My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #12

12. Dunia Ini Bundar

Abriel merasa lapangan itu seperti kandang, memerangkapnya, memaksanya melihat proyeksi alam bawah sadarnya. Ia baru ingat kalau ia kurang tidur, dan menyadari ada kemungkinan bahwa itulah sebabnya ia melihat yang tidak-tidak. Ia bertanya-tanya sendiri, entah dari mana ia punya energi untuk berolahraga?

 Dalam perjalanan menuju ke rumah, hari sudah satu tahap lebih gelap. Kekhawatiran yang dirasakannya mengenai orangtuanya di rumah mendadak sirna. Ia tidak lagi cemas orangtuanya akan mencecarnya dengan nasihat semalam nonstop lantaran perbuatannya hari ini, atau bahkan lebih buruk, orangtuanya tidak mau bicara padanya. Masalahnya, yang ia inginkan sekarang hanya satu: bertemu dengan gadis itu.

 Mobilnya berhenti di depan rumahnya, pintu depan rumahnya tertutup dan lampu penerangan keluar sudah dihidupkan. Tapi pandangannya malah diedarkan ke rumah tetangganya, seakan menunggu pertanda. Jika ia melihat jendela di lantai dua terbuka, ia yakin akan merasa lega. Tapi tidak sesuai harapannya, lampu kamar Isabel mati dan jendela itu tampak menutup rapat. Dari pembicaraan di taksi kemarin, Abriel tahu di sanalah letak kamar Isabel.

 Bunyi ketukan jendela mobilnya yang nyaris tidak disadarinya, membuatnya terkejut. Mamanya sudah berdiri di luar mobilnya, jelas betul kebekuan pada ekspresi wajahnya.

 Abriel membuka pintu mobilnya, sudah bersiap akan ledakan kemarahan mamanya.

 “El, kamu ke mana aja, sih? Mama cemas banget. Mama sama Papa udah mau berangkat nyariin kamu. Mama takut kamu kena masalah lagi.”

 “Nggak kenapa-kenapa kok, Ma. Cuma ada perlu aja barusan.”

 Giliran papanya muncul di beranda, pakaiannya rapi, jaket andalannya untuk keluar malam sudah dikenakannya. Abriel merasakan firasat yang lebih buruk.

 Abriel lalu membuntuti mamanya dengan berjalan lambat dan terhuyung-huyung. Di ruang teve, papanya sudah menunggu mereka. Abriel menarik kursi makan dan duduk berjauhan dari orangtuanya. Suara teve diturunkan hingga sunyi senyap. Tapi gambarnya masih bergerak-gerak menayangkan berita kerusuhan di Eropa.

 “Dari mana aja kamu?” Papanya bertanya, suaranya tak terbaca.

 Abriel menghela napas. “El tahu apa yang Mama dan Papa rencanakan. Papa sama Mama dateng ke lapangan kan kemarin, ketemu sama pelatih-pelatih El?”

 Kilat berkelebat di mata cokelat papanya. “Tahu, nggak? Udah bagus kamu bisa masuk tempat favorit lewat jalur khusus, banyak yang akan bantu kamu. Prestasi kamu udah cukup. Punya empat gelar MVP, pakai acara keluar segala. Padahal kamu lulus tinggal beberapa bulan lagi, Abriel.”

 “El,” dengan nada yang lebih lembut mamanya menyela, “kamu benar, barusan Wawan datang ke sini, bukan kita yang minta. Semua orang di klub kamu itu kehilangan kamu, tangan mereka masih terbuka kalau kamu mau balik ke lapangan.”

 “El juga kangen dan kehilangan mereka. Tapi, ada sesuatu yang lebih El pengin lakuin Ma, Pa. El pengin serius bikin komik, gambar dan buat cerita. Ide-ide di kepala El mengalir terus, dan ini nggak bisa dibendung lagi.”

 Kali ini papanya yang mendengus, kasar dan kentara. “Sejak dulu Papa nggak pernah ngelarang kamu buat komik, main sama temen-temen kamu, pacaran—gonta-ganti cewek, bahkan main game. Kamu nggak mau ikut les privat, Papa juga nggak maksa. Papa cuma mau kamu sadar bahwa nggak semua orang dapat kesempatan emas untuk masuk kuliah lewat jalur khusus. Kamu itu seperti buang-buang permata ke jalanan supaya diambil orang, padahal kamu sendiri itu miskin.”

 “Gini lho, El,” mamanya berusaha meredakan atmosfer panas di ruangan tersebut. “Mama sama Papa cuma pengin kamu renungin sebentar lagi. Apa bener kamu nggak mau kuliah di fakultas yang seriusan dikit—”

 “Ma,” Abriel memotong ucapan mamanya dengan tajam. “Memang kalau masuk ke fakultas itu El belum menjamin kalau El bisa jadi ... katakanlah seorang artist, tapi di sana El bisa memuntahkan ide-ide yang ada di kepala El dulu. Banyak tugas yang akan membuat El jadi lebih kreatif dan membuka mata El. Lagian, membuat komik jaman dulu dan sekarang itu beda, jaman sekarang kita juga perlu menguasai teknologi. Makanya El mau belajar di tempat yang El mau.”

 “Kalau mau jadi komikus doang Papa rasa nggak perlu pakai kuliah segala. Anak lulusan TK juga bisa bikin komik,” kata papanya sambil menatap ke layar teve.

 “Maksud Papa, El suruh berhenti sekolah gitu? Karena El penginnya bikin komik? Ternyata ya, Papa yang El kira punya pemikiran yang luas dan panjang bisa tiba-tiba nggak cerdas karena pengin puas adu argumen sama anaknya sendiri.”

 “Jalan keluar belum ketemu, Pa,” mamanya meletakkan tangan di lutut papanya. “Lihat, El pucat gitu. Biarin dia bersih-bersih dan istirahat ke kamarnya dulu. Udah makan belum kamu?”

 Abriel menggeleng. “Begitu Mama sama Papa bilang El boleh lanjutin kuliah di tempat yang El mau, El bakal kejar semua ketertinggalan El selama ini. Apapun syaratnya bakal El penuhi,” ia memilih melanjutkan.

 Papanya melirik mamanya. Meskipun mamanya tidak melihatnya.

 “Gimana, Pa?” tuntut Abriel. “Bisa Papa dan Mama ikhlas kalau El kuliah di fakultas yang El yakini?”

 Papanya masih tidak menjawab. Kini balik mamanya yang melirik papanya, menunggu suaminya itu memutuskan.

 “Oke,” akhirnya papanya bicara. “Kamu boleh kuliah di FSRD, jadi tukang gambar, komikus, ilustrator—terserah. Asalkan, nilai ujian kamu nanti paling gede seangkatan kamu. Kamu kalahkan semuanya. Bisa?”

 “Dan itu tujuannya untuk membuktikan apa ya, Pa?”

 Papanya tersenyum samar. “Kalau kamu bertanggungjawab sama pilihan kamu.”

 “Gimana kalau komik El duluan terbit dibanding ujian nasional nanti? Apa itu juga bukan bukti kalau El bertanggungjawab sama pilihan El?”

 Tatapan papanya ke arah Abriel perlahan melunak. “Buktikan keduanya, nilai kamu bagus dan proyek komik kamu kelar beriringan. Setidaknya, buat nilai, nggak ada nilai mutu di bawah rata-rata kelaslah. Papa sudah sangat bermurah hati karena melihat kegigihan kamu mempertahankan apa yang kamu yakini.”

 Binar di mata Abriel tidak dapat disembunyikannya lebih lama lagi. “El janji, nggak akan kecewain Papa. Mulai hari ini El bakal berusaha seimbangin sekolah sama proyek El.”

 Mamanya menghambur untuk memeluk Abriel. Dikecupnya ubun-ubun anaknya itu dengan lembut.

 “Dan kalau bisa nggak usah pacar-pacaran dululah. Yang Papa lihat, hubungan cinta-cintaan kamu cuma bikin kamu sengsara, nggak semangat ngapa-ngapain. Sekarang kamu tahan dulu yang kayak begitu,” imbuh papanya seraya melepas jaketnya dan menyibakannya di lengan sofa.

 Namun sebelum Abriel menjawab apa-apa, pintu rumahnya diketuk. Mamanya yang bergegas untuk membukanya.

 “Malam. Abriel ada, Tante?” ujar suara itu. Suara yang dikenal Abriel dan melekat di kepalanya.

 “Malam ... Ini siapa, ya?” tanya mamanya kepada tamu itu.

 Lewat celah pintu tempat berdiri mamanya, dengan gesit gadis itu mengintip ke dalam.

 “Hai, Pangeran Tampan dari Negeri Fashionista,” sapanya pada Abriel yang masih terpaku di tempatnya. “Boleh ngomong sebentar aja?”

 

***

Lihat selengkapnya