Setelah melewati Jalan Pahlawan yang teduh, kemudian melesak ke jalanan kecil menanjak berkilo-kilo meter di daerah Awiligar, bangunan abu-abu itu akhirnya menjulang di antara hamparan pepohonan tinggi. Kentara sekali hotel mungil tiga tingkat berdesain minimalis itu baru saja dibangun. Dengan perasaan yang masih diliputi semangat, Abriel mengikuti rute yang mengarahkannya ke lahan parkir di sebelah selatan, tempat mobil-mobil berjajar dengan teratur.
Sebelum turun, tak lupa ia menyemprotkan parfum dan mengenakan kemeja flanelnya, yang sejak beberapa hari lalu tergeletak di jok belakang mobilnya.
Pintu itu berwarna cokelat, berpelitur. Dengan plat dari besi menempel di sisinya. Abriel menghela napas sebelum mengetuk pintunya. Kemudian, seseorang membukakan pintu itu.
Isabel mengenakan jubah mandi tebal berwarna putih. Rambutnya kering tetapi berantakan. Wajahnya bersih tanpa riasan, kaki telanjangnya berjinjit di atas karpet empuk di bawahnya.
“Bapak Abriel,” sambut Isabel, cengiran terkuak di wajahnya. Seolah tidak pernah ada kecanggungan sebelumnya, gadis itu dengan riang mempersilakan masuk. Dan dengan ragu, Abriel melangkah masuk ke dalam ruangan luas dan terang benderang itu. “Saya baru aja mau berendam. Saya nyangkanya kamu bakal ngaret,” tambah gadis itu seraya mendorong tirai yang menutupi kaca, sekat yang memisahkan antara kamar tidur dan jacuzzi besar yang menghadap langsung ke jendela raksasa di depannya, yang menyuguhkan panorama hijau nan fantastis.
Abriel menelan ludahnya. Pemandangan ini, Isabel, dan suasana yang mengabut di ruangan itu membuatnya tak kuasa untuk tidak merasa kikuk. Namun, ia segera kembali merasakan sensasi seperti menelan pil pahit ketika teringat kembali percakapan terakhir mereka. Mimpi buruknya: membayangkan tubuh Isabel dijamah tangan-tangan kotor, teramat sangat mengusik batin Abriel. Ia benci pada dirinya sendiri karena sebagian dirinya, memaksa menerima kenyataan itu hanya agar ia bisa bertemu kembali dengan gadis itu.
“Kamu ke mana aja?” Abriel akhirnya berkata.
“Saya liburan, di 'Jogja',” jawab Isabel ringan sambil membuat tanda petik dengan jarinya ketika mengatakan “Jogja”.
“Kamu bohong sama Mama kamu,” ujar Abriel, sambil melesakkan diri ke atas sofa. Meskipun berusaha kasual, duduknya tetap tegak.
“Eh, kamu mau minum apa? Ada soda di minibar.”
Dengan cepat Abriel menggeleng. “Ntar aja. Kamu yang naruh kertas di mobil aku tadi?”
Isabel nyengir. “Saya minta tolong Mang Okim. It's a long story.”
“Aku nyariin kamu. Selama seminggu. Kayak orang gila, setiap hari datang ke rumah kamu.”
Isabel bersedekap memunggungi cermin. “Saya tahu, makanya saya nyuruh kamu ke sini. Supaya kamu berhenti datang ke rumah saya. Kayak orang gila.”
“Aku mau minta maaf sama kamu,” ujar Abriel menatap langsung ke mata Isabel. Ia berharap Isabel melihat kesungguhannya. “Apapun yang kamu lakuin, itu adalah ... hak kamu. Dan ini mungkin terdengar sok pahlawan banget, ngatur .... ah, terserah. Tapi aku cuma pengin tahu, apa ada cara buat bikin kamu berhenti ngelakuin semua ini? Kalau ada yang bisa aku lakuin untuk itu, aku bersedia.”
“Maksud kamu?”
“Apa kamu nggak merasa berada dalam bahaya?”
“Bahaya gimana?” Isabel malah nyengir.
Abriel mengertakan giginya mendapati Isabel menganggap kekhawatirannya sebagai lelucon membuatnya frustasi. “Kamu ... nggak terikat sama agensi ... maksudku, kamu menjalankan semuanya sendiri, kan? Nggak ada orang yang tahu dengan siapa hari ini kamu ketemuan ....”
Isabel memutar bola matanya. “Saya nggak gila. Saya punya kok orang yang saya hubungi sebelum ada apa-apa. Namanya Mei. Sepupu saya, sepupu jauh sih. Dia tinggal di Jakarta. Setiap hari saya kirim e-mail dan chatting-an sama dia. Data klien saya, saya kasih ke dia semua. Hampir sembilan puluh persen klien juga dapat dari dia, dia atur semua yang masuk ke website. Setelah saya beres jalanin kerjaan saya, saya kabarin dia lagi. Kalau dalam delapan belas jam sejak date saya, saya nggak hubungin dia. Dia bakalan lapor polisi. Pokoknya, Mei ini canggih anaknya. Saya udah biasa percayakan banyak hal sama dia.”
Abriel terpana sesaat mendengar penjelasan gadis itu. “Meskipun gitu, berarti kamu sendiri sadar, ada titik di mana mungkin kamu berada dalam bahaya, kan?”
“Yep.”
“Terus ... kamu masih mau ngelanjutin semua ini?” tuntut Abriel. “Apa nggak ada jalan lain untuk mengobati apapun itu pada diri kamu selain dengan melakukan semua ini? Apa nggak ada cara supaya aku bisa ikut di dalam semua ini?”
Isabel tampak berpikir sejenak. “Kamu mau jadi klien saya?”