Menjelang subuh, Abriel mulai terkantuk-kantuk di depan meja belajarnya. Ia belum tidur semalaman, adrenalinnya memompa seperti jungkit-jungkitan yang dimainkan terlalu bersemangat. Ditemani alat-alat menggambarnya, ia terus menjiplakkan idenya ke dalam kertas hingga satu chapter cerita dengan tiga karakter di dalamnya hampir rampung: seorang gadis dengan kekuatan magis yang mampu berubah wujud dan mengentikan waktu, laki-laki berlatarbelakang biasa-biasa yang yang tidak sengaja mengetahui rahasia si gadis, dan yang terakhir gadis penyendiri, cinta pertama si laki-laki, punya mimpi yang harus diwujudkan.
Dipandanginya secara bergantian satu per satu tokoh rekaannya, yang berdiri pada masing-masing kertas dengan latar yang sudah diberikan efek yang sesuai: setiap garis dan lekuk digambarnya sedemikian apik dengan pensil dan pena. Abriel merasa waktu yang dihabiskannya selama berjam-jam sejak ia pulang tadi, amat produktif. Belum pernah ia kewalahan oleh kumparan ide-idenya sendiri.
Abriel memungut satu kertas, memandangi guratan-guratannya dengan ketelitian penuh. Karakter utamanya menatapnya dari hamparan kertas, menagih penyempurnaan pada beberapa tempat.
Dengan fokus, digosoknya beberapa bagian yang terlalu tajam, sentuhan lembutnya mematikan ketidakpuasannya tadi.
Matahari pagilah yang membuat Abriel akhirnya terpaksa menunda pekerjaannya. Ia juga merasa waktu mengkhianatinya karena bergerak terlalu cepat.
Tanpa mandi dan hanya cuci muka serta gosok gigi, Abriel segera bersiap-siap berangkat sekolah. Mamanya memanggilnya ketika ia sedang memundurkan mobilnya dari halaman depan.
“El, nanti sore pulang cepat, bisa?” ujar mamanya.
“Emang mau ada apaan, Ma?” tanya Abriel.
Sebenarnya ia sudah tahu kalau kemarin kedua orangtuanya datang menemui pelatih-pelatihnya di lapangan. Arif, temannya, yang memberitahunya lewat chat Whatsapp semalam. Mereka datang untuk meminta supaya ada salah satu pelatih yang bersedia untuk terakhir kalinya membujuk Abriel agar mau kembali ke lapangan.
Hal itu jelas sempat membuatnya jengkel, karena orangtuanya sendiri tidak mengatakan apa-apa padanya lebih dulu, tapi ia sebenarnya selalu bersyukur memiliki orangtua yang tidak terlalu banyak menuntut. Setidaknya, mereka baru menggenjer tuntutan-tuntutan mereka setahun belakangan ini. Saat nilai rapor Abriel sudah drop sampai ke titik yang membuat papanya menunjuk dan memanggil Abriel dengan sebutan “ANDA”.
“Nggak apa-apa, cuma mau ada tamu yang ke sini. Kita ngobrol-ngobrol aja, tukar pikiran gitu.” Mamanya tersenyum penuh makna.
“Diusahakan, ya, Ma,” ujar Abriel, sedikit curiga kalau yang akan datang nanti sore adalah pelatihnya, Kang Wawan. Siapa lagi yang lihai melobi orang kalau bukan Kang Wawan ...
“Ya udah, kamu berangkat, gih. Ati-ati, ya,” tambah wanita berparas cantik, berambut panjang dan bergelombang itu. Abriel adalah jiplakan tok dari mamanya. Rambut mereka sama-sama ikal dan bersemburat cokelat, tubuh mereka sama-sama kurus dan menjulang, garis wajah dan hidung mereka sama-sama serbalancip. Satu-satunya perbedaan adalah bentuk mata. Mamanya, memiliki mata tajam, menukik yang terkesan cerdas, kritis dan galak, Abriel sebaliknya, punya lipatan lebih cekung di matanya yang mirip mata papanya. Mata teduh nan sendu yang tak sesuai dengan logam keras yang melapisi kepala mereka.
Meski Adit pernah mengatakan kalau “senjata” Abriel adalah mata romantisnya, bagian yang Abriel suka dari tubuhnya adalah jemarinya yang panjang dan ramping, jari-jari yang cocok dan memudahkannya untuk melempar bola dan menggambar. Bahkan bermain piano, ketika mamanya memasukkan Abriel ke tempat kursus piano saat ia SD.
“Usahakan pulang cepat, ya,” mamanya kembali mengingatkan ketika Abriel membuka kaca jendela mobilnya, bermaksud melambai pada mamanya..
Abriel mengangguk sambil nyengir. Meski begitu, ia sudah memetakan jadwal kegiatannya hari ini, dan pulang lebih awal tidak termasuk dalam rencananya.
***
Isabel baru teringat kalau ia punya “PR” yang harus diperiksa. Maka, setelah ia mandi dan minum jus apel yang dibuatkan Bi Iceu, ia langsung membuka lipatan kertas itu di tempat tidurnya. Piringnya yang tergolek miring dan menyajikan dua iris roti panggang peanut butter jelly, disingkirkannya ke atas nakas agar tidak mengotori seprai putih bersihnya.
Tak lama untuk membuat bibir Isabel meledakkan kikikan. Cowok itu benar-benar lucu, batinnya. Ia menjawab semuanya dengan sungguh-sungguh dan serius. Tulisan tangannya juga sangat rapi, tegas dan mengingatkan Isabel pada salah satu font di komputer, berbanding seratus delapan puluh derajat dengan tulisannya sendiri yang seperti cakar ayam.
Pada bagian cowok itu mengisi kolom mengenai uang sakunya, Isabel tidak bisa lagi bisa menahan sesuatu yang menggelitik perutnya. Ia tertawa lepas selama beberapa detik hingga kemudian menutupi mulutnya sendiri dengan jari-jarinya yang baru saja dicat dengan kuteks biru metalik. Dia tidak percaya cowok itu benar-benar menanggapi semuanya dengan serius!