Di pertengahan acara menyantap ayam goreng yang begitu gurih dan nikmat, ponsel Adit berbunyi, memainkan musik Stayin' Alive dari Bee Gees. Setelah dengan gabut mengelap jarinya dengan tisu, ia menggeser layar sentuh ponselnya kemudian menempelkannya di telinga. Usai berbicara sebentar, Adit mematikan sambungannya.
“Anak-anak udah kumpul semua di gedung,” katanya kepada Isabel. “Tapi makanan kita belum habis.”
Isabel langsung menyingkirkan piringnya dengan otomatis. “Baliknya aja kita cari makan lagi,” cetusnya mendadak bersemangat. “Sekarang kita langsung ke gedung aja.”
Ketika mereka menuruni tangga keluar, Isabel mendadak mengentikan langkah.
“Kenapa?” tanya Adit seraya meraih jemari Isabel.
Isabel masih terdiam, jemarinya tidak balas menggenggam jemari Adit. Di lengkungan pagar, enam mobil dari tempatnya berdiri, ia mengenali sebuah mobil dari plat dan stiker kuning menyala di kaca bagian depannya. Itu mobil Abriel, ia sangat yakin.
“Kamu jalan duluan, ya, Dit,” pinta Isabel dengan eksprsi tercenung.
Adit memberengut. “Emang kamu mau ngapain dulu? Tadi kayaknya kamu semangat banget, kok mendadak lesu?”
Isabel melepaskan genggaman tangan Adit. “Saya mau ke toilet dulu di dalam. Kamu duluan aja, ya. Saya nggak pa-pa nyusul jalan kakinya.”
“Kamu mau jalan kaki sendirian? Serem ah, rawan jambret daerah sini. Gimana kalau aku jalan kaki dulu ambil mobil atau pinjam motor anak-anak di bengkel, nanti aku balik ke sini lagi jemput kamu.”
“Nggak usah, Diiit,” Isabel bersikeras, direkatkannya gigi-giginya ketika berkata. “Kamu duluan ya. Nanti saya pasti nyusul ke sana. Kan, belanjaan saya juga saya titip di mobil kamu.”
Adit tampak berpikir keras. “Ya udah, deh. Kalau kamu maunya kayak gitu. Kalau tiba-tiba kamu perlu dijemput, kamu telepon aku aja. Ati-ati, ya, Drey.”
Isabel mengangguk. Dan tanpa menunggu Adit benar-benar pergi, ia segera melengos kembali menaiki tangga dan memasuki pintu di belakangnya. Celingukan, Isabel mencari pemilik mobil Toyota Vios perak keluaran tahun 2002 itu. Tapi sejauh matanya memandang menyusuri ruangan itu, tak ada tanda-tanda barang batang hidung cowok itu. Separo meja terisi oleh orang-orang yang tampak asing baginya. Isabel kemudian tergerak memasuki lorong sepanjang tiga meter yang dindingnya digantungi karakter-karakter pewayangan. Di taman itu, ia segera mengedarkan pandangan, mulai dari saung terdekat hingga terjauh. Tetapi ia tidak juga menemukan Abriel di tempat itu. Di saung terjauh pun ia hanya melihat seorang gadis berseragam SMA yang duduk sendirian sembari menatap layar ponselnya.
Mengandalkan perasaannya yang mendadak memberikannya intuisi, Isabel hendak menghampiri gadis itu. Feeling-nya mengatakan gadis itu mungkin datang bersama Abriel. Namun, baru ia berjalan beberapa langkah, ada tangan yang menyentuh bagian atas lengannya. Isabel kontan menengok ke belakang.
Ia akhirnya menemukannya. Sulit menjabarkan perasaannya Isabel sekarang. Legakah? Cemaskah? Karena cowok itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya memandanginya. Mata sayunya tampak kehilangan seluruh binarnya.
“Saya nyariin kamu!” Suara Isabel nyaris terdengar mendesis. “Saya lihat mobil kamu di depan pas mau balik.”
Abriel masih mengunci bibirnya, rapat.
“Kamu datang ke sini sama dia?” Isabel menunjuk ke arah gadis yang masih menunduk dan disibukkan dengan ponselnya.
Abriel masih belum mengatakan apa-apa. Gantinya dengan intens ia masih menatap Isabel. Meskipun sorot itu tidak tajam, Isabel bisa melihat kedua bahu Abriel tampak sangat tegang, begitu pula dengan tangannya yang masih mengepal. Isabel bahkan tidak yakin apakah Abriel menarik napasnya atau tidak sejak tadi.
“Kenapa kamu diam aja?” Isabel kembali mendesis. “Saya tahu kamu nggak bisu.”
“Kita ngomong sebentar di luar. Itu Irena. Dia nggak tahu apa-apa dan aku malas kalau harus ngejelasin panjang-lebar sama dia,” ujar Abriel, kemudian berjalan duluan ke depan tanpa menghiraukan reaksi Isabel lagi.
Firasat buruk terasa di dalam hati Isabel. Ia sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Menguatkan dirinya, ia berjalan mengikuti Abriel. Sambil berjalan, ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya. Saat melintasi cermin dan tak sengaja memandang dirinya sendiri, Isabel tiba-tiba merasa dirinya begitu kotor dan menjijikkan. Ia masih tertunduk ketika sampai di depan mobil Abriel, tempat cowok itu berdiri menjulang menunggunya.
“Saya baru paham,” ucap Isabel. “Kamu tahu.”
Abriel membuang wajahnya, tangannya terlipat di dada. “Jadi kamu itu Audrey ...,” decaknya. “Selain jadi Joanna, Audrey, kamu itu siapa lagi sebenarnya?”
Isabel menghela napas. “Saya nggak pernah jadi orang lain saat sama kamu.”
“Kenapa harus Adit, sih? Dari sekian banyak cowok di dunia ini yang bisa kamu pacarin,” sela Abriel lirih. “Adit itu sahabat aku. Berusaha aku mikirin jawaban yang rasional, tetap aja nggak ada garis yang bisa nyatuin semua ini. Ini terlalu absurd buat aku. Kamu sama Adit itu sama sekali nggak ... nyambung,” ia mendengus tajam, kecewa.
“Terus saya nyambungnya sama siapa? Sama kamu?”
Dahi Abriel berkedut. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
“Ingat malam itu? Saat saya nanya kamu, kamu nolak saya. Ngetawain saya, kamu mikir saya nggak sungguh-sungguh.” Suara Isabel terdengar meninggi. “Tapi Adit lain sama kamu. Saya juga nggak pernah ngerencanain ini semua. Saya ketemu Adit itu takdir. Seperti saya ketemu kamu. Bedanya, Adit itu nggak pernah mengabaikan perasaannya kayak kamu.”
Abriel mengertakkan giginya. “Kamu pikir kamu jadi pilihan utama dia sejak awal?” Ia tertawa mendengus, menertawai Isabel dengan sengaja.
Isabel terdiam. Tapi dagunya terlihat meruncing, harga dirinya tergores sudah. Akhirnya ia berhasil merangkai kata-kata dalam beberapa detik. “Saya nggak peduli. Masa bodoh Adit mau punya satu atau mungkin enam cewek di luar sana. Bukan urusan saya.”
Abriel mengerutkan keningnya. Dalam dan tajam. “Jadi kamu nggak benar-benar serius sama Adit? Kalau gitu buat apa kamu mau dekat sama dia? Ciuman sama dia?” Abriel refleks mengernyit jijik membayangkannya. “Nggak sulit buat kamu dapatin cowok mana aja. Kamu sadar sama kelebihan kamu, daya tarik kamu, pesona kamu. Ternyata aku memang salah nilai kamu sejak awal. Kamu itu bukan seseorang yang istimewa, tapi cuma patung es yang nggak punya perasaan.”