My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #20

20. Benalu Yang Limbung

Isabel memeluk paper bag-nya dengan erat ketika ia duduk di bengkel menunggu Adit datang. Tidak seperti biasanya yang selalu on-time, kali ini Adit datang terlambat. Setelah memarkirkan mobilnya di antara dua mobil lain yang sama-sama kaya akan sentuhan modifikasi profesional, Adit buru-buru menghampiri Isabel.

 “Maaf banget aku telat. Aku kira kamu bakal sampai agak nantian. Jalanan nggak macet, ya?” sembur Adit dengan mimik penuh penyesalan. “Barusan dengan begonya aku malah ngobrol dulu sama teman lamaku si Idung.”

 “Nggak apa-apa,” sela Isabel tanpa intonasi, merasa tidak memerlukan penjelasan apa pun. “Jam berapa futsalnya mulai?”

 Adit melirik jam tangannya yang persegi besar dan mengilat. “Harusnya bentaran lagi. Lapangan sih udah di-booking buat tiga jam. Kayaknya nunggu anak-anak ngumpul semua dulu.”

 Isabel mendadak terlihat kecewa. “Jadi belum pasti apa gimana, sih?”

 Kontan Adit terkejut dengan nada Isabel yang terdengar marah itu. Bagaimana bisa gadis itu kesal hanya karena permainan futsalnya dengan anak-anak hari ini ada kemungkinan terlambat? Merasa tak enak, dengan segera ia bertanya pada Jay, salah satu temannya yang sedang merokok di dekat mobilnya. “Anak-anak pada ke mana? Jadi, kan?”

 Jay mengapit rokoknya di antara jemarinya. “Si Oleh sama si Acong lagi di jalan katanya. Nggak tahu kalau yang lain. Kemarin sih bilangnya jadi.”

 Isabel masih menekuk alisnya. “Nggak bener banget.”

 Adit hampir saja nyengir melihat reaksi Isabel yang tidak disangka-sangka. Tapi ia berhasil mengendalikan dirinya dan segera berjongkok di sebelah kaki Isabel. Kedua tangannya yang dikepal diletakannya di lutut Isabel. Matanya menatap gadis itu dengan lembut.

 “Jujur, aku nggak ngerti, Drey. Kenapa kamu harus marah,” ujar Adit lamat-lamat, nadanya masih halus. Tidak biasanya ia berbicara sehalus itu pada orang lain, termasuk pada semua gebetan dan mantan pacarnya. Ia ingat pesan Abriel di kelas hari itu, bahwa gadis dengan karakteristik tak biasa seperti Audrey harus diperlakukan dengan ekstralembut dan supersabar. “Apa ada sesuatu yang lainnya? Alasan kamu ke sini nemenin aku?”

 Isabel menggeleng. “Cuma nggak suka aja kalau nggak ada kepastian.”

 “Kepastian untuk ... aku main?” tanya Adit tidak yakin bahkan dengan pertanyaannya sendiri. Tapi ia terlalu bingung untuk menebak arah pikiran gadis di hadapannya.

 Isabel tampak bimbang sejenak. “Aku ke sini udah jauh-jauh ....”

 “Ya, udah. Kita nunggunya di tempat yang nggak akan bikin kamu bosen aja,” cetus Adit sembari bangun dari jongkoknya. Ekspresinya membujuk.

 “Di mana?” Isabel menyahuti, kejengkelannya belum menyurut.

 “Nggak terlalu jauh dari sini juga ada restoran bagus, makanannya enak, layak disikat. Disajikannya prasmanan, piringnya dari tanah liat. Masakannya masakan Sunda. Nggak perlu sendok untuk makan, lalaban dan sambalnya bisa bolak-balik nambah sepuasanya. Pokoknya nikmaaat,” ujar Adit menerangkan cepat layaknya sales kredit kendaraan. “Mudah-mudahan balik ke sini anak-anak udah datang semua.”

 Perut Isabel mendadak keroncongan mendengar tawaran Adit yang menggiurkan. “Kamu pintar banget bikin orang ngiler, ya? Nggak usah sekolah tinggi-tinggi, tempat kredit pasti pada mau nerima kamu kerja sama mereka.”

 Adit merasa puas melihat reaksi gadis di hadapannya. Dengan lebih percaya diri ia segera mengulurkan jemarinya yang kokoh dan besar pada Isabel. “Yuk. Jalan sekarang.”

 Dan kali ini, untuk pertama kalinya, dengan tulus Isabel menyambut sesuatu yang Adit tawarkan pada dirinya.

 

***

Lihat selengkapnya