Satu belokan dari SMA Bhakti Negara, ada warung nasi padang yang sering jadi langganan guru-guru dan murid-murid di sana. Warung makan itu selalu ramai saat jam makan siang dan pulang sekolah. Tempat itu beruntung, memiliki lokasi strategis di antara minimarket, Masjid, dan sekolah sehingga jadi salah tujuan utama perut-perut keroncongan.
Laksana pelangi di tengah gurun, gadis cantik itu kontan mencuri perhatian dengan kemunculannya di sana. Di belakang setumpuk kerupuk bawang yang sudah diplastik-plastikan hingga menggunung, ia yang hari itu mengenakan terusan bermotif bunga daisy dan sepatu kanvas hitam, menclok di sana. Tak lupa, kacamata hitam bulat ala John Lennon sudah nongkrong di atas kepalanya, menjadi bingkai untuk poni agung yang di-blow amat rapi.
Sejak sepuluh menit disajikan, seporsi gulai ayam dan es teh manis sudah tenggelam ke dalam perutnya. Dengan ekspresi kekenyangan, Isabel kembali melirik ke arah pintu. Abriel muncul di sana tak sampai lima detik kemudian.
“Aku nerima kertas yang kamu titipin ke Mang Diman, kamu kreatif ya kepikiran kayak gitu.” Mang Diman adalah petugas kebersihan SMA Bhakti Negara yang terkenal dekat dengan murid-murid.
Isabel tersenyum puas. “Saya kasih tiga puluh ribu supaya surat itu sampai ke tangan kamu. Berhasil, kan, saya bilang kita bisa kan ketemu tanpa HP.”
“Para genius yang udah capek-capek nyiptain berbagai alat teknologi komunikasi canggih harusnya protes tuh sama kamu,” dumel Abriel sembari mengulurkan tangan untuk membawakan tas kulit besar yang dibawa Isabel. “Kamu bawa apaan aja? Berat banget. Nggak masukin batu bata ke sini, kan?”
“Kalau nebak tuh kreatif dikitan dong, Mas. Jadi ... tas itu tuh isinya setumpuk perkamen paling rahasia dan lima keping hard drive dalam boks terkunci plus antipeluru. Semuanya milik pemerintah United States. Masalahnya, kalau saya kasih lihat kamu bentuknya, kamu bakal dikejar sama FBI dan militer Amerika Serikat seumur hidup kamu. Bahkan kalau kamu nyerah pun pilihannya hanya dilobotomi atau potong lidah,” ujar Isabel dengan cepat dan lancar, seolah kalimat itu sudah dikatakannya ratusan kali.”So, masih pengin tahu isinya?”
“Selain jadi angsa jadi-jadian, ternyata kamu berbakat juga jadi pengarang. Beneran,” kekeh Abriel sungguhan takjub.
“Pengarang itu cuma istilah ningrat untuk pembohong profesional,” decak Isabel.
“Kalau gitu, kamu termasuk yang mana: pengarang atau pembohong?”
Isabel mendadak mengamati wajah Abriel untuk beberapa saat sebelum menjawab, “Semuanya.”
Mereka sudah berdiri di depan mobil Abriel yang diparkirkan di dekat sana. Dan ketika Abriel sedang membukakan pintu penumpang untuk Isabel, rombongan anak OSIS berpapasan dengan mereka di sana. Dengan canggung, Abriel membalas sapaan beberapa orang yang dikenalnya. Sebelum ia memutari kap depan mobilnya, masuk dan memasang sabuk pengamannya.
“Kapan kamu futsal lagi?” tanya Isabel begitu mobil melaju.
“Belum tahu,” jawab Abriel dengan tangan di kemudi. “Aku ke sana kadang-kadang aja, ikut Adit doang. Adit itu temen deket banget, duduk sebangku juga.”
“Adit itu yang ....”
“Tinggi banget, putih, rambutnya kelimis gitu. Yang pakai baju biru. Badannya paling gede aja kemarin. Nggak gendut, tapi berotot banget.”
“Yang sepatunya oranye?”
“Nah, iya.”
“Jadi, kamu masih belum tahu kapan mau ke sana lagi?”
“Belum. Mama sama Papa lagi penginnya aku mengurangi kegiatan.” Abriel lalu tiba-tiba kembali teringat hari itu, hari di mana ia melihat Isabel di gedung futsal. “Jadi, kamu udah boleh kasih tahu aku kenapa kamu bisa ada di sana kemarin?”
Isabel tegelak. “Sebenarnya nggak penting-penting amat. Kalaupun saya kasih tahu kamu, nggak akan ngaruh apa-apa buat kamu.”
“Aku mau nanya sesuatu, boleh?” Ekor matanya mengarah ke Isabel, menatap ekspresi gadis itu yang mendadak tidak nyaman.
“Soal apa?”