Siang itu, Isabel membuka matanya dengan satu sentakan keras. Sudah lama rasanya ia tidak lagi bermimpi buruk. Ia bangun dengan terengah, membutuhkan sebutir pil untuk menenangkan dirinya. Pil itu ditelannya dengan seteguk air. Lima belas menit kemudian, ia merasa sedikit lega.
Dengan suasana hati yang lebih baik, Isabel menjalankan ritual mandi kemudian bersiap-siap. Dikenakannya kemeja linen putih favoritnya dan celana jins biru muda dengan bordir kupu-kupu yang baru ia beli. Tak lupa, ia mengikat rambut sebahunya dan merapikan poninya dengan hati-hati. Hari ini, ia akan menemani Adit futsal. Momen yang ia nanti-nantikan layaknya menyambut hari ulang tahunnya sendiri.
Isabel mengecek bayangannya sendiri sebelum memesan taksi. Sebelum ia ke gedung futsal sore nanti, ia berencana mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Ada sesuatu yang ingin ia beli untuk diberikan kepada pria itu.
Sesampainya di Paris Van Java, Isabel langsung menghampiri toko yang sudah ia targetkan sejak semalam, membeli sepasang sepatu yang ia yakin model dan ukurannya akan sesuai. Kemudian mampir ke toko pakaian yang ia tahu betul memiliki kualitas terbaik, memilih warna kalem dan netral dengan bahan adem yang menurutnya cocok untuk dikenakan pria dewasa yang aktif.
Semua hasil belanjaannya itu disatukan ke dalam kantong kertas bermotif batik berkukuran besar yang dibelinya di toko buku di lantai dasar, dan tak lupa sepucuk kartu ucapan yang belum ditulisinya ia selipkan ke dalamnya. Ia berpikir akan menuliskan isinya ketika ia benar-benar telah tergerak. Menurutnya, akan baik jika ia menuliskan sesuatu setelah mereka sudah mengobrol banyak.
Ketika Isabel baru saja melangkahkan kaki ke dalam taksi, ponselnya berbunyi. Isabel memiliki dua ponsel, satu untuk menerima klien-kliennya dan satu untuk orang-orang yang dikenalnya. Tidak semua orang mendapat kehormatan disimpan nomornya di contact oleh Isabel, dan Adit, untuk sebuah alasan, rupanya menjadi salah satu orang beruntung itu.
“Ya, Dit? Saya baru masuk taksi. Mungkin sekitar empat puluh menitan baru sampai sana,” ujar Isabel sambil mengenyakkan diri di jok taksi. Ia sudah memutuskan untuk memaafkan perbuatan Adit tempo hari itu, meskipun rasanya seperti ada gumpalan daging keras di tenggorokannya setiap kali ia teringat kejadian itu. Alasannya, ia sudah memikirkan masak-masak kerugiannya jika ia mengakhiri hubungannya dengan Adit sekarang.
Setelah menerima selusin wanti-wanti dari Adit, Isabel mematikan sambungan teleponnya dengan perasaan jengah.
Isabel mencintai kebebasannya, pikirannya, jiwanya, intuisinya. Hanya seseorang yang mencintai, memercayai dan menerima dirinya hingga ke sisi tergelapnyalah yang mungkin akan dapat meluluhkan hatinya. Ia tidak butuh diingatkan soal apapun. Ia yakin apa yang terbaik untuknya, apa yang benar-benar ia inginkan. Santai namun tepat sasaran, perhatian yang sederhana tapi memiliki nilai dan kelas. Isabel hanya ingin seseorang yang biasa-biasa saja, yang perhatian dan pengorbanannya pas. Yang mengaguminya tetapi tidak memandangnya seperti boneka porselen yang mudah rusak.
Isabel merasa belum pernah bertemu dengan orang seperti itu. Yang segalanya terasa pas dengannya. Atau ... ia memang sedang sengaja melupakan satu nama.
***
Sudah hampir satu jam Irena menunggu di kursi kayu panjang milik tukang es podeng di depan SMA Bhakti Negara, hingga akhirnya orang yang dinantinya tersebut muncul, berjalan ke arahnya. Rambut ikal Abriel yang berwarna kecokelatan tampak acak-acakan, seperti biasanya. Dulu, Irena sering mengusap helai demi helainya, membebaskan kaitan yang kusut. Setiap kali ia melakukannya, Abriel akan mengecup lembut pipinya atau menyelipkan rambut panjang Irena ke belakang telinganya, memandangnya dengan cara yang khas yang hanya Irena yang bisa menjelaskannya.
Irena menyambut Abriel dengan riang, segera menjulurkan tangannya untuk merapikan untaian-untaian rambut tersebut. Namun tidak seperti dulu, tidak ada lagi sentuhan tambahan dari si pemilik rambut ketika Irena melakukannya. Tidak ada pula tatapan sendu nan pesam.
“Kamu datangnya kecepatan,” ujar Abriel, kali ini ia akhirnya memandang wajah Irena. Menatap gadis yang tampak begitu ceria dan berbinar-binar setiap kali bertemu dengannya itu.
“Aku takut kamu yang harus nunggu, makanya begitu bubaran sekolah aku langsung cabut ke sini,” jawab Irena sambil nyengir.
“Tunggu sampai kamu naik kelas dua belas, kamu nggak bakalan punya waktu menclak-menclok kayak gini,” gurau Abriel seraya mengacak puncak kepala Irena. “Ke mobil, yuk. Kasihan kamu udah keringetan gitu.”
“Iya, deeeeh, yang murid tingkat akhir, yang bentar lagi jadi anak kuliahan,” decak Irena seraya mengapit siku Abriel ketika mereka akan menyeberang jalan.
Sontak gerakan refleks Irena itu membuat Abriel tersentak. Merasa familier pada momen yang lain, momen yang terpatri jelas diingatannya. Sang Angsa-lah yang terakhir kali mengamit pergelangan tangannya. Jika dibandingkan perasaannya malam itu dan kini, rasanya begitu berbeda, kontras. Dengan Irena segalanya terasa akrab dan nyaman, dengan Isabel segalanya tidak dapat ditebak, penuh kejutan dan debaran.
Mendadak saja ia teringat akan Angsa itu. Tak peduli ada seseorang yang berhati hangat di sampingnya sekarang, yang terus saja tersenyum padanya dengan tulus. Abriel merasa ingin terbang dari tempatnya, menyapu setiap ingatan buruk, kembali ke hari di mana ada sebatang rokok terselip di jemarinya, dan Isabel yang berpakaian seperti angsa menegurnya untuk tidak merokok.
Sekonyong-konyong, ia merasakan sesuatu menekan dadanya dengan begitu mendesak, kerinduan yang tajam mengorek-ngorek ulu hatinya. Dalam diam, ia menerka-nerka isi hatinya: mungkin inilah jadinya jika pemahat merindukan aroma tunas baru; pelaut rindu akan rasanya berpijak di tanah. Ia merindukan hal yang tak seharusnya. Ingin rasanya ia menyingkirkan ingatan itu, tapi bagai bayangan sendiri, ingatan itu selalu membuntutinya. Setiap kali ia menengok ke belakang, ia bisa melihatnya di sana, meruncing alih-alih menumpul seperti batu, padahal ia sudah mengampelas semua sisinya dengan pikirannya yang bertekad.
Ternyata niat saja belum cukup. Bagian tersulit dari berjalan lurus ke depan adalah meminggirkan keinginan menengok ke belakang.