidur, pikirannya hilir-mudik melesakkan berbagai harmoni ide ke kepalanya. Abriel terus membayangkan saat-saat paling dramatis dalam hidupnya itu. Saat gadis itu berputar dengan sepatu rodanya, dan saat matahari mengelilinginya bagaikan kelopak bunga surga yang merekah, sebelum menyelimutinya dengan cara yang menakjubkan. Lebih tepatnya mengherankan. Bagaimana tidak, kemarin itu matahari sudah akan padam, pulang ke peraduan di balik gerbang awan ... demi membuat gadis itu tampak sebegitu indah, matahari bahkan rela untuk meliurkan lapisannya sedikit lebih lama.

 Tak menghiraukan ajakan Adit untuk nongkrong di arena biliar langganan mereka, akhirnya ia mantap meletakkan dua buah buku ke atas meja belajarnya yang sudah dirapikan: buku tulis dan buku sketsanya yang ia buat sendiri dengan menjilid lima puluh tiga lembar kertas HVS berukuran A5.

 Ia sudah memutuskan akan memulai dari awal lagi. Buku sketsanya yang lama, proyek yang pernah digarapnya bersama Irena sudah dimasukkan ke laci, dikuburnya dalam-dalam di bawah buku-buku pelajaran tahun lalu yang tidak pernah disentuhnya lagi.

 Urat-urat di tangannya menyembul, berdenyut, ketika sang pemilik tubuh memindahkan isi kepalanya ke dalam hamparan putih di bawah kulitnya. Abriel bisa mengendus aroma kertas yang begitu dekat dengan hidungnya, ditiupnya serbuk pensil dengan napasnya.

 Ia berdecak, puas atas kerja kerasnya selama lebih dari empat ratus delapan puluh menit.

 Jam menunjukan pukul sepuluh lewat dua inci jarum panjang, gemilangnya langit di atasnya menambahkan fakta bahwa malam sudah larut. Matanya perih dan perutnya keroncongan: tokoh utamanya telah tercipta.

 

***

“Makasih buat hari ini, Ly,” ujar cowok bernama Anjar sambil menutup pintu di sampingnya, dengan jantan cowok itu baru saja membantu Isabel turun dari mobilnya yang memiliki ban besar-besar.

 “No prob, Jar. Masama,” ujar Isabel dengan kasual sambil menepuk pundak Anjar sekilas, seolah ia sedang berinteraksi dengan anak kecil. Klien Isabel kali ini memang masih berumur lima belas tahun. Meski, cowok itu baru akan masuk SMA, tidak akan ada yang percaya kalau ia belum cukup umur untuk memiliki SIM. Cowok itu memiliki tubuh tinggi nan atletis dan bentuk rahang yang kokoh layaknya pria dewasa.

 Ketika kendaraan besar dan berisik itu meninggalkan tempatnya, Isabel terkejut karena mendapati seorang cowok tengah berdiri di seberang rumahnya, di samping nyala lampu pijar dari gerobak tukang nasi goreng yang kehadirannya tidak disadari Isabel sama sekali.

 Cowok itu tampak memandanginya, tangannya memegang piring berisi nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Dari tampangnya, Isabel menebak kalau cowok itu belum tidur atau mandi.

 Tukang nasi goreng yang sudah selesai membereskan perlengkapan memasaknya, mendorong gerobaknya dan pergi ke arah jalan besar. Tapi cowok itu bergeming—begitupun dengan Isabel. Mereka berdua hanya bertatap-tatapan tanpa ada satupun kalimat yang terucap.

Lihat selengkapnya