Sudah hampir satu minggu Abriel tidak bertemu dengan Isabel. Setiap kali Abriel mengetuk rumah gadis itu, setiap kali pula Bi Iceu yang membukakan pintu, memberitahu Abriel bahwa Isabel sedang pergi dan belum kembali.
Pernah satu waktu, Abriel menunggu hingga pukul dua malam di teras atas rumahnya, tapi Isabel tidak pernah nampak, baik itu menggunakan taksi atau bersama seseorang.
Isabel menghilang. Dan itu menjadi tanda tanya besar untuk Abriel. Ke manakah gerangan lenyapnya gadis itu?
Meski begitu, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Abriel bisa melihat dari gorden yang membuka sedikit itu kalau lampu kamar Isabel menyala.
Hari ini, Abriel sengaja bangun lebih awal dan bersiap-siap lebih dulu bahkan dari waktunya si Mbak mengepel lantai.
Ia berjinjit-jinjit melewati lantai basah yang sedang si Mbak pulas.
“Mau ke mana, Kak El?” sapa si Mbak sambil mencelupkan gagang pel ke dalam ember, wajah perempuan berkulit sawo matang itu masih bengkak karena baru saja bangun tidur.
“Mau ke luar bentar, Mbak,” jawab Abriel yang sudah berseragam lengkap, tapi belum mengenakan sepatu.
Meski baru lewat sembilan hari, Abriel merasa sudah bertahun-tahun lamanya Isabel datang ke rumahnya, dan tanpa tedeng aling-aling memintanya untuk jadi pacar gadis itu.
Kini, Abriel merasa harinya beringsut, menyeret dengan lamban dan monoton. Setiap hari ia hanya sekolah, mengikuti pelajaran tambahan dan langsung pulang ke rumah.
Di kamarnya, ia memaksa dirinya untuk meneruskan komiknya. Tapi selalu saja ia tidak puas dengan hasilnya. Berulang-ulang kali menyunting, chapter empat hingga lima yang dibuatnya setelah hari itu terasa ada yang kurang pas dan tanpa jiwa.
Ia mulai berpikir, apa mungkin jiwa karakter komiknya ikut terbang bersama kelenyapan gadis itu? Apa mungkin Isabel adalah energi mutlaknya untuk meneruskan komiknya? Kalau memang begitu, gawat sekali. Abriel mulai khawatir Isabel sudah membuatnya kecanduan, ketergantungan dengan eksistensi abu-abu gadis itu.
Jalanan saat itu masih gelap, udara terasa dingin menusuk.
Ia sudah berdiri di depan pohon besar rumah Isabel, mengawasi keadaan dari celah ranting yang menjulur seperti jemari raksasa. Seperti hari-hari sebelumnya, lampu kamar Isabel menyala, terlihat jelas dari gorden yang sedikit membuka.
Ada yang aneh, pikirnya. Selama seminggu, posisi celah gorden itu tidak berubah. Tidak ada yang menarik atau menyentuh gorden itu. Ia yakin akan hipotesanya. Isabel sudah tidak menempati kamar itu selama beberapa hari. Bi Iceu mungkin tidak berbohong pada Abriel tentang Isabel yang pergi dan belum kembali ke rumah, masalahnya Bi Iceu tidak memberitahu Abriel dengan rinci. Jelas untuk maksud tertentu, atas permintaan Isabel, barangkali.
Untuk membuktikan dugaannya itu, Abriel mengambil batu kecil, kemudian dilemparkannya batu kecil itu ke arah jendela Isabel. Tiga kali. Tiga batu kembali kepadanya, tapi jendela itu tidak bergerak. Setelah benar-benar yakin, ia mengetuk pintu rumah itu.
Kali ini, ibu Isabel yang membukakan pintu.
Wanita berambut cokelat terang sebahu itu masih mengenakan kimono tidurnya, wajahnya polos tanpa riasan, kacamata bening berbingkai hitam menjepit tulang hidungnya.
“Pagi?” Wanita itu menyapa Abriel.
“Pagi, Tante. Saya Abriel, dari di rumah depan. Maaf saya ganggu pagi-pagi sekali.”
“Oh, ya, ya ...,” Wanita itu berujar seraya mengenali. “Maaf nih Tante sampai nggak hafal tetangga sendiri. Tante belakangan sering nggak di sini. Belum sempat ya ngobrol-ngobrol sama kamu.”
Abriel melebarkan senyum, merasa sedikit santai melihat reaksi ibu Isabel yang hangat. “Nggak apa-apa, Tante.”
“Masuk dulu yuk, Abriel.” Wanita itu melebarkan pintu, mempersilakan Abriel masuk.
“Oh, nggak perlu, Tante,” tolak Abriel dengan sopan. “Saya ke sini cuma sebentar. Saya cuma mau nanya apa Isabel ada di rumah?”
“Isabel kan udah seminggu pergi,” katanya. “Dia minta liburan gitu ke Tante,” ibu Isabel mengerlingkan bola mata dengan ironis, “padahal dia kan tiap hari kerjaannya juga main-main.”
“Liburan?” Abriel melongo, tidak menduga akan mendengar jawaban itu.
“Katanya dia pengen refreshing gitu. Ke Jogja.”
“Jogja? Sama siapa, Tante?”
“Sendiri. Tapi di sana ada Chika. Teman penanya dari SD, tinggalnya di Jogja. Dulu, Chika pernah nginap juga di tempat kita waktu masih di Jakarta. Sekarang gantian.”
“Oh. Gitu.” Abriel tidak bisa menyembunyikan nada terkejutnya. Jujur saja, sulit membayangkan Isabel memiliki kehidupan lain selain yang ia lihat di tempat ini. Bodoh sekali, batinnya, tentu saja di luar sana Isabel juga memiliki kehidupan dan pergaulannya sendiri! Isabel kan tidak muncul begitu saja hanya untuk menjadi tetangganya, seperti pemeran pembantu dalam kisah hidup Abriel: Isabel juga menjalani harinya selama dua puluh empat jam sehari—365 hari setahun, dengan pola pikir, rencana dan kegiatannya sendiri.
“Kalau Tante boleh tahu, cari Isabel ada apa, ya?”
“Nggak pa-pa, Tante. Belakangan kita sering ngobrol. Saya aneh aja Isabel tiba-tiba ngilang. Lagian kata Bi Iceu, Isabel—”
Mendadak saja Bi Iceu muncul di belakang ibu Isabel.
“Eh, Aa. Kan saya udah bilang si Neng Abel teh pergi. Meuni nggak percaya gitu sama saya.”
“Bi, bukannya saya nggak percaya. Tapi Bibi kan nggak pernah bilang kalau Isabel tuh perginya ke Jogja. Ya, saya tungguin Bi, tiap hari,” tukas Abriel.
“Lho, Iceu, kenapa kamu nggak ngasih tahu Abriel?” Ibu Isabel menuntut penjelasan dari Bi Iceu.
Bi Iceu sekarang tampak salah tingkah. “Bu, kayak Ibu nggak tahu Neng Abel aja gimana ... Saya teh kudu ginilah, gitulah, Bu. Saya lieur, Bu, sebenernya. Tapi gimana lagi, Neng Abel yang minta saya bilang gitu.”